Senyuman Kaum Tani

Oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Senin (21/04/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Senyuman Kaum Tani” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Lahirnya Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional No. 14/2025, membuat kaum tani tersenyum simpul. Aturan yang merevisi Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional No.2/2025 ini, betul-betul menunjukkan keberpihakan Pemerintah terhadap kaum tani, khusus nya petani padi. Dengan keputusan baru ini, peluang petani untuk berubah nasib dan kehidupan, kini semakin terbuka.

Ir. Entang Sastraatmadja, penulis – (Sumber: tabloidsinartani.com)

Hal cukup penting dari Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional No.14/2025 antara lain adalah dicabutnya persyaratan kadar air dan kadar hampa dalam proses penjualan gabah petani kepada Perum Bulog dan Offtaker gabah lainnya. Untuk mendapatkan harga gabah sebesar Rp. 6500,- per kg, petani tidak perlu lagi menghasilkan gabah berkadar air maksimal 25 % dan kadar hampa maksimal 10 %.

Berapa pun kadar air dan kadar hampa yang melekat dalam gabah petani, Perum Bulog diwajibkan untuk membelinya dengan harga Rp.6500,-. Dalam bahasa lain, Perum Bulog wajib hukumnya untuk menyerap “gabah apa adanya”, yang dihasilkan para petani. Aturan semacam ini, tentu saja membuat para petani riang gembira, karena jerih payahnya selama 100 hari, akhirnya dihargai cukup layak oleh Pemerintah.

Akibatnya wajar, ketika penulis bertemu dengan para petani padi di lapangan, tiba-tiba ada yang berbisik : mengapa kebijakan ini baru muncul di era Pemerintahan Presiden Prabowo ? Bayangkan, jika sejak reformasi bergulir sekitar 27 tahun lalu, bangsa ini sudah menerapkan aturan yang cukup menyenangkan kaum tani, maka betapa banyaknya petani yang dapat terbebas dari jeratan suasana hidup miskin ?

Betul ! Mestinya sejak Pemerintahan Presiden SBY dan Presiden Jokowi, di awal-awal era reformasi, Pemerintah sudah dapat menerapkan kebijakan yang berpihak kepada petani. Pemerintah dengan seabreg kekuasaan dan kewenangan yang digenggamnya, sebenarnya memiliki kemampuan untuk menelorkan aturan yang secara nyata melakukan pembelaan dan perlindungan petani.

Sekalipun masih terekam adanya para petani yang menjual gabah hasil panennya dibawah harga Rp. 6500,- per kg, tapi jika dilihat dari kebijakan yang digelindingkan, Perum Bulog dan Pengusaha Penggilingan Padi/Beras, telah berkomitmen untuk membeli gabah petani dengan ‘any quality’, sekurang-kurangnya pada harga Rp. 6500,- per kg.

Dengan penetapan harga pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen sebesar itu, mestinya para petani dapat tersenyum lega. Bukan saja para petani tidak perlu lagi was-was akan terjadinya anjlok harga gabah pada saat panen raya tiba, namun aturan itu pun menunjukkan jaminan Pemerintah atas kepatutan HPP gabah yang layak diterima petani.

Penetapan ‘satu harga’ gabah, boleh jadi merupakan bukti nyata Pemerintah untuk melindungi dan membela petani dari perilaku oknum yang doyan memainkan harga jual gabah di tingkat petani. Pemerintah berharap agar saat panen raya tiba, tidak terdengar lagi keluhan petani yang mengumandangkan suara soal anjloknya harga gabah.

Selain itu, lewat kebijakan baru ini pun Pemerintah berkeinginan agar para petani semakin bergairah dalam menggarap usahatani padi yang dilakoninya. Dengan demikian, produksi akan semakin meningkat, karena petani tertarik dengan harga yang ditawarkan, sehingga kesan Pemerintah kurang menghormati jerih payah petani dalam mengelola usahataninya pun bakal pupus dengan sendirinya.

Hal ini menarik untuk dicermati, karena jika produksi beras dapat ditingkatkan secara signifikan, tentu akan mengokohkan cadangan beras Pemerintah, disamping juga membuka pintu ke arah pencapaian swasembada pangan sebagaimana yang ditargetkan Pemerintah. Swasembada beras adalah kata kunci untuk terwujudnya swasembada pangan berkelanjutan, bukan swasembada pangan ‘on trend’.

Jujur kita akui, tidak banyak kebijakan Pemerintah di sektor pertanian yang membuat petani dapat tersenyum. Selama ini, para petani sering dijadikan korban pembangunan yang memilukan. Padahal, sebagai anak bangsa para petani pun memiliki hak untuk hidup sejahtera. Tugas dan kewajiban Pemerintahlah untuk mensejahterakan kehidupannya.

Tak lama lagi, bangsa kita akan memperingati kemerdekaannya yang ke 80 tahun. Selama delapan dekade kita membangun, telah banyak hal yang kita raih. Nanun begitu, kita pun memahami kaum tani di negeri ini, terlihat masih hidup mengenaskan. Lilitan kemiskinan masih saja menjerat kehidupannya. Kaum tani, khususnya petani gurem dan buruh tani, tetap hidup nelangsa.

Data lebih memilukan dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Lembaga data ini merilis, 47,94 % mereka yang terkategorikan kemiskinan ekstrim berbasis kaum tani. Mereka hidup hanya sekedar menyambung nyawa, tanpa ada harapan yang mencerahkan di masa datang. Itu sebabnya, kita perlu memutar otak untuk melahirkan terobosan cerdas guna mensejahterakannya.

Semangat Pemerintahan Presiden Prabowo yang ingin mencapai swasembada pangan, sudah sepatutnya didukung sepenuh hati. Sebab, semangat swasembada pangan yang ingin diraih, bukan hanya sekedar meningkatnya produksi pangan setinggi-tingginya, tapi juga harus dibarengi dengan terwujudnya kesejahteraan petaninya. Itu alasannya, ikon yang dibangun akan berbunyi swasembada pangan yang mensejahterakan petani.

Bila suasana seperti ini dapat dibuktikan, jelas jargon petani bangkit mengubah nasib, bukan lagi sekedar omon-omon, tapi betul-betil akan terjadi. Petani tidak akan cemberut lagi, namun mereka akan mampu tersenyum lebar. Senyuman petani merupakan cerminan negeri yang penuh dengan rasa bahagia.

***

Judul: Senyuman Kaum Tani
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *