MajmusSunda News, Selasa (19/11/2024) – Artikel berjudul “Hujan Kasih” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saudaraku, sekali hujan turun, rerumputan kering menghijau kembali. Ketulusan memberi dan melayani menumbuhkan spontanitas daya bangkit bagi semesta kehidupan.
Filsuf Mencius meyakini jiwa manusia sehat tak akan kosong dari rasa simpati pada sesama. Jika seseorang melihat anak kecil berdiri di tubir jurang, secara refleks dia akan menghela anak tersebut tanpa sempat berpikir apa suku, agama, atau keuntungan yang didapat.

Mencintai sesama bak mencintai diri sendiri adalah kaidah emas bagi kebahagiaan hidup. Kebahagiaan tertinggi, menurut Viktor Frankl dapat terengkuh manakala manusia menemukan makna dalam hidupnya.
Neokorteks otak manusia menjadikannya makhluk pencari makna yang menyadari terhadap kebingungan dan tragedi nestapa. Jika kita tak menemukan semacam arti paling mendalam dari hidup, kita mudah jatuh ke lembah keputusasaan. Adapun makna hidup terengkuh dengan jalan mengembangkan welas asih: bergembira dalam kebahagiaan yang lain dan bersedih dalam kepedihan yang lain.
Ketulusan welas asih yang dipancarkan para dermawan, relawan (sungguhan) dan figur teladan bak tetes hujan di tengah kemarau etika dan rasa kemanusiaan. Siraman pelayanan mereka hidupkan kembali kebun kehidupan dari kekeringan yg ditimbulkan oleh keserakahan korupsi, menimbun harta, mementingkan diri sendiri, serta ketegaan saling membohongi, mengkhianati, dan membenci sesama.
Dalam impitan kesulitan yang melilit kehidupan rakyat, para pemuka bangsa dituntut mawas diri. Dengan mawas diri akan tampak bahwa kesulitan warga meraih kebahagiaan hidup disebabkan tabiat elit negeri yang tertawan di kebahagiaan rendah karena rangkaian ambisi keserakahan yang tak pernah berakhir.
Sa’di berkisah, ”Seorang raja yang rakus bertanya kepada seseorang yang taat tentang jenis ibadah apa yang paling baik. Dia menjawab, ‘Untuk Anda yang paling baik adalah tidur setengah hari sehingga tidak merugikan atau melukai rakyat meski untuk sesaat’.”
Dunia dapat menjadi surga ketika kita saling mencintai, mengasihi, dan melayani, serta saling jadi sarana bagi pertumbuhan batin dan keselamatan. Dunia bisa jadi neraka jika kita hidup dalam rongrongan rasa sakit, pengkhianatan, kehilangan cinta, dan miskin perhatian.
***
Judul: Hujan Kasih
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.
Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.
***