MajmusSunda News, Selasa (10/12/2024) – Artikel berjudul “Persetujuan Linggarjati yang Bersejarah” ini ditulis oleh: Dr. Ernawan S. Koesoemaatmadja, M.Psi., M.B.A., CIQA., CQM., CPHRM., Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Dalam perjalanan mengarungi marwah kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, banyak tekanan dan godaan terhadap Republik Indonesia yang masih dalam tahap lelengkah halu menata dirinya, terkait menjaga integritas, harga diri bangsa, dan negara.
Akibat pelanggaran tentara sekutu yang berulah, terjadilah insiden bendera di Surabaya yang terjadi pada 19 September 1945. Kemudian datanglah pendaratan tentara sekutu/AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) pada 29 September 1945 yang dipimpin oleh Laksamana Earl Louis Mountbatten.

Kemudian terjadi pertempuran lima hari di Semarang pada 14 Oktober 1945, dimulai dari penyerangan Kidobutai (batalyon tentara Jepang di bawah pimpinan Mayor Kido) kepada tentara Indonesia.
Berlanjut peristiwa pertempuran Surabaya, 10 November 1945 yang diawali dari tekanan pemaksaan Brigade 49/Divisi India di bawah komando Brigadir Jenderal Mallaby yang mau membebaskan perwira sekutu dan pegawai RAPWI (Relief of Allied Prisoners of War and Internees) yang ditawan pasukan Republik Indonesia. Kejadian ini berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby.
Sebetulnya tugas dari Brigade 49 adalah: menerima penyerahan kekuasaan dari Jepang, membebaskan para tawanan perang dan Interniran sekutu, melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk dipulangkan ke negaranya, menegakkan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia, dan menghimpun keterangan, serta menghukum penjahat perang (Biarpun pada praktiknya, para pemimpin nasional kita malahan banyak yang diteror. Bahkan, terjadi percobaan pembunuhan, seperti yang dialami oleh Sutan Syachrir, M.Natsir, dan lain-lain).
Dalam mengatasi masalah masalah tersebut maka untuk pertama kalinya diadakan pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Belanda dan sekutu, bertempat di Markas Besar Tentara Inggris di Jakarta (Sekarang Jalan Imam Bonjol No.1 Jakarta).
Pihak Sekutu diwakili Letnan Jenderal Christison, Belanda oleh Dr.H.J. Van Mook (Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda), Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Sutan Syachrir selaku Perdana Menteri. Namun, pertemuan ini berakhir tanpa hasil apapun. Peristiwa itu terjadi pada 17 November 1945.
Karena kondisi seperti itulah maka kembali meletus Pertempuran Ambarawa yang dipimpin oleh Kolonel Soedirman. Hal itu terjadi karena perilaku tentara Sekutu yang membebaskan secara sepihak para interniran Belanda di Magelang dan Ambarawa. Mereka melanggar perjanjian setelah berunding antara Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal Bethel. Mereka melakukan pelanggaran pada 21 November 1945.
Selanjutnya pada 23 November 1945, berlangsung pertempuran dengan pasukan Sekutu di Kompleks Gereja dan Pekuburan Belanda di Jalan Margo Agung. Kemudian pada 12 Desember 1945, pasukan Indonesia kembali melancarkan serangan balasan secara terpadu. Setelah tembak menembak selama empat hari, akhirnya tentara Sekutu berhasil dipukul Mundur, dihalau sampai lintang pukang, dari Ambarawa sampai ke Semarang.
Diluar itu juga, pada 19 Desember 1945, tentara Sekutu yang ditunggangi Belanda menggempur daerah Karawang – Bekasi dari darat dan udara, tetapi tentara Republik Indonesia dan laskar perlawanan rakyat menghadang serbuan tersebut yang menimbulkan cukup banyak korban jiwa di antara kedua belah pihak.

Kejadian tersebut juga mengilhami para seniman untuk mengabadikan peristiwa itu, salah satunya adalah Chairil Anwar dalam sajaknya yang terkenal yaitu berjudul “Aku dan Karawang – Bekasi”. Akhirnya Inggris kembali memaksa Belanda untuk berunding ulang dengan pemerintah Indonesia dengan menghadirkan penengah Sir. Archibald Clark Kerr dan kemudian Lord Killearn.
Lord Killearn berhasil membawa para wakil pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda ke meja perundingan, berlangsung di kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta, pada 7 Oktober 1946. Delegasi Pemerintah Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Syachrir, sedangkan Belanda di pimpin oleh Prof. Schermerhorn. Di bidang politik, pemerintah Indonesia dan Belanda hanya sepakat untuk menyelenggarakan perundingan politik secepat mungkin.
Sebagai kelanjutan pelbagai perundingan yang selalu tidak searah dan berjalan buntu, sejak 10 November 1946 di Linggarjati dekat Cirebon, dilangsungkan perundingan kembali antara pemerintah Indonesia dengan Belanda yang dipimpin oleh Lord Killearn dan pada 15 November 1946 naskah perjanjian tersebut diparaf oleh kedua belah pihak dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
Pertama, Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura, dan Belanda harus keluar paling lambat 1 Januari 1949.
Kedua, Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satunya adalah Negara Bagian Republik Indonesia.
Ketiga, Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia Belanda.
Persetujuan Linggarjati diparaf pada 15 November 1946 dan ditandatangani pada 25 Maret 1947 di di Gedung Rijswijk, Jakarta (Sekarang Istana Merdeka). Namun, pelaksanaannya tidaklah mulus, adanya jurang perbedaan penafsiran yang membahayakan Indonesia yang masih seumur jagung dengan Pemerintah Belanda.
Naskah Persetujuan Linggarjati ditandatangani oleh:
Delegasi Indonesia: Sutan Syachrir, Mr Soesanto Tirtoprodjo, Dr.Adnan Kapau Gani, dan Mr.Mohammad Roem.
Delegasi Belanda: Prof.Mr.Schermerhorn, Dr.Hj.Van Mook, Mr.Van Pool, dan Dr.F. De Boer.
Saksi Saksi: Dr.Leimena, Dr.Soedarsono, Mr.Amir Syarifuddin Harahap, dan Mr.Ali Boediardjo.
Penengah: Lord Killearn.
Dari pelbagai kejadian itu, timbullah gagasan dari Jenderal Soedirman dan Jenderal Mayor Urip Soemohardjo, serta disetujui dan disepakati oleh Presiden Soekarno untuk membentuk satu wadah Tentara Nasional Indonesia untuk pertahanan dan bangsa.
Selanjutnya pada 5 Mei 1947, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang intinya mempersatukan laskar dan tentara ke dalam satu wadah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pelaksanaannya kepada Panglima Besar Soedirman. Setelah Persetujuan Linggarjati pada 25 Maret 1947, pemerintah Inggris dan Amerika Serikat mengakui pemerintahan Indonesia.
Sumber bacaan (kepustakaan): Buku “30 Tahun Indonesia Merdeka”, “Panglima Besar Sudirman – sebuah kenangan perjuangan”, dan bacaan lainnya.
***
Judul: Persetujuan Linggarjati yang Bersejarah
Penulis: Dr. Ernawan S. Koesoemaatmadja
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas info Penulis
Dr. Ernawan S. Koesoemaatmadja, M.Psi., M.B.A., CIQA., CQM., CPHRM., adalah anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS). Penulis pernah bertugas sebagai General Manager HRD, General Manager Accounting – Finance, Direktur HRM & Adm, Serta Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan & Alumni, Wakil Rektor Bidang Keuangan, Asset & Legal.