MajmusSunda News, Kota Cimahi, Jawa Barat, Rabu (16/10/2024) – Artikel berjudul “Pernyataan Majelis Musyawarah Sunda: Peringatan Keras untuk Pemerintah Pusat agar Peduli dengan Masyarakat Sunda” ini adalah sebuah esai karya Asep Arie Barajati yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan pemerhati budaya Sunda, kini tinggal di Kabupaten Bandung Barat.
Pada Minggu, 13 Oktober 2024 kemarin, ratusan tokoh Sunda berkumpul di Gedung Unpad, Gd II – Lt 4, Jln. Dipati Ukur No. 35 Kota Bandung untuk melaksanakan acara Musyawarah Pertama Majelis Musyawarah Sunda (MMS). Mereka berasal dari berbagai kalangan dengan tujuan untuk menyatukan visi dan misi mereka dalam sebuah moto yang dicetuskan oleh para pendirinya yaitu “Sunda Mulia Nusantara Jaya”.
Majelis Musyawarah Sunda adalah kaukus inisiatif masyarakat Sunda di Provinsi Jawa Barat, Banten, dan Daerah Khusus Jakarta, serta Sunda Pangumbaraan dan Diaspora Sunda. Mereka dipersatukan oleh komitmen bersama untuk membangun rumah kebangsaan Indonesia dengan memperkuat kaki-kakinya (sukunya).
Moto “Sunda Mulia Nusantara Jaya” merupakan hasil refleksi dari cita-cita dua tokoh nasional Sunda yaitu Oto Iskandar di Nata dan Ir. H. Djuanda Kartawijaya. Menurut mereka, dalam Kebhinekaan Indonesia, suku bangsa Sunda meninggikan menjadi Suku Bangsa Mulia (yang menghargai dirinya dan dihargai suku-suku bangsa lainnya) dan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sehingga mengalami kejayaan yang panjang.
Suku Sunda merupakan Suku dengan populasi terbanyak kedua di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dalam Sensus Penduduk (SP) Tahun 2010 disebutkan jumlah Suku Sunda mencapai 36.701.670 jiwa, atau setara dengan 15,5 persen dari total penduduk Indonesia (Sumber: Kompas, 05/01/2022).
Tentu saja keberadaan masyarakat Sunda perlu mendapat perhatian khusus karena mengingat banyak tokoh masyarakat Sunda yang turut berperan dalam mendirikan Negara Kesatuan Indonesia (NKRI). Andil mereka tidak bisa dilupakan begitu saja karena keberadaan mereka cukup strategis bagi keberadaan bangsa ini.
Para tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut terdiri dari tiga kelompok besar, yaitu pinisepuh (orang yang dituakan/sesepuh), penata pikir (dewan pakar), dan penata gawe (badan pekerja). Beberapa tokoh penting di antaranya adalah Prof Dr. Ir.Ganjar Kurnia, Ir.,DEA; Dr. (HC). Ir. Burhanudin Abdullah, M.A.; Laksamana TNI (Purn) Dr. Ade Supandi, S.E.,M.A.P., dan; Dindin S. Maolani, S.H.
Dalam acara Musyawarah Pertama MMS tersebut terdapat dua agenda penting yang dibahas, yaitu Agenda Pertama menetapkan 9-11 Anggota Presidium Pinisepuh, menetapkan Anggota Dewan Pakar, dan menatapkan Anggota Badan Pekerja.
Agenda Kedua yaitu membuat pernyataan publik MMS terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak Jawa Barat, Banten, dan Daerah Khusus Jakarta (DKJ), serta harapan kepada Pemerintahan Baru “Prabowo-Gibran” dan aspiras/pemikiran strategis MMS.
Kedua agenda penting Musyawarah Pertama MMS tersebut merupakan sesuatu yang istimewa karena berdekatan dengan pelaksanaan pelantikan Pemerintahan Baru “Prabowo-Gibran” dan Pilkada serentak di seluruh Indonesia.
Para tokoh Sunda yang hadir dalam pertemuan tersebut menyoroti sistem pemerintahan yang terjadi di Indonesia saat ini. Menurut mereka, ada sesuatu yang salah dan perlu diperbaiki agar ke depannya bangsa Indonesia semakin maju, bersatu, adil dan makmur.
Menurut para tokoh MMS, dalam membangun wilayah Indonesia yang begitu luas, tidaklah tepat jika dikelola dengan cara sentralistik seperti yang selama ini terjadi. Sekelompok kecil penguasa, golongan, dan daerah tertentu menjadi penentu kebijakan negara, padahal pembangunan nasional seharusnya dikembangkan sebagai usaha persemakmuran bersama dengan semangat gotong-royong yang melibatkan partisipasi seluruh rakyat, golongan, dan daerah secara inklusif.
Kritik terhadap kebijakan sentralisme oleh pemerintah pusat ini sering dibahasakan oleh beberapa tokoh Sunda dengan kalimat, “Indonesia bukan (hanya) Jakarta.” Apalagi secara sosiologis dan historis, Jakarta adalah wilayah yang diberikan orang Sunda untuk mengelola persatuan dan kesatuan nasional yang berkeadilan (justly governed).
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah harus dimaknai sebagai cara membangun Indonesia dengan memperkuat kaki-kaki partisipasi dan kapasitas daerah, mendekatkan pelayanan publik pada akar rumput di daerah, serta mencegah pemusatan pembangunan di wilayah tertentu.
Membangun daerah-daerah di Indonesia secara inklusif menghendaki kesetaraan dan keadilan; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing; tidak membiarkan pembangunan suatu daerah harus dibayar dengan merusak dan memarjinalkan daerah lain.
Para tokoh MMS pun tidak setuju dengan kebijakan pemerintah pusat dengan gagasan dan kebijakan aglomerasi ─ pengumpulan penduduk, kegiatan ekonomi, dan infrastruktur di suatu wilayah perkotaan tertentu. Kebijakan aglomerasi juga jangan sampai menjadi jalan tol bagi ekspansi kekuatan modal dan oligarki untuk memperluas wilayah usaha dan pengaruhnya dengan merusak lingkungan, mempersempit ruang usaha, ruang hidup dan pilihan hidup masyarakat lokal, mengerdilkan kapasitas lokal, dan memperlemah daya hidup dan daya tanding budaya setempat.
Dalam Musyawarah Pertama Majelis Musyawarah Sunda tersebut, selain para Pinisepuh, Dewan Pakar, dan Badan Pekerja MMS akhirnya berhasil membuat pernyataan publik yang nantinya bisa dijadikan sebagai panduan kepada masyarakat Sunda, sekaligus masukan serta tuntutan kepada Pemerintahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota dalam kaitan “Sunda, Sarakan, jeung Nagara” (Sunda kepada Tanah Airnya dan kepada Negaranya) mengenai beberapa masalah sebagai berikut:
Pertama, Majelis Musyawarah Sunda mendorong agar Pemilu Daerah Serentak Secara Langsung (Pilkadal) terutama di tatar Sunda (Jawa Barat, Banten, dan Daerah Khusus Jakarta) dapat menjadi Pilkada Serentak 2024 yang berkualitas, bermartabat, dan berintegritas (demokrasi substantif) yang diharapkan menghasilkan kepemimpinan wilayah dan daerah terbaik yang nantinya dapat membangun wilayah dan daerah tatar Sunda yang besar potensi dan masalahnya, menjadi wilayah yang “Gemah Ripah, Repeh, Rapih”, “Beriman Bertaqwa” dan “Berjaya”.
Rancang bangun Perencanaan dan Pelaksanaan pembangunan yang terencana, baik secara teknokratik dan partisipatif tercermin mulai dari desain Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJPMD) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Semuanya harus sudah mencerminkan tolok tolok ukur yang berlaku nasional dan global serta berkearifan lokal.
Kedua, dalam rangka menyongsong Kepemimpinan Baru Pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan dilantik 20 Oktober 2024, di mana realitasnya berada dalam situasi nasional dan global yang berat menantang, kami Masyarakat Tatar Sunda menghimbau agar jadilah Pemerintahan yang Berani dan Berkeadilan karena Adil dekat dengan Taqwa.
Hanya dengan Keberanian dan Keadilan maka masalah-masalah bangsa yang ditinggalkan pemerintah-pemerintah sebelumnya, fondasi pemecahan masalahnya dapat dibangun seperti Pemberantasan Korupsi yang berkepastian hukum, proposional dan menegakkan kepentingan nasional; Pengelolaan Keuangan Negara yang tidak bertata Kelola baik, Pembangunan yang hanya menguntungkan kelompok oligarki politik dan ekonomi, Penguasaan Tanah, Air dan Kekayaan Alam yang dikuasai satu persen orang-orang berkuasa, Gejolak Sosial dan Permasalah Lingkungan Hidup yang semakin terdegradasi.
Tiga, Provinsi Jawa Barat dan Banten sampai saat ini belum mendapatkan keadilan dalam masalah Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang sekarang ini Perundang-undangannya menjadi Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah karena sistem perhitungan Undang-undang Keuangan tersebut tidak menghitung berapa sebenarnya jumlah yang diberikan oleh Provinsi Jawa Barat dan Banten. Akibatnya anggaran Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil dan lain-lain yang diterima Jawa Barat dan Banten lebih kecil dari Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara apalagi dengan Daerah Khusus Jakarta.
Sistem Perpajakan yang mana industri dengan semua permasalahannya berada di Provinsi Jawa Barat dan Banten tetapi Pajaknya dimiliki oleh Jakarta dan Pusat, telah menimbulkan ketimpangan terhadap beban penduduk, lingkungan dan masalah sosialnya yang berat bagi Jawa Barat dan Banten. Majelis Musyawarah Sunda meminta percepatan persetujuan pemekaran daerah baik secara nasional maupun parsial untuk Kabupaten/Kota untuk Provinsi Jawa Barat (10 Kabupaten/Kota) dan Banten untuk mempercepat keadilan pembagian keuangan dari peraturan perundang-undangan yang ada.
Undang-undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah harus dikaji kembali secara komprehensif sehingga memberikan rasa keadilan bagi seluruh daerah-daerah di Indonesia karena keadilan perimbangan keuangan pusat daerah adalah perekat utama bagi Persatuan dan Kesatuan Nasional secara rasional.
Empat, Pembangunan Nasional dan Regional di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten dan Daerah Khusus Jakarta yang selama ini jauh dari prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan yang mengelola lingkungan hidup sebagai kewajiban utama manusia sebagai khalifah fil ards maka untuk memitigasi kerusakan yang lebih jauh yang berakibat bencana alam dan bencana kemanusiaan bagi generasi mendatang, kami meminta Pemerintah Pusat untuk segera menangani secara serius penataan dataran tinggi Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur), Tanam Nasional Pangarango, Gede, Salak, Kawasan Bandung Utara dan Bandung Selatan, Taman-Taman Nasional serta Gunung-Gunung di Jawa Barat dan Banten lainnya yang merupakan daerah tangkapan air (catchmen area) dan mata air kehidupan (sumber air) untuk Provinsi Jakarta, Jawa Barat dan Banten serta mencegah Banjir di Jakarta dan Pantura bukan dengan tetap menjadikannya pusat eksploitasi bagi para kapitalis penguasa tanah dengan konsep Kawasan Aglomerasi.
Majelis Musyawarah Sunda menuntut dibuatnya peraturan perundang-undangan yang partisipatif dan komprehensif, karena menurut kearifan lokal Sunda jelas menyatakan “Gunung teu menang dilebur, Lebak teu menang diruksak; pendek teu menang disambung; lojong teu menang dipotong, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun” (Gunung tidak boleh dihancurkan, lebak tidak boleh dirusak, pendek tidak boleh disambung, panjang tidak boleh dipotong, yang bukan harus dikatakan bukan (lain), yang tidak boleh dikatakan tidak boleh, yang seharusnya harus dikatakan seharusnya).
Lima, Majelis Musyawarah Sunda secara tegas menolak Undang-undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta BAB IX : Kawasan Aglomerasi Pasal 51-60, yang mencakup minimal wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kota Bekasi.
Undang-undang Provinsi Daerah Khusus Jakarta disusun secara tergesa- gesa, di mana orang Sunda tidak pernah dipertimbangkan untuk mendapatkan penjelasan yang memadai, diajak berpartisipasi secara demokratis, dan dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab. Kebijakan Kawasan Aglomerasi bertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945 dimana daerah-daerah otonom yang berada di Tatar Sunda (Jawa Barat, Banten, Jakarta) tidak lagi berhak merencanakan pembangunan wilayah/daerahnya sesuai dengan karakter wilayah serta budayanya, melainkan ditentukan oleh Pemerintah Pusat.
Demi Kesatuan dan Persatuan bangsa, kami menuntut agar Pemerintah Pusat pada masa Pemerintahan Prabowo Gibran 2024-2029, mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang untuk membatalkan Undang-undang berkait dengan Kebijakan Kawasan Aglomerasi tersebut.
Kelima poin penting tersebut merupakan penyataan penting Majelis Musyawarah Sunda yang harus disikapi pemerintah pusat. Pernyataan ini merupakan Peringatan Keras masyarakat Sunda terhadap pemerintah pusat agar mau mendengar suara hati orang Sunda.
Ketua Panitia Pelaksana Musyawarah Pertama MMS, Andri Perkasa Kantaprawira mengatakan, “Masyarakat Sunda memandang bahwa pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila tak bisa berkembang dan dikembangkan dengan cara yang tercerabut dari akar kerakyatan yang tumbuh di bumi kesukuan dan kedaerahan dengan segala asal-usul kesejarahan, kekhasan sosial-budaya, potensi sumber daya, dan karakteristik ruang hidupnya. Cerlang budaya sebagai hasil interaksi antarelemen asal-usul kesukuan dan kedaerahan yang mensejarah itu ibarat anggur tua dalam botol baru negara-bangsa Indonesia yang terlalu berharga untuk ditelantarkan.
Pada kesempatan tersebut, Andri juga mengatakan bahwa MMS telah ditetapkannya 13 Pinisepuh MMS dan kepengurusan akan berjalan dan melaksanakan tugasnya. Sebanyak 13 Pamangku Pinisepuh Sunda yang akan menjalankan roda organisasi dua tahun ke depan adalah:
Burhanudin Abdullah (Pinisepuh Pangangku Sunda 1), Laksamana TNI (Purn) Ade Supandi (Pinisepuh Pamangku Sunda 2), Ganjar Kurnia (Pinisepuh Pamangku Sunda 3), Irjen Pol (Purn) Taufiqurrahman (Pinisepuh Pamangku Sunda 4), Zaenudin (Pinisepuh Pamangku Sunda 5), Halimah (Pinisepuh Pamangku Sunda 6), dan Dindin S Maulani (Pinisepuh Pamangku Sunda 7).
Kemudian Numan Abdul Hakim (Pinisepuh Pamangku Sunda 8), Ikik Lukman (Pinisepuh Pamangku Sunda 9), Ernawan S (Pinisepuh Pamangku Sunda 10), Didin S Damanhuri (Pinisepuh Pamangku Sunda 11), Agus Pakpahan (Pinisepuh Pamangku Sunda 12) dan Ayi Hambali (Pinisepuh Pamangku Sunda 13).
***
Judul: Pernyataan Majelis Musyawarah Sunda: Peringatan Keras untuk Pemerintah Pusat agar Peduli dengan Masyarakat Sunda
Penulis: Asep Arie Barajati, pemerhati Budaya Sunda
Editor: Jumari Haryadi