MajmusSunda News, Kolom OPINI, Kamis (26/06/2025) – Artikel berjudul “Tropikanisasi Budaya Pangan Indonesia: Meneguhkan Identitas dalam Lanskap Global” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Dewan Pini Sepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.
Di tengah arus globalisasi dan homogenisasi konsumsi, Indonesia sebagai negeri tropis justru memendam kekayaan budaya pangan yang lahir dari keberlimpahan hayati, adat istiadat, dan spiritualitas agraris. Tropikanisasi budaya pangan bukan sekadar pelestarian nostalgia, melainkan strategi kultural dan politik untuk merebut kembali kedaulatan rasa, identitas, dan keberlanjutan ekosistem.

Dari Tropis ke Global: Warisan yang Tergeser
Keanekaragaman pangan tropis seperti singkong, sagu, pisang, kelapa, rempah-rempah, hingga ratusan varietas padi lokal adalah manifestasi keseimbangan manusia dan alam yang lestari. Namun, dalam dekade-dekade terakhir, kita menyaksikan keterputusan dengan akar tropikal ini.
Penelitian Jacinto Fabiosa “Westernization of the Asian Diet” menyoroti pergeseran konsumsi masyarakat Indonesia dari beras dan pangan lokal ke produk berbasis gandum—roti, mi instan, biskuit—yang sepenuhnya bergantung pada impor. Gandum telah menjadi simbol status dan kemodernan, sementara pangan tropis diposisikan sebagai “kelas dua”.
Bung Karno: Pangan adalah Soal Hidup Matinya Bangsa
Presiden Soekarno telah mengantisipasi bahaya ini sejak 1952 saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian IPB, “Pidato saya ini mengenai hidup matinya bangsa kita di kemudian hari. Oleh karena soal yang hendak saya bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan rakyat.”
Pangan bukan sekadar soal perut, tetapi fondasi eksistensial bangsa. Ketergantungan pada pangan impor adalah bentuk pengikisan kedaulatan.
80 Tahun Merdeka: Mengapa Tropika Tak Naik Kelas?
Delapan dekade setelah gelombang dekolonisasi, hampir tidak ada satu pun negara tropis yang berhasil naik kelas menjadi negara maju. Kegagalan struktural ini sebagian besar terkait dengan strategi pembangunan yang tidak berbasis pada potensi lokal dan iklim tropis, melainkan mengejar modernisasi yang dibentuk oleh logika lintang utara.
Koperasi: Sintesis Budaya Pangan Masa Depan
Di sinilah koperasi hadir bukan hanya sebagai lembaga ekonomi, tetapi sebagai sintesis budaya tropis—menggabungkan prinsip kekerabatan, gotong royong, dan kemandirian pangan dalam satu struktur institusional. Koperasi pangan—dari hulu hingga hilir—menawarkan model partisipatif yang tidak sekadar efisien, tetapi adil dan berakar budaya.
Melalui koperasi: Petani diberdayakan bukan sebagai produsen pasif, tapi pemilik kolektif sistem pangan; Konsumen terlibat aktif, menjadi bagian dari jaringan distribusi, bukan sekadar pasar, dan; Inovasi tropis seperti fermentasi, pengeringan matahari, dan agroekologi bisa dikembangkan berbasis komunitas.
Koperasi bukanlah antitesis dari modernisasi, tapi tropikanisasi modern—menggabungkan teknologi dengan nilai-nilai tropis, bukan menghapusnya.
Menuju Indonesia Emas: Makan sebagai Manifesto Budaya
Dengan tropikanisasi dan koperasi sebagai lokomotifnya, bangsa ini dapat membangun sistem pangan yang resilien, berdaulat, dan bermartabat. Di balik sepotong singkong atau sesendok sagu, terdapat strategi pembangunan berakar, bukan sekadar taktik bertahan. Di meja makan tropis, kita bisa mulai menulis ulang masa depan.
***
Judul: Tropikanisasi Budaya Pangan Indonesia: Meneguhkan Identitas dalam Lanskap Global
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi