MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Minggu (25/05/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “’Petani Gabah’ & ‘Pedagang Beras’” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Fakta menunjukkan, sebagian besar petani padi di negeri ini, akan menjual hasil panennya dalam bentuk gabah kering panen (GKP). Sangat sedikit petani padi yang mampu mengolah gabah terlebih dahulu menjadi beras, untuk kemudian menjual dalam bentuk beras. Gabah memang kepunyaan para petani dan beras adalah miliknya para pedagang. Akibat nya, di masyarakat kita kenali ada “petani gabah” dan “pedagang beras”.

Dalam agribisnis perberasan, nilai tambah ekonomi beras, jelas lebih tinggi dari gabah. Dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional No. 2/2025, harga pembelian Pemerintah gabah dipatok pada angka Rp. 6500,- per kg. Sedangkan harga beras ditetapkan sebesat Rp. 12.000,- per kg. Hal ini menunjukan harga beras hampir dua kali lipat dari harga gabah.
Pertanyaan kritisnya adalah apakah tidak akan memberi nilai tambah ekonomi yang lebih besar dan menguntungkan, bila para petani mampu menjual hasil panennya dalam bentuk beras ? Jawaban atas pertanyaan inilah yang paling kita tunggu. Sebab, kalau kita ingin melahirkan “petani beras”, maka fasilitasi ke arah itu, sudah sepatutnya disiapkan oleh Pemerintah.
Jujur harus diakui, dalam suasana kekinian beras bukan lagi “milik” petani. Bagi sebagian besar kaum tani, disamping sebagai produsen, mereka juga tercatat sebagai “net consumer”. Sebagai produsen, petani hanya akan menghasilkan gabah kering panen (GKP). Petani akan menjual GKP nya ke bandar, tengkulak, penggilingan atau Perum BULOG.
Petani sendiri tidak memiliki kemampuan untuk mengolah GKP menjadi beras, mengingat keterbatasan yang ada, selain juga dituntut oleh kebutuhan mendapatkan penghasilan. Tidak jarang pula kita saksikan ada petani yang saat panen, hanya mendapat setumpukan jerami, karena gabah yang dipanennya dipakai untuk bayar utang atau pinjaman. Muka nya memelas dan merenungi nasib dirinya.
Suasana seperti ini, tentu saja jangan dibiarkan berlarut-larut. Petani sendiri berharap agar negara hadir dalam kesulitan hidup mereka. Petani menunggu kapan Pemerintah akan melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap nasib petani. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang meminta agar Pemerintah secepatnya melahirkan terobosan cerdas agar nasib dan kehidupan petani menjadi semakin baik.
Catatan kritisnya adalah apakah Pemerintah mampu mendengar sekaligus menghayati apa yang disuarakan para petani tersebut ? Atau tidak, mengingat para petinggi negeri ini, terekam tengah sibuk mengurus dirinya masing-masing ? Lebih gawat lagi ada yang was-was, karena nasib nya ada dalam genggaman KPK.
Dilihat dari nilai tambah ekonomi, ketimbang petani jual gabah, akan lebih untung jika petani menjual beras. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras hampir dua kali lipat Harga Gabah Kering Panen. Petani sendiri, bukan tidak mau menjual hasil panennya dalam bentuk beras, namun karena ketidak-berdayaan mereka mengolah gabah menjadi beraslah, masalah utama yang dihadapinya.
Disinilah Pemerintah hadir untuk mensolusikan apa yang menjadi keinginan (will) dan kebutuhan (need) petani lewat kebijakan dan langkah terbaiknya. Bila petani berkehendak agar ujung dari proses budidaya tanamannya dalam bentuk beras dan bukan gabah, maks sangat diperlukan adanya mesin-mesin penggilingan padi skala mini.
Melalui pola bantuan sosial alat-alat mesin pertanian (alsintan), Pemerintah dapat memberi dukungan agar Bansos Alsintan, bulan hanya alat-alat pertanian yang berurusan dengan upaya menggenjot produksi setinggi-tingginya menuju swasembada, tapi dalam rangka percepatan peningkatan kesejahteraan petani, Pemerintah perlu memberi dukungan maksimal terhadap penanganan paska panennya.
Pemberian Bansos Alsintan Penggilingan Padi skala mini kepada Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) adalah kebijakan yang sangat relevan untuk digarap. Selain itu, kita berharap agar para Penyuluh Pertanian tetap semangat dalam melakukan tugas, fungsi dan kewenangannya untuk melaksanakan proses pembelajaran, pemberdayaan dan pemartabatan kepada para petani agar dapat tampil selaku bangsa yang merdeka.
Dengan dimilikinya mesin penggilingan padi skala mini oleh Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani, kita optimis, nilai tambah ekonomi yang selama ini tidak diterima petani, sedikit banyak akan beralih ke petani. Tinggal sekarang sampai sejauh mana Tata Kelola atau manajemen nya dapat digarap dengan baik oleh Kelompok. Peran dan kehadiran para Penyuluh Pertanian, tentu sangat dimintakan.
Para Penyuluh diminta untuk selalu mengajar petani dengan segudang inovasi. Mulai dari yang berkaitan dengan teknik budidaya tanaman, sistem pemasaran hasil pertanian, penanganan paska panen, hingga ke penguatan kelemvagaan petani. Terlebih mengoptimalkan keberadaab Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani dalam memposisikan diri sebagai lembaga penggilingan padi skala mini di perdesaan.
Dalam semangat agribisbis perberasan, petani sebagai pelaku utama sudah seharusnya tampil sebagai pebisnis yang tangguh dan disegani keberadaannya. Diawali dengan menjadikan petani sebagai pemilik beras, kita yakin, penghasilan petani bakal meningkat. Langkah ke arah itu, memang tidak gampang. Petani perlu disiapkan bisa tampil sebagai pengusaha perberasan yang jempolan. Dengan dukungan segenap komponen bangsa kita optimis hasrat itu akan terwujud.
***
Judul: Kiprah Bulog Mengokohkan Ketahanan Pangan
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi