“Bareto”

Artikel ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

Ilustrasi: Pemandangan alam - (Sumber pixabay)

MajmusSunda News, Minggu (26/01/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Bareto” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Kata “bareto” memang memiliki banyak makna. Bareto adalah singkatan dari “Barang yang Dapat Diperbarui” atau “Barang yang Dapat Dibuat Kembali”. Namun, dalam konteks pertanian dan pangan, Bareto dapat berarti:

Dalam pengertian umum, bareto menunjuk kepada barang atau komoditas yang dapat diperbarui atau diproduksi kembali, seperti beras, jagung, atau kedelai. Atau bisa juga berkaitan dengan produk pertanian yang dapat diperbarui secara alami atau melalui proses pertanian.

Ir. Entang Sastraatmadja
Ir. Entang Sastraatmadja, penulis – (Sumber: tabloidsinartani.com)

Sedangkan dalam pengertian khusus, seperti dalam konteks BULOG (Badan Urusan Logistik), bareto merujuk pada barang-barang pangan strategis yang dikelola dan didistribusikan oleh BULOG. Dalam konteks ekonomi, Bareto dapat merujuk pada barang-barang yang memiliki nilai ekonomis dan dapat diperbarui.

Di sisi yang lain, bareto adalah kata dalam bahasa Sunda yang artinya jaman dulu alias lawas. Bareto seringkali diidentikan dengan baheula. Kata bareto ini menjadi sangat penting, ketika kita ingin mengenang masa lalu yang umumnya penuh dengan kenangan indah. Di waktu baretolah kita merasakan bagaimana “deg degan” nya hati di saat akan mengutarakan rasa cinta terhadap gadis yang dicintainya.

Atau bagaimana meredam rasa malu ketika dirinya dijemur di depan ruang Kepala Sekolah, karena ketahuan sedang merokok di kamar kecil. Kejadian seperti itu, tentu masih tersimpan di benak kita, yang pernah mengalaminya di masa lalu. Bareto betul-betul saksi kehidupan yang tak mungkin kita hapus dalam rekam jejak kita masing-masing.

Bareto ya Baheula ! Masa lalu ysng menyimpan kenangan. Dalam suasana kekiniab, banyak juga orang-orang yang ingin kembali ke masa lalu. Terlebih jika jaman baheula itu ada sesuatu yang punya makna khusus dalam kehidupannya. Bahkan sering kita baca di belakang truk tulisan “enak jaman ku toh” ? Kalimat yang keluar dari gambar Pak Harto dengan senyuman khas nya.

Hal ini sah-sah saja disampaikan. Sebagai bangsa yang merdeka, kita tidak dilarang untuk membandingkan masa lalu dengan masa kini. Kalau kita mau obyektif, tidak semua produk masa lalu itu buruk. Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, pasti ada yang baik dan ada yang buruk. Semua itu, tentu hsrus kita akui dengan “jembar manah”.

Sebut saja keberhasilan Pemerintahan Orde Baru yang pada tahun 1984 manpu menorehkan Indonesia di panggung dunia, atas kisah suksesnya merebut predikat negeri yang berswasembada beras. Padahal, sebelum-sebelumnya. Indonesia dikenali oleh warga dunia, sebagai salah satu importir beras yang cukup besar di dunia.

Keberhasilan yang membuat bangsa-bangsa lain memberi acungan jempol kepada Pemerintah yang dipimpin Presiden Soeharto, tentu saja melahirkan kebanggaan tersendiri bagi bangsa kita. Rasa bangga itu menjadi semakin nyata, ketika Presiden Soeharto didaulat untuk berbagi pengalaman dalam meraih swasembada beras itu, dihadapan para Kepala Negara yang tergabung di FAO, dalam Sidang Tahunannya di Roma, Itali.

Inilah prestasi yang patut dicatat dengan tinta emas dalam perjalanan pembangunan pertanian di negeri ini. Betapa tidak ! Sebab, tidak semua bangsa mampu mrwujudkannya. Terlepas dari kualitas swasembada beras yang kita raih, apakah sifatnya “on trend” atau “berkelanjutan”, namun secara faktual, Indonesia pernah meraih dan memproklamirkannya.

Tidak hanya itu. Saat ini pun ada pengalaman masa lalu yang patut dijadikan cermin untuk menjawab tantangan masa kini dan mendatang. Dalam upaya mewujudkan swasembada pangan, Presiden Prabowo merasa perlu untuk merevitalisasi Perum Bulog yang ada sekarang. Presiden yakin, Bulog akan lebih berperan nyata bila status BUMN nya ditanggalkan dan berubah jadi lembaga otonom Pemerintah langsung dibawah Presiden.

Kemauan politik ini, sepertinya dapat dukungan dari sebagian besar warga bangsa. Bulog tidak seharusnya menjadi pedagang. Pengalaman selama 21 tahun jadi BUMN, membuktikan Perum Bulog memang tidak piawai dalam melaksanakan fungsi bisnisnya. Sebab, senafas dengan purwadaksinya, Bulog dilahirkan memang untuk memberi pelayanan terbaik bagi rakyat.

Adanya semangat Pemerintah untuk mengembalikan Bulog ke masa lalu, tentu disesuaikan dengan suasana kekinian, rasa-rasanya patut diberi acungan jempol. Harapan kita, semoga proses penyiapan regulasi dalam mewujudkan transformasi kelembagaan Bulog ke arah yang diimpikan, akan segera terselesaikan dalam tempo yang tidak terlampau lama lagi.

Itulah bareto. Masa lalu yang menyimpan kerinduan bagi pemilik kenangan indah. Walaupun apa yang terjadi di masa lalu, tidak akan lagi kita lakoni di masa kini, namun banyak diantara kita yang ingin merasakannya kembali. Muncullah kegiatan seperti napak tilas atau reuni. Lewat kegiatan ini mereka berharap kejadian masa lalu akan terkenang lagi di masa kini.

Bareto adalah saksi kehidupan. Selain menyimpan kenangan manis, jaman baheula pun pasti akan diwarnai kenangan buruk yang dialami seseorang. Bagaimana rasanya batin menderita ketika dirinya dijebloskan ke dalam bui, karena melawan Pemerintah, hanya masa lalu yang paling tahu dan mengerti. Bukannya masa kini. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).

***

Judul: “Bareto”
Penulis : Ir. Entang Sastraatmadja
Penyunting: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *