Politik Ekonomi Ketahanan Pangan (Beras) di Era Koperasi dan Transformasi Agraria

Artikel ini ditulis oleh: Prof. Agus Pakpahan

Sawah
Ilustrasi: Area pertanian di Indonesia - (Sumber: Arie/MMS)

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Selasa (29/04/2025) – Puisi berjudul “Politik Ekonomi Ketahanan Pangan (Beras) di Era Koperasi dan Transformasi Agraria” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Dewan Pini Sepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.

Pendahuluan

Ketahanan pangan sering diasumsikan bergantung pada ketersediaan lahan pertanian dan jumlah petani. Namun, studi komparatif di Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan Jepang (1970–2024) mengungkap paradoks: pertumbuhan penduduk tidak selalu mengurangi luas lahan per petani, dan industrialisasi yang sukses justru menjadi kunci ketahanan pangan. Teknologi dan kebijakan yang tepat mampu mengubah tekanan demografi menjadi peluang produktivitas. Indonesia, sayangnya, terjebak dalam paradoks di mana industrialisasi gagal mendorong konsolidasi lahan, meski jumlah petani menurun.

Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.,
Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Penulis – (Sumber: sawitsetara.co)
  1. Pertumbuhan Penduduk ≠ Penurunan Lahan per Petani

Peningkatan populasi sering dianggap ancaman bagi ketahanan pangan. Namun, Korea Selatan dan Jepang membuktikan sebaliknya:

Korea Selatan: Populasi naik 62% (1970–2024), tetapi luas lahan per petani meningkat dari 0,8 ha menjadi 1,6 ha (naik 100 %). Urbanisasi massal mengurangi jumlah petani, sementara kebijakan Smart Farm memungkinkan konsolidasi lahan.

Jepang: Meski populasi menua (29% berusia >65 tahun; populasi naik 17.9 %), luas lahan per petani melonjak dari 1 ha menjadi 3,5 ha (naik 250 %; apalagi kenaikan luas lahan di Hokkaido lebih dari 400% ) melalui sistem Houkōchi Seido, yang melarang kepemilikan lahan oleh non-petani aktif.

Mekanisme Kunci:

Regulasi Ketat: Larangan alih fungsi lahan subur (Thailand) dan insentif konsolidasi (Jepang).

Transformasi Ekonomi: Migrasi ke sektor industri/jasa mengurangi tekanan pada lahan pertanian.

  1. Industrialisasi: Prasyarat Ketahanan Pangan yang Kuat

Industrialisasi yang terencana menciptakan sinergi antara sektor manufaktur dan pertanian:

Thailand: Kebijakan pro-agribisnis seperti Thai Rice NAMA (2020–2024) mendorong investasi korporasi. Hasilnya, 60% lahan sawah dikuasai 15% petani besar, meningkatkan produktivitas ekspor beras.

Korea Selatan: Industrialisasi 1980–2000 menarik 75% tenaga kerja pertanian ke pabrik, tetapi sisa petani mengadopsi IoT dan mekanisasi. Produktivitas naik 87,5% (4,0→7,5 ton/ha).

Kunci Sukses:

Konsolidasi Lahan: Industrialisasi mengurangi jumlah petani, bersamaan dengan lahan yang tersisa dikelola secara efisien.

Linkage Policy: Subsidi teknologi untuk petani yang tersisa (contoh: traktor otonom di Jepang).

Sawah
Ilustrasi: Area sawah yang luas sebagai sumber pangan di Indonesia – (Sumber: Arie/MMS)
  1. Teknologi: Substitusi Tenaga Kerja Tanpa Mengorbankan Produksi

Penurunan jumlah petani tidak selalu bermakna negatif jika diimbangi teknologi:

Jepang: Jumlah petani turun 86% (10 juta→1,4 juta), tetapi produktivitas naik 15,5% (5,8→6,7 ton/ha) berkat robotisasi.

Korea Selatan: Hanya 2,3% penduduk menjadi petani (2024), namun 95% lahan dikelola dengan traktor dan sistem IoT.

Paradigma Baru:

Presisi Teknologi: Penggunaan drone dan sensor kelembaban tanah memangkas kebutuhan tenaga kerja manual.

Skala Ekonomi: Petani kecil di Thailand (2–3 ha) tetap kompetitif berkat teknologi pascapanen dari Thai Rice NAMA.

  1. Paradoks Indonesia: Industrialisasi terhambat rente

Indonesia menghadapi dilema unik:

Penurunan Jumlah Petani vs. Penyusutan Lahan: Jumlah petani turun 32% (40 juta→27 juta), tetapi luas lahan per petani merosot dari 0,5 ha menjadi 0,3 ha.

Penyebab Utama:

Fragmentasi Warisan: Pembagian lahan ke anak-anak petani tanpa regulasi konsolidasi.

Urbanisasi Tidak Produktif: Migrasi ke kota tidak diikuti penyerapan tenaga kerja industri, sehingga petani tetap miskin dan lahan terfragmentasi.

Teknologi Tertinggal: Hanya 12% petani menggunakan traktor, jauh di bawah Korea Selatan (95%). Utamanya, industrialisasi tidak berkembang maju, malahan terjadi deindustrialisasi.

Contradictio in Terminis:

Industrialisasi Indonesia bersifat ekstraktif (alih fungsi lahan untuk pabrik/tambang) bukan produktif (seperti agribisnis Thailand).

Data Nyata: 200.000 hektar sawah hilang/tahun, tetapi produktivitas stagnan sejak 2010 (5,2 ton/ha).

Implikasi Kebijakan

Moratorium Konversi Lahan: Larang alih fungsi sawah subur, sebagaimana ketatnya Jepang dalam Houkōchi Seido.

Revolusi Teknologi Pertanian: Subsidi traktor dan pelatihan IoT untuk petani muda.

Reforma Agraria Berbasis Data: Konsolidasi lahan dengan sertifikasi digital dan insentif pajak. Kembangkan koperasi petani dan pertanian sebagaimana yang telah berkembang di Jepang atau Korea Selatan.

Kesimpulan

Ketahanan pangan di era modern tidak lagi sekadar soal jumlah lahan atau petani, tetapi efisiensi kebijakan, teknologi, dan keberanian mereformasi struktur agraria. Thailand, Korea Selatan, dan Jepang membuktikan bahwa industrialisasi dan teknologi adalah sekutu, bukan musuh pertanian.

Indonesia perlu keluar dari paradoks dengan mengubah petani menjadi pelaku usaha berbasis inovasi, bukan sekadar pewaris lahan terfragmentasi, atau apalagi bukan sekedar menyambung hidup.

Koperasi perlu dijadikan inti pembangunan kelembagaan pertanian sebagaimana yang telah terjadi di Jepang atau Korea Selatan. Seperti kata Fukuyama, “Tata kelola yang baik dimulai dari hukum yang menghidupkan, bukan membunuh produktivitas.” Hukum dalam konteks kita adalah Undang-Undang Koperasi yang menghidupkan Koperasi.

***

Catatan:

Ditulis berdasarkan analisis data perkembangan pertanian di Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan Jepang (1970–2024).

 

Judul: Politik Ekonomi Ketahanan Pangan (Beras) di Era Koperasi dan Transformasi Agraria
Penulis: Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *