MajmusSunda News, Senin (06/01/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul ”Jangan Sampai Bulog Mengandalkan Impor” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Ada catatan menarik sekitar satu tahun lalu, terkait dengan Perum Bulog. Saat itu, Perum Bulog mengakui pihaknya masih belum optimal dalam menyerap gabah atau beras dari dalam negeri. Sampai Maret 2024, jumlah serapan tercatat masih relatif kecil. Jauh dari yang diharapkan. Salah seorang petinggi Perum Bulog, menyatakan, penyerapan sebetulnya dilakukan untuk menstabilkan harga di hulu dan hilir. Namun, karena panen mundur dan jumlah produksi yang berkurang, serapan gabah dan beras Bulog saat ini belum optimal.
Selanjutnya detif.finance merilis, di akhir tahun 2023 juga terjadi defisit, sehingga kita juga belum bisa optimal dalam menyerap gabah atau beras dalam negeri. Bisa dilihat di sini kita baru mencapai 27.000 ton sampai dengan bulan Maret, dan kalau dilihat traffic-nya, di situ kan memang agak shifting ke kanan karena memang panennya agak mundur. Jadi, kita sangat-sangat mengandalkan dari impor.

Menarik apa yang disampaikan petinggi Perum Bulog diatas. Pengakuan jujurnya soal Perum Bulog mengandalkan impor ketimbang produksi petani dalam negeri dengan sejumlah alasan yang disampaikan, wajar membuat banyak pihak mengerutkan dahi. Catatan kritisnya, mengapa dalam panggung publik keluar bahasa yang cukup vulgar dan cukup memilukan. Bukankah akan lebih bijak jika digunakan kalimat yang lebih kondusif.
Bahasanya akan lebih menyejukan kalau dikemas sebagai berikut : “Perum Bulog dalam melakukan pengadaan tetap mengandalkan kepada produksi petani di dalam negeri. Namun karena waktu panennya mundur, sehingga produksi yang dihasilkan belum optimal, untuk saat ini Perum Bulog terpaksa harus melakukan impor dari negara-negara sahabat”. Kalimat ini tentu saja mengandung banyak makna.
Salah satunya, Pemerintah tetap komit, kebijakan impor beras bukanlah andalan. Impor ditempuh dalam suasana yang darurat. Andalan kita tetap berbasis kepada hasil para petani di dalan negeri. Terlebih bila hal ini dikaitkan dengan tag line Perum Bulog yang mendambakan terwujudnya Kedaulatan Pangan. Dalam ruang publik pembahasaan ini penting agar rakyat tercerahkan oleh pernyataan pejabatnya.
Secara faktual, apa yang dimaksudkan petinggi Perum Bulog jelas tidak ada yang salah. Produksi gabah dan beras para petani dalam negeri, memang belum sesuai harapan. Serapannya wajar sangat minim, baru sekitar 27.000 ton. Sebagai operator pangan, Perum Bulog juga sangat sulit berkiprah. Apa yang ditempuh, amat tergantung kepada yang menugaskan. Perum Bulog bukan regulator atau penentu kebijakan di bidang pangan.
Pada jamannya Bulog merupakan sahabat sejati petani. Bulog selalu hadir membela dan melindungi petani. Lewat kebijakan harga dasar, Bulog akan membeli gabah dan beras petani, minimal pada angka harga dasar yang ditetapkan manakala harga pasar jauh dibawah harga dasar. Begitupun dengan kebijakan harga atap. Jika harga melejit dan jauh diatas harga atap, dengan cepat Bulog akan menggelar operasi pasar.
Sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen/Kementerian (LPND/K), Bulog betul-betul berkiprah sebagai “alat negara” yang bertugas melakukan pengadaan dan penyaluran bahan pangan pokok, khususnya beras. Bahkan ketika itu muncul kesan di masyarakat, bila kita omong-omong soal Bulog, maka yang terbayang dalam pikiran masyarakat ya beras. Bulog identik dengan beras.
Kini suasananya sudah berubah. Bulog pun berganti nama menjadi Perum Bulog. Statusnya, bukan lagi LPND/K, namun menjadi sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebagai BUMN, Perum Bulog dituntut untuk berbisnis. Perum Bulog tidak boleh rugi. Namun begitu, Perum Bulog sebagai BUMN juga dituntut untuk dapat menyelenggarakan fungsi sosial kepada rakyat, sebagaimana penugasannya.
Impor beras yang regulasinya disiapkan Badan Pangan Nasional setelah berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait, ujung-ujungnya akan menugaskan Perum Bulog sebagai operatornya. Begitu pula dengan Program Bantuan Pangan Beras sebesar 10 kg/bulan bagi 22 juta rumah tangga penerima manfaat. Perum Bulog, pasti harus terlibat aktif didalamnya.
Atas gambaran demikian, dapat ditegaskan kehadiran dan keberadaan Perum Bulog, benar-benar sangat penting dan strategis. Perum Bulog dan Badan Pangan Nasional merupakan dua lembaga pangan tingkat nasional, yang diharapkan mampu melahirkan tata kelola pangan secara utuh, holistik dan komprehensif. Keduanya pantas beriringan dan saling bergandeng tangan menuju pengelolaan pangan yang lebih berkualitas
Masyarakat sangat berharap agar Badan Pangan Nasional dan Perum Bulog, mampu berkiprah secara optimal, sehingga menjadi kebanggaan segenap komponen bangsa. Untuk itu, segala sikap, tindakan dan cara pandang yang menjadi pengelola ke dua lembaga pangan ini, akan menjadi sorotan masyarakat. Rakyat butuh sikap optmis dalam menjawab masalah yang menghadang.
Kehati-hatian dalam menyampaikan pemikiran di ruang publik, sangatlah dimintakan. Rakyat butuh pencerahan dan kepastian informasi dari para pemimpinnya. Termasuk dalam menyikapi masalah ketersediaan beras dalam negeri, yang sekarang ini terekam sedang tidak baik-baik saja. Untuk menjawabnya, kita butuh optimisme dan rasa percaya diri. Bukan menyerah terhadap keadaan.
Tolong dicamkan! Impor bahan pangan, hanya dilakukan dalam kedaruratan. Impor beras sepatutnya jangan dijadikan andalan untuk menjawab masalah perberasan. Impor jadikan sebagai pelengkap. Andalan kita tetap berbasis pada produksi dalam negeri yang dihasilkan petani padi. Bahkan dalam benak para pejabat, sudah harus terpatri pemikiran tentang langkah-langkah untuk menyetop impor beras.
Saat itu, kita percaya rendahnya serapan gabah dan beras oleh Perum Bulog, dikarenakan gabah dan berasnya yang tidak ada, bukan karena Perum Bulog kalah lincah dibandingkan dengan pedagang, bandar, pengepul, tengkulak, pengusaha penggilingan dalam mencari gabah dan beras. Tidak juga, disebabkan para petani enggan menjual hasil panennya kepada Perum Bulog. Lalu, bagaimana gambarannya dengan saat ini? Ya, kita ikuti saha perkembangannya. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).
***
Judul: Jangan Sampai Bulog Mengandalkan Impor
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi