“Dunia Pergabahan” 

Artikel ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

Ilustrasi: Gambar petani padi terlihat sedang memanen gabah di sawah - (Sumber: Bing Image Creator AI)

MajmusSunda News, Minggu (05/01/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul ”Dunia Pergabahan” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Dilihat dari sisi kepemilikan, gabah dan beras memiliki dunia yang berbeda. Gabah umumnya berada dalam “kekuasaan” petani padi, sedangkan beras dikuasai oleh para pedagang atau pengusaha beras. Adanya perbedaan kepemilikan ini, membuat gabah dan beras, mempunyai karakter masing-masing, khususnya yang berkaitan dengan tingkat harga jual di pasaran.

Gabah, baik gabah kering panen (GKP) atau gabah kering giling (GKG), seringkali muncul menjadi perbincangan menarik ketika ada berita harganya anjlok di saat panen raya berlangsung. Fenomena seperti ini, telah berlangsung sejak lama. Kita tidak tahu dengan pasti, mengapa masalah ini terekam sulit untuk dituntaskan. Persoalannya selalu berulang dari waktu ke waktu.

Ir. Entang Sastraatmadja
Ir. Entang Sastraatmadja, penulis – (Sumber: tabloidsinartani.com)

Melorotnya harga gabah di tingkat petani ini, walau pun harganya masih di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah seperti yang ditetapkan dalam Peraturan Badan Pangan Nasional No. 4 Tahun 2024, sepertinya belum mampu menjadikan para petani merasakan kegembiraan yang maksimal. Petani padi tetap kecewa dengan tingkat harga yang terjadi.

Ada pengalaman menarik untuk dibincangkan. Beberapa waktu lalu, dipenghujung tahun 2023, para petani banyak yang riang gembira, karena harga GKP mampu menembus angka Rp. 7000,- per kilo gram dan harga GKG melewati angka Rp. 8250,- per kg nya. Catatan kritisnya adalah apakah kenaikan ini memang diatur oleh Pemerintah, karena adanya kecintaan yang mendalam terhadap petani, atau ada faktor lain yang perlu kita cernati lebih seksana.

Kita sendiri tidak mungkin akan menampik jika ada pandangan yang menyatakan, hal ini tercipta, karena ketersediaan beras di masyarakat sudah mengalami penurunan cukup signifikan. Semua ini terjadi, karena ada dampak nyata El Nino yang sangat sulit dihindari sergapannya. Produksi beras menurun, otomatis harga gabah dan beras di pasar melonjak cukup tinggi.

Yang penting didalami lebih lanjut, apakah rasa senang petani harus ditebus dengan menurunnya produksi? Jawabnya tegas, mestinya tidak. Rasa riang petani, karena mereka mendapat harga gabah yang wajar, tentu bisa dirancang Pemerintah selama ada kemauan untuk mewujudkannya. Sebagai teladan, mengapa Pemerintah tidak segera melahirkan HPP Gabah yang disesuaikan dengan suasana kekinian?

Cepat tanggap ini, seharusnya menjadi karakter Pemerintah dalam menyikapi perkembangan dan kejadian yang tercipta di masyarakat. Mengapa hingga sekarang Pemerintah tidak segera bersikap, manakala harga gabah di pasaran sudah melewati angka Rp. 7000,- per kg, sedangkan HPP Gabah sendiri masih di patok pada angka Rp. 6000,- per kg. Ini yang memilukan dan jadi tanda tanya besar.

Suara petani padi yang merasa senang dengan harga gabah diatas angka Rp. 7000,- per kg sendiri, sebetulnya telah disampaikan langsung kepada para penentu kebijakan ketika melakukan kunjungan kerja ke daerah. Dengan suara lantang, para petani padi mengemukakan keriangannya kepada pemimpin bangsa, mengingat harga jual gabah di pasar mampu memenuhi harapannya.

Persoalannya, mengapa suara hati petani yang demikian, terkesan kurang dicermati oleh Pemerintah? Ini yang cukup menyedihkan. Bayangkan, ketika petani bersuara pun responnya hampir tidak ada, apalagi jika para petani padi tidak bersuara. Padahal, langkah menetapkan HPP Gabah yang sesuai dengan aspirasi petani merupakan bukti nyata atas kepedulian dan keberpihakan Negara atas kata hati warga bangsanya.

Sekalipun banyak pandangan agar para petani berganti status dari “petani gabah” menjadi “petani beras”, namun untuk beberapa tahun ke depan, hal ini lebih mengedepan sebagai sebuah semangat dan belum mampu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Itu sebabnya, bila kita mendalami dunia gabah, maka sejatinya kita membedah soal nasib dan kehidupan para petani padi.

Semua orang tahu, gabah adalah miliknya petani. Setiap panen, petani selalu menjual hasil panennya dalam bentuk gabah. Petani belum memiliki fasilitas untuk mengubah gabah menjadi beras. Padahal, kalau petani memiliki fasilitas untuk mengolah gabah menjadi beras, maka nilai tambah ekonomi yang diterima petani dari usahatani padinya, akan semakin tinggi. Otomatis, pendapatan petani pun akan semakin meningkat.

Bila kita ingin melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap petani padi, maka yang utama harus dilakukan adalah sampai sejaih mana Pemerintah mampu menciptakan harga jual gabah yang wajar di tingkat petani. Ini penting, mengingat apalah artinya produksi yang meningkat, jika saat panen berlangsung, harga jual gabahnya anjlok, karena adanya permainan oknum-oknum tertentu, yang amat doyan memainkan harga di saat panen.

Pengendalian harga gabah yang ditempuh lewat Harga Pembelian Pemerintah, tampak masih belum efektif, jika dan hanya jika, tidak dilakukan penyesuaian dengan suasana yang tengah terjadi. Contoh dan fenomena harga gabah paska El Nino yang digambarkan diatas, jelas memberi sinyal, betapa lambatnya Pemerintah bertindak dalam menjawab persoalan yang ada. Ini, betul-betul sangat disesalkan.

Dengan kewenangan yang digenggamnya, Pemerintah mestinya cepat bergerak untuk segera mencari jalan keluar atas “tabrakannya” kepentingan antara aspirasi petani dengan fakta kehidupan yang tercipta. Problem ini akan terselesaikan, seandainya Pemerintah cukup pro aktif melahirkan kebijakan, program dan kegiatan yang langsung menjawab akar persoalannya. Ini uang belum mampu kita lakukan dengan baik.

Dunia Pergabahan, bukan sebuah kehidupan yang penuh dengan misteri. Selama kita serius mengelola dan mengedepankan keberpihakan kepada petani, maka selama itu pula nasib dan kehidupan petani padi akan semakin bermartabat. Sebaliknya, jika kita tidak sungguh-sungguh menggarapnya, maka petani padi akan tetap menderita dan semakin ditinggalkan oleh kaum muda. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).

***

Judul: Dunia Pergabahan
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *