Purwadaksi

Artikel ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

Pejabat publik
Ilustrasi: Seorang pejabat publik baru keluar dari mobil dinasnya disambut oleh petugas keamanan - (Sumber: Bing Image Creator AI)

MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (17/11/2024) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Purwadaksi” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Harian DDP HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Purwadaksi adalah kata dalam bahasa Sunda yang memiliki arti segala sesuatu memiliki awal dan akhir. Kata “purwadaksi” berasal dari kata “purwa” yang berarti “wiwitan” atau “mulai”, dan “daksi” yang berarti “wekasan” atau “akhir”.

Ada juga yang menafsirkan, purwadaksi adalah arah dan tujuan, di mana wetan artinya timur, daksina artinya selatan. Orang yang “lupa purwadaksina” artinya kehilangan arah dan tidak punya pegangan dalam hidup.

Ir. Entang Sastraatmadja
Ir. Entang Sastraatmadja, penulis – (Sumber: tabloidsinartani.com)

Purwadaksi bisa diartikan sebagai gugatan bagi mereka yang lupa akan tempat asal. Biasanya kata-kata ini dilontarkan oleh orang-orang yang merasa kesal terhadap pribadi seseorang. Merasa orang itu tidak lagi peduli terhadap sekeliling. Purwadaksi juga merupakan ungkapan kekecewaan sangat mendalam terhadap keadaan atau sikap yang tidak sesuai harapan.

Di sisi lain, ada juga yang membuat tafsir, purwadaksi sebagai ajang seseorang untuk melakukan introspeksi. Sebut saja ada seorang pejabat publik yang gaya hidupnya terlihat arogan. Penampilannya memalukan. Sering petantang-petenteng. Sikapnya jauh dari rasa adab. Dirinya tidak pernah mau menyapa duluan. Selalu ingin disapa.

Dengan penampilannya yang demikian, rupanya pejabat publik itu lupa akan asal-usul dirinya. Sang pejabat itu, waktu kecil terekam hidup dan dibesarkan di sebuah Kampung kecil di pelosok kabupaten termiskin di Jawa Barat. Kalau tidak diambil anak angkat oleh keluarga Juragan Somad di Bandung, mana mungkin dirinya bakal terpilih jadi pejabat publik.

Mereka yang tahu bagaimana purwadaksi sang pejabat publik itu, mungkin akan tersenyum simpul melihat perilaku yang layak disebut “belegug” itu. Walaupun tampang nya dibuat serem atau dibuat seolah berwibawa, tetapi bagi mereka yang tahu betul purwadaksi-nya maka perilaku tersebut malah jadi bahan tertawaan saja.

Seorang sahabat malah membuat tafsir khusus terkait dengan makna purwadaksi ini. Diutarakan, purwadaksi itu sama saja dengan “titik-tolak” atau awal keberangkatan. Seseorang yang sukses dalam melakoni kehidupannya, harus selalu ingat dengan perjalanan hidup yang dilewatinya. Suka dan duka, kadang diatas kadang di bawah, pasti akan mengiringi jalan kehidupan yang dilaluinya.

Tidak seharusnya seseorang melupakan purwadaksi-nya. Terlebih bila dirinya ditakdirkan menjadi seorang pejabat publik. Purwadaksi adalah ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur karakter dan jati diri seseorang. Itu sebabnya, menjadi sangat masuk akal, jika sekarang ini banyak orang yang ingin mencari jati dirinya kembali.

Banyak pejabat publik yang memposisikan diri sebagai raja-raja kecil. Biarpun “kecil” yang namanya “raja”, pasti memiliki banyak kelebihan. Untuk menjadi pejabat publik di negeri ini, kata kuncinya adalah “cuan”. Hanya mereka yang memiliki cuanlah, peluang menjadi pejabat publik jadi lebih terbuka. Tanpa cuan, jangan mimpi jadi pejabat publik.

Akibatnya wajar, jika sekarang ini banyak pejabat publik yang relatif lemah karakter kepemimpinannya. Ada dari mereka yang jadi pejabat publik  bukan didasarkan kepada kapasitas diri selaku pemimpin, tetapi lebih disebabkan oleh banyaknya saweran yang disebarkan kepada para konsituennya, tatkala musim kampanye berlangsung.

Hal yang menggelikan adalah setelah dirinya terpilih sebagai pejabat publik. Ternyata sang pejabat publik ini cukup kebingungan ketika harus memimpin rapat dinas dengan seluruh kepala dinas, camat, lurah dan lain sebagainya. Jurus pamungkas yang ditempuh, akhirnya sang pejabat publik memberi tugas khusus ke Pak Sekda untuk memimpin rapat tersebut.

Jika dikembalikan kepada purwadaksi, ternyata sang pejabat publik ini, bukan tergolong ke dalam anak muda yang senang berorganisasi. Ketika SMA-nya sangat anti ikut terlibat dalam kegiatan OSIS atau Pramuka. Dirinya lebih senang jalan-jalan ke tempat wisata bersama kekasihnya atau memilih duduk santai di kedai kopi bersama teman-teman dekatnya.

Lebih gawat lagi, dirinya pun tergolong ke dalam jajaran anak muda yang tidak memiliki hobi menulis. Ini bisa dipahami, mana mungkin bisa menulis, kalau dirinya memang tidak suka membaca buku. Pendek kata, semua teman-temannya menyebut dirinya sebagai “anak mama” yang manja dan tidak pernah dihadapkan pada kesulitan hidup.

Hebatnya, dengan kekuatan cuan yang dimiliki, dirinya mampu terpilih jadi pejabat publik yang tentu saja menuntut perubahan pola hidup terhadap yang ditempuh selama ini. Dirinya tidak boleh lagi menyerahkan semua urusan pemerintahan kepada sekda. Bagaimana pun, di depan para kepala dinas, dirinya tidak boleh lagi terlihat culun.

Untung saja, sang pejabat publik ini tergolong ke dalam orang yang mau belajar untuk meningkatkan pemahamannya sebagai pimpinan daerah. Dirinya, mulai rajin membaca buku. Sering mengikuti seminar dan lokakarya. Lalu, apa yang terjadi kemudian, ternyata dirinya pun terpilih kembali jadi pejsbat publik untuk masa bakti lima tahun berikutnya.

Dalam kehidupan, kita pernah mendengar ucapan “ari hirup ulah poho ka purwadaksi“. Ungkapan ini memiliki makna, kalau kita bermasyarakat sebaiknya jangan melupakan jati diri.  Semoga kita tergolong ke dalam orang-orang yang tak pernah melupakan purwadaksi.

***

Judul: Purwadaksi
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *