MajmusSunda News, Jumat (06/12/2024) – Artikel berjudul “Pancaran Jiwa” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saudaraku, gambaran dunia itu tergantung cuaca di langit jiwa. Keindahan hidup di dunia merupakan pancaran keindahan jiwa. Terang hidup di dunia tergantung pantulan sinar di langit jiwa.
Untuk bisa keluar dari kelam krisis kehidupan diperlukan kemampuan menyibakkan kabut jiwa. Kita tak bisa menerobosnya hanya berbekal galib penglihatan. Butuh mata daya spiritualitas yang dapat menembus tabir gelap.

Inti daya spiritualitas adalah kemampuan menyalakan energi rohani lewat pengenalan dan pengaktifan jatidiri. Tenaga rohani itu dipancarkan menuju tatanan kosmis yang harmonis dengan “dunia atas” (yang Ilahi), “dunia tengah” (yang insani), dan “dunia bawah” (yang alami).
Dari hubungan triadik itu tumbuhlah makna hidup berlandaskan nilai ageman yang berbudaya dan berkeadaban. Nilai inti ageman itu meliputi nilai etis (akhlak), nilai logis (ilmiah), nilai estetis (kepantasan), nilai pragmatis (kreativitas maslahat).
Alhasil, daya spiritualitas itu ibarat batang kembang dengan empat kelopak bunga. Tenaga rohani itu harus terpancar dalam kemampuan membedakan baik-buruk, benar-salah, pantas-tak pantas, maslahat-mudarat.
Mendung yang menggantung di langit kehidupan kita disebabkan gelembung pemujaan keagamaan tanpa menyalakan lentera jiwa. Modus beragama sebatas gebyar formalisme peribadatan, tanpa menghidupkan nilai spiritualitas dan moralitas hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya.
Tanpa pengaktifan daya spiritual tertib kosmis dan sistem makna centang perenang karena kehidupan berjalan tanpa tuntunan nilai. Tanpa ageman nilai, manusia hidup bak binatang, bahkan lebih rendah–lebih biadab, lebih merusak.
Bagaimana hidup mulia bila beragama tak bisa susila. Berilmu tak bisa bijaksana. Berkuasa tak bisa rumeksa. Berharta tak bisa derma.
Bagaimana hidup sentosa bila ulama tak berakhlak mulia. Penguasa tak jadi penjaga. Sarjana tak jadi sujana, hartawan tak jadi peraharja.
Bagaimana hidup tentram bila iman tak bawa akhlak, ilmu tak bawa pelita, politik tak bawa tertib tata kelola, ekonomi tak bawa sejahtera.
Bagaimana hidup sungguh hidup, bila iman, ilmu, kuasa dan harta tak bisa memberi makna pada hidup?
***
Judul: Pancaran Jiwa
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.
Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.
***