Sesudah Hidup

oleh: Prof. Yudi Latif

MajmusSunda News, Jumat (26/10/2025) Artikel berjudul “Sesudah Hidup” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Saudaraku, ada yang percaya hidup tak berhenti di liang. Di balik debu terbentang taman atau api, cahaya atau bayangan — ruang tempat jiwa memetik buah dari benih yang ditanam di bumi. Hidup adalah perjalanan moral; setiap langkah dan niat menjadi arah bagi nasib abadi. Surga dan neraka bukan sekadar tempat, melainkan pantulan dari amal perbuatan.

Prof. Yudi Latif
Prof. Yudi Latif, penulis – (Sumber: Arie/MMNS)

Ada pula yang melihat hidup sebagai pusaran tanpa awal dan akhir. Jiwa bukan garis lurus, melainkan lingkaran: lahir, tumbuh, gugur, lalu mekar kembali dalam wujud lain. Mereka menyebutnya samsara — arus kelahiran dan kematian yang terus berputar, hingga kesadaran mencapai kebebasan murni, moksha, ketika diri larut dalam samudra tak bernama.

Bagi para pejalan sunyi — kaum sufi dan para mistikus — akhirat bukanlah negeri jauh di balik langit. Ia dekat, tersembunyi di balik kelopak kesadaran. Kematian hanyalah tabir yang tersingkap; jiwa kembali ke Rumah Asalnya, ke pelukan Sang Kekasih, tempat ia tak pernah benar-benar pergi. Hidup dan mati hanyalah tarikan napas dari satu cinta abadi.

Sementara para filsuf dan pencinta kebijaksanaan berkata: mungkin yang hidup bukanlah diri kita, melainkan jejak dari apa yang telah kita berikan. Cinta yang kita tabur, gagasan yang kita nyalakan, kemurahan yang kita wariskan — semuanya terus berdenyut dalam dada orang. Kita tiada, tapi gemanya masih bernyanyi di udara.

Di ujung rasionalitas, ilmu pengetahuan berdiri hening, menatap batasnya sendiri. Ia berkata: ketika otak berhenti, kesadaran padam. Namun bahkan para penjaga logika tahu — energi tak pernah musnah, hanya berubah bentuk. Mungkin kesadaran pun demikian: berpindah seperti cahaya yang mencari medium baru, menembus ruang yang belum dinamai.

Maka siapakah yang tahu apa yang menanti purna hidup? Mungkin semuanya benar, mungkin semuanya hanya bayangan dari satu kenyataan yang tak terlukis: bahwa tiada yang benar-benar berakhir — hanya berganti rupa dalam arus cinta yang sama. Hidup telah memberi bocorannya: setiap malam melahirkan fajar, setiap gugur menumbuhkan yang baru. Barangkali kematian hanyalah helaan napas semesta — dan cinta, daya yang menuntun segala yang fana pulang ke sumber cahaya.

***

Judul: Sesudah Hidup
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang penulis

Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.

Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.

Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.

Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.

Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *