Rice Bran, Emas Coklat yang Kita Buang Setiap Hari: Sebuah Dosa Besar terhadap Masa Depan Bangsa

Artikel ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.

beras
Ilustrasi: Beras coklat dalam karung - (Sumber: Arie/MMNS)

MajmusSunda News, Kolom Artikel/Opini, Kamis (04/09/2025) – Artikel Serial Kooperatisasi berjudul Rice Bran, Emas Coklat yang Kita Buang Setiap Hari: Sebuah Dosa Besar terhadap Masa Depan Bangsa” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Pinisepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.

Setiap tetes keringat petani yang menanam padi di sawah, setiap butir gabah yang dihasilkan bumi Nusantara, menyimpan sebuah harta karun yang tak ternilai. Namun, dengan kesadaran penuh, kita memilih untuk membuang harta karun itu ke tempat pakan ternak. Harta karun itu bernama rice bran (dedak padi), dan pembuangannya adalah sebuah kisah tragis tentang bagaimana kita mengabaikan ilmu pengetahuan, mengkhianati kearifan leluhur, dan merusak masa depan sendiri.

Pelajaran yang Terlupakan: Warisan Eijkman dan Nenek Moyang

Pada tahun 1897, seorang ilmuwan bernama Christiaan Eijkman melakukan sebuah eksperimen sederhana di Jawa. Ia memberi makan ayam dengan nasi putih, dan mereka jatuh sakit. Lalu, ia memberi mereka beras tumbuk (beras coklat) dan mereka sembuh. Dari sana, dunia menemukan Vitamin B1 dan Eijkman meraih Nobel. Ilmuwan Barat saja mengakui kehebatan beras tumbuk kita.

Christiaan Eijkman
Christiaan Eijkman – (Sumber: /storage.pubble.nl)

Nenek moyang kita sudah tahu ini sejak lama. Sebelum mesin penggilingan modern datang, mereka makan beras tumbuk—beras yang hanya ditumbuk untuk membuang sekamnya, tetapi masih utuh dengan semua lapisan dedak dan germ-nya. Beras inilah yang membuat mereka kuat bekerja, melahirkan generasi tangguh, dan bebas dari penyakit modern seperti diabetes dan jantung. Namun, kita memilih jalan lain. Kita terpesona oleh kilau “modernitas”.

Kita membangun pabrik-pabrik penggilingan yang canggih, bukan untuk memuliakan pangan kita, tetapi untuk menguliti dan membuang bagian terberharganya. Kita menyebut beras yang sudah tercerabut nyawanya ini sebagai “beras putih” dan membanggakannya sebagai simbol kemajuan, padahal itu adalah simbol kemunduran gizi, arogansi, dan ignoransi.

Kalkulus Kerugian: Triliunan Rupiah yang Kita Buang Setiap Tahun

Mari kita hitung, dengan data yang nyata:

Indonesia menghasilkan 55 juta ton gabah setiap tahun. Dari situ, kita mendapatkan 11 juta ton rice bran. Karena kita tergila-gila pada beras putih, kita menjual rice bran ini sebagai pakan ternak dengan harga hanya Rp 2.500/kg. Total nilainya: Rp 27,5 Triliun. Itu sudah rugi besar, tetapi itu bukan apa-apa.

Jika kita mau sedikit lebih cerdas, jika kita mau belajar dari Eijkman dan leluhur, nilai itu bisa berlipat:

  • Jika rice bran ini kita stabilkan dan jadikan tepung untuk fortifikasi pangan, nilainya bisa mencapai Rp 200 Triliun.
  • Jika kita ekstrak gamma-oryzanol dan vitamin E-nya yang super mahal untuk farmasi dan kosmetik, nilainya bisa menyentuh Rp 286 Triliun.

Kita membuang potensi senilai Rp 200  hingga Rp 286 Triliun setiap tahunnya! Walau ini angka perkiraan, nilainya seperti cahaya yang menerangi kegelapan. Uang tersebut cukup untuk  membebaskan BPJS dari defisit, membiayai pembangunan infrastruktur berkualitas, dan meningkatkan kesejahteraan petani secara dramatis. Namun, kita lebih memilih untuk membuangnya.

beras coklat
Ilustrasi: Beras Coklat dalam karung – (Sumber: Arie/MMNS)

Masa Depan yang Cemas versus Masa Depan yang Cerah

Pilihan kita hari ini menentukan wajah Indonesia masa depan:

1. Jika Terus seperti sekarang Ini: Biaya kesehatan membengkak akibat penyakit degeneratif. Generasi muda tumbuh dengan gizi buruk. Ketahanan pangan rapuh karena sistem kita boros. Masa depan jelas sangat mencemaskan.

2. Jika Kembali ke Jalan yang Benar: Kita bisa dan kuat memiliki generasi yang lebih sehat, cerdas dan kuat. Petani sejahtera karena produknya bisa  bernilai tinggi. Lingkungan terjaga karena lahan pertanian lebih efisien.

Pemain sepak bola tak perlu banyak didatangkan dengan naturalisasi. Mengapa? Dari satu elemen gizi saja yaitu protein, kata yang bermakna yang pertama, yang utama atau yang terpenting itu, kandungan protein rice bran sama atau lebih tinggi dari kandungan protein telur ayam atau susu sapi, apalagi kalau rice bran difermentasi, proteinnya  bisa tiga kali atau lebih daripada kandungan protein telur ayam. Ini bukti scientific, berkah Tuhan YME bagi kita dan bagi bangsa tropika yang sekarang ini kondisi sosial ekonominya berada jauh di bawah bangsa temperate.

Jalan Keluar: Revolusi Pangan Dimulai dari Dapur Kita

Kita tidak perlu teknologi super canggih. Kita hanya perlu kembali pada akal sehat dan kearifan.

  • Untuk Pemerintah: Terbitkan SNI Beras Patriot Bangsa yang memuliakan beras coklat. Alihkan subsidi dari beras putih ke beras coklat. Bangun industri pengolahan rice bran.
  • Untuk Industri: Berinovasi membuat produk dari rice bran: tepung, minyak, suplemen. Jadilah pelopor ekonomi yang mensyukuri berkah Tuhan YME bagi bumi tropika, sebagai satu penciri  ekonomi hijau yang berkelanjutan.
  • Untuk Kita Semua: Mulai makan nasi coklat. Campurkan dengan nasi putih jika belum terbiasa. Edukasi keluarga tentang pentingnya gizi utuh sebagai wujud syukur kepada Sang Maha Pencipta.

Kesimpulan:

Jangan tanya mengapa bangsa ini tidak maju, tanya kenapa kita membuang kekayaannya setiap hari.

Rice bran adalah metafora yang sempurna: kita duduk di atas gunung emas, tetapi memilih untuk mengeluh tentang kemiskinan.

Mari hentikan pengkhianatan ini. Mari kembali ke jalan yang benar: jalan yang ditunjukkan Eijkman dan nenek moyang kita. Makanlah nasi coklat. Selamatkan rice bran. Selamatkan masa depan Indonesia.

Sudah cukup kita merugi. Saatnya untuk bangkit dan menjadi bangsa yang cerdas dan tidak lagi membuang masa depannya sendiri.

***

Noted:

Tropikanisasi adalah sebuah konsep transformatif yang merujuk pada proses mengangkat, memulihkan, dan memodernisasi kekayaan tropis—baik dalam pangan, budaya, ekonomi, maupun spiritualitas—sebagai fondasi kedaulatan dan keberlanjutan bangsa tropis seperti Indonesia.

Judul: Rice Bran, Emas Coklat yang Kita Buang Setiap Hari: Sebuah Dosa Besar terhadap Masa Depan Bangsa
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas Info Penulis

Prof. Agus Pakpahan memimpin IKOPIN University sejak 29 Mei 2023 untuk periode 2023–2027. Ia dikenal sebagai ekonom pertanian yang menaruh perhatian pada penguatan ekosistem perkoperasian dan tata kelola kebijakan publik.

Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.
Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S. – (Sumber: MajmusSunda.id)

Di bawah kepemimpinan Agus Pakpahan, IKOPIN mendorong kemitraan strategis dan pembenahan tata kelola kampus, termasuk menyambut inisiatif pemerintah agar IKOPIN bertransformasi menuju skema Badan Layanan Umum (BLU) di lingkungan Kemenkop UKM—sebuah langkah untuk memperkuat daya saing kelembagaan dan mutu layanan pendidikan. “Pendidikan yang berpihak pada kemajuan adalah jembatan masa depan,” demikian ruh visi yang ia usung.

Lahir di Sumedang, 29 Januari 1956, Agus Pakpahan menempuh S-1 di Fakultas Kehutanan IPB (1978) dan meraih M.S. Ekonomi Pertanian di IPB (1981). Ia kemudian meraih Ph.D. Ekonomi Pertanian dengan spesialisasi Ekonomi Sumber Daya Alam dari Michigan State University (1988). Latar akademik ini mengokohkan reputasinya di bidang kebijakan sumber daya alam, pertanian, dan pembangunan pedesaan. “Ilmu adalah cahaya; manfaatnya adalah sinar yang menuntun,” menjadi prinsip kerja ilmiahnya.

Kariernya panjang di pemerintahan: bertugas di Bappenas pada 1990-an, lalu dipercaya sebagai Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (1998–2002). Di tengah restrukturisasi, ia memilih mundur pada 2002—sebuah sikap yang tercatat luas di media arus utama.

Sesudahnya, Agus Pakpahan menjabat Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan (2005–2010), memperlihatkan kapasitasnya menautkan riset, kebijakan, dan bisnis negara. “Integritas adalah kompas; kebijakan adalah peta,” ringkasnya tentang tata kelola.

Sebagai akademisi-pemimpin, Agus Pakpahan aktif membangun jejaring dan kurikulum. Kunjungan kerja ke FEB UNY menegaskan orientasi penguatan kompetensi usaha dan koperasi, sementara di tingkat lokal ia melepas ratusan mahasiswa KKN untuk mengabdi di puluhan desa di Sumedang—mendorong pembelajaran kontekstual dan solusi nyata bagi masyarakat. “Belajar adalah bekerja untuk sesama,” begitu pesan yang kerap ia gaungkan pada kegiatan kampus.

Di luar kampus, kiprah Agus Pakpahan terekam dalam wacana publik seputar hutan, pertanian, ekonomi sirkular, dan perkoperasian—menginspirasi komunitas petani serta pemangku kepentingan untuk berinovasi tanpa meninggalkan nilai-nilai gotong royong.

Esai dan pandangan Agus Pakpahan di berbagai media bereputasi menunjukkan konsistensinya pada pembangunan yang adil dan berkelanjutan. “Kemajuan tanpa keadilan hanyalah percepatan tanpa arah; keadilan memberi makna pada laju,” adalah mutiara yang merangkum jalan pikirannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *