Sutisna Senjaya: Tokoh Sunda yang Berani dan Kritis terhadap Pemerintahan Sukarno

Artikel ini ditulis oleh: Agung Ilham Setiadi

Sutisna Senjaya atau biasa disebut Sutsen (1890-1961)
Sutisna Senjaya atau biasa disebut Sutsen (1890-1961) - (Sumber: Arie/MajmusSunda.id)

MajmusSunda News, “FEATURE/Mengenal Tokoh Sunda”, Sabtu (14/09/2024) – Artikel dalam Rubrik “FEATURE/Mengenal Tokoh Sunda” berjudul “Sutisna Senjaya: Tokoh Sunda yang Berani dan Kritis terhadap Pemerintahan Sukarno” ini ditulis oleh: Agung Ilham Setiadi, Pemimpin Redaksi MajmusSunda News.

Pria kelahiran Garut, 27 Oktober 1890 bernama Sutisna Senjaya atau biasa disebut Sutsen ini dikenal sebagai salah seorang tokoh Sunda yang berani dan kritis. Ia juga sangat dikenal Kota Tasikmalaya dan dikalangan warga Nahdatul Ulama (UN), serta sikapnya yang berani berbeda pandangan dengan Pemerintahan Presiden Sukarno. Ia meninggal di Bandung pada 11 Desember 1961 dalam usia 71 tahun.

Sutsen dikenal sebagai salah satu pejuang yang malang melintang dalam dunia pergerakan, politik, dan keagamaan urang Sunda dan jurnalis yang kritis pada masanya. Ia termasuk orang yang haus ilmu dan pernah menempuh pendidikan di Sakola Raja (KweekSchool) Bandung pada 1911. Ia juga merupakan seorang guru yang cerdas dan sempat  mengajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Banten dan  di HIS Bandung.

Tjetje Hidayat Padmadinata saat masih jumeneng menuturkan Sutisna Senjaya satu-satunya tokoh yang menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari mewakili urang Sunda dari Partai Gerakan Pilihan Sunda (Gerpis) tahun 1955. Saat itu Sutsen dikenal sangat berani dan kritis kepada pemerintahan Sukarno.

“Hubungan tokoh Sunda saat itu  sedang tidak baik-baik saja dengan Jakarta. Semua takut dicap sebagai provinsialisme (fanatik kesundaan), Sutisna Senjaya berani berbeda pendapat dengan Sukarno,” kata Tjetje.

Sutsen kemudian melanjutkan belajar ke Hoogere Kweek School (HKS) ─ Sekolah guru pada zaman kolonial, juga sempat mengajar di HIS Pasundan 1 Tasikmalaya. Ia mendirikan koran berbahasa Sunda “Sipatahoenan” di Tasikmalaya. Koran ini sempat eksis di Jawa Barat. Bahkan, sampai ke Kalimantan pada masanya.

Saat itu koran berbahasa Sunda tak hanya “Sipatahoenan”, tetapi ada juga “Sora Merdika” yang dinakhodai H. Sanusi (1920). Lalu terbit surat kabar Sipatahoenan (1923). Kedua surat kabar tersebut sangat keras mengkritisi Belanda.

Sejak 1921-1922, Sutsen menjadi redaktur surat kabar “Siliwangi” bersama Bakrie Suraatmaja. Selain di koran, ia aktif juga mendirikan majalah bercorak Islam.

Sutsen menjadi  Pemimpin Redaksi Majalah “Al-Mawa’idz”. Kemudian di NU ia juga mendirikan “Pangrodjong Nahdlatul Ulama” yang diterbitkan oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Tasikmalaya pada Agustus 1933.

Berkat pengabdiannya di NU, Sutsen pun terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Barat pada 1948 dan ia  juga aktif juga di Paguyuban Pasundan. Menjelang kemerdekaan, Sutisna Senjaya, pada saat pendudukan Jepang sempat aktif menjadi Anggota Chuo Sangiin ─ Dewan Pertimbangan Pusat yang dibentuk oleh Jepang selama masa pendudukan di Indonesia.

Perjuangan Sutsen dalam melawan penjajah Belanda dan Jepang, kerap ia tuangkan dalam beberapa media dalam bentuk tulisan. Pasca kemerdekaan, ia  memegang jabatan sebagai Kepala Kantor Urusan Agama di Jakarta. Perjuangannya membela kemerdekaan dilakukan dengan menjadi Pemimpin Pergerakan Perjuangan Rakyat pada zaman revolusi fisik dan Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Tasikmalaya.

Setelah pensiun pada 1954, Sutsen bergabung dengan Daya Sunda. Bersama Ema Bratakusuma dan teman  seperjuangannya, ia aktif kembali menerbitkan surat kabar mingguan berbahasa Sunda “Kalawarta Kudjang” pada 1956.

***

Judul: Sutisna Senjaya: Tokoh Sunda yang Berani dan Kritis terhadap Pemerintahan Sukarno
Penulis: Agung Ilham Setiadi (AIS)
Editor: Jumari Haryadi (JH)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *