Trilogi Koperasi: Ekspektasi Rasional, Kebersamaan, dan Kelembagaan

Artikel ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.

Toko serba ada
Ilustrasi: Sebuah pusat perbelanjaan kebutuhan rumah tangga yang dikelola oleh koperasi - (Sumber: Arie/MMS)

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Selasa (06/05/2025) – Artikel berjudul “Trilogi Koperasi: Ekspektasi Rasional, Kebersamaan, dan Kelembagaan” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Dewan Pini Sepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.

Dalam bentang sejarah pemikiran ekonomi, pertarungan antara individualisme dan kolektivisme kerap dianggap tak terdamaikan. Namun, koperasi hadir sebagai sintesis unik yang memadukan rasionalitas individu, solidaritas sosial, dan kerangka kelembagaan. Trilogi ekspektasi rasional, kebersamaan, dan kelembagaan bukan sekadar prinsip operasional, melainkan fondasi filosofis yang menjawab pertanyaan abadi: Bagaimana manusia—sebagai makhluk individual rasional yang sekaligus pula sosial—dapat membangun sistem ekonomi berkeadilan?

Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.
Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S. – (Sumber: MajmusSUnda.id)

Ekspektasi Rasional: Kepentingan Diri yang Tercerahkan 

Koperasi tidak menafikan naluri manusia sebagai homo economicus yang bertindak berdasarkan kalkulasi untung-rugi. Namun, ekspektasi rasional dalam koperasi bukanlah keserakahan individualistik, melainkan “kepentingan diri yang tercerahkan” (enlightened self-interest) sebagaimana digagas Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiments. Anggota bergabung dengan koperasi karena yakin bahwa keuntungan pribadi—seperti akses pinjaman murah atau harga jual lebih tinggi—hanya mungkin tercapai melalui kolaborasi.

Contohnya, petani di Koperasi Amul India tidak menjual susu ke tengkulak demi keuntungan instan, tetapi memilih pemasaran kolektif melalui koperasi. Mereka sadar: stabilitas harga jangka panjang lebih menguntungkan daripada spekulasi pasar. Di sini, rasionalitas ekonomi bukan alat eksploitasi, tetapi instrumen untuk membangun keberlanjutan.

Kebersamaan: Kontrak Sosial yang Hidup 

Kebersamaan dalam koperasi bukan romantisisme, melainkan kontrak sosial yang dihidupi melalui prinsip demokrasi dan kekeluargaan. Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract menekankan bahwa legitimasi suatu lembaga lahir dari kesepakatan bersama (general will) yang mengutamakan kebaikan publik. Koperasi mewujudkan ini melalui mekanisme “satu anggota satu suara”, sehingga suara petani kecil sama dengan pemilik modal besar.

Di Koperasi Kredit Union Keling Kumang, misalnya, kebersamaan termanifestasi dalam program simpan-pinjam yang memberdayakan anggota. Dana yang dikumpulkan secara kolektif tidak hanya menghasilkan bunga bagi penabung, tetapi juga memberi akses kredit bagi anggota lain. Solidaritas ini adalah antitesis dari logika “zero-sum game” kapitalisme, membuktikan bahwa kesejahteraan individu dan kolektif bisa bersinergi.

Kelembagaan: Arsitektur Keadilan

Kelembagaan adalah pilar yang mengubah idealisme menjadi sistem operasional. Elinor Ostrom, peraih Nobel Ekonomi, dalam Governing the Commons menunjukkan bahwa sumber daya bersama hanya lestari jika dikelola melalui aturan yang disepakati kolektif. Koperasi menerjemahkan ini dalam Anggaran Dasar (AD/ART) yang mengatur pembagian keuntungan, mekanisme pengawasan, dan sanksi bagi pelanggar.

Mondragon Corporation di Spanyol—koperasi terbesar dunia—adalah contoh kelembagaan yang adil. Mereka membatasi rasio gaji tertinggi-terendah 1:6, berbanding tajam dengan korporasi kapitalis yang bisa mencapai 1:300. Aturan ini bukan hanya menjamin keadilan, tetapi juga menciptakan loyalitas dan produktivitas anggota.

Sinergi Trilogi: Nash Cooperative Equilibrium 

Trilogi ini menemukan landasan teoretis dalam Nash Cooperative Equilibrium (NCE)—konsep dalam teori permainan kooperatif yang menunjukkan bahwa kolaborasi menghasilkan payoff optimal ketika didukung kelembagaan yang mengikat. Koperasi mentransformasi NCE menjadi praktik melalui:

  1. Ekspektasi Rasional: Anggota patuh pada aturan karena yakin kepentingannya terlindungi.
  2. Kebersamaan: Komitmen kolektif mencegah perilaku free rider.
  3. Kelembagaan: Sanksi dan insentif menjamin kepatuhan.

Contohnya, koperasi hutan adat di Indonesia melarang penebangan liar bukan melalui paksaan, tetapi dengan kesadaran bahwa kelestarian hutan menjamin kehidupan lintas generasi.

Tantangan dan Adaptasi 

Trilogi di atas bukan tanpa halangan atau ujian. Tantangan seperti free rider, konflik internal, atau tekanan globalisasi menguji ketangguhan koperasi. Namun, sejarah membuktikan adaptabilitas koperasi:

– Teknologi: Koperasi platform seperti Fairmondo Jerman menggunakan blockchain untuk transparansi, tanpa mengikis kebersamaan.

– Globalisasi: Jaringan Fairtrade menghubungkan koperasi produsen kopi di Etiopia dengan konsumen Eropa, menciptakan pasar berkeadilan.

– Pendidikan: Koperasi SEWA (Self-Employed Women’s Association) di India memberdayakan perempuan melalui pelatihan, mengubah penerima pasif menjadi agen perubahan.

Penutup: Humanisasi Ekonomi

Koperasi adalah bukti bahwa ekonomi bersifat manusiawi. Trilogi ekspektasi rasional, kebersamaan, dan kelembagaan menunjukkan bahwa manusia mampu merancang sistem yang menghargai rasionalitas individu tanpa mengorbankan solidaritas, atau sebaliknya. Dalam bahasa filsuf Amartya Sen, koperasi adalah wujud development as freedompembangunan yang membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan dan keserakahan.

Di tengah krisis iklim dan kesenjangan global, koperasi bukan sekadar alternatif, melainkan kebutuhan. Ia mengajarkan bahwa masa depan ekonomi bukanlah dikotomi antara kapitalisme dan sosialisme, tetapi sintesis yang memanusiakan: rasional dalam kebersamaan, dan bersatu dalam keadilan. Inilah koperasi sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD ‘45.

***

Judul: Trilogi Koperasi: Ekspektasi Rasional, Kebersamaan, dan Kelembagaan
Penulis: Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *