Olah Pikir atau Debat Kusir?

Artikel ini ditulis oleh: Asep Arie Barajati

Komunikasi melalui WhatsApp
Ilustrasi: Komunikasi melalui media sosial WhatsApp - (Sumber: Bing Image Creator AI)

MajmusSunda News, Kota Cimahi, Jawa Barat, Sabtu (19/10/2024) – Artikel berjudul “Olah Pikir atau Debat Kusir” ini adalah sebuah esai karya Asep Arie Barajati yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.

Pada era digital ini, percakapan di grup WhatsApp (WA) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Diskusi di grup-grup WA berkembang dari sekadar obrolan ringan, seperti bertanya kabar atau berbagi informasi, menjadi perdebatan yang memanas saat sebuah topik hangat muncul.

Topik-topik politik, sosial, atau ekonomi sering kali menjadi pemicu perdebatan yang tiada habisnya, hingga akhirnya terjadi apa yang disebut dengan debat kusir—perdebatan yang tidak menuju kesimpulan dan hanya berputar-putar di sekitar ego masing-masing, padahal, ada cara yang lebih produktif dalam mengolah pikiran dan menyampaikan pendapat: menulis opini di media massa.

Media online
Ilustrasi: Artikel yang terbit di media online dengan berbagai tema – (Sumber: Bing Image Creator AI)

Kelemahan Debat Kusir di Grup WA

Grup WA memberikan kemudahan untuk saling berbagi informasi secara cepat. Namun, format pesan singkat yang digunakan seringkali membuat perdebatan di dalamnya tidak efektif. Sebagai contoh, ketika sebuah topik kontroversial seperti politik lokal dibahas, anggota grup sering terjebak dalam debat panjang. Setiap orang berusaha mempertahankan argumen mereka, seringkali tanpa dasar yang kuat, hanya berlandaskan opini pribadi atau berita yang belum jelas kebenarannya.

Beberapa kelemahan utama dari debat kusir dalam grup WA, di antaranya: pertama, argumentasi yang tidak tersusun dengan baik. Grup WA dirancang untuk komunikasi cepat, bukan untuk penyampaian argumen yang mendalam. Ini membuat argumen yang muncul dalam perdebatan seringkali terpotong-potong dan tidak jelas alurnya.

Ketika seseorang ingin menyampaikan pandangan kompleks, mereka dibatasi oleh ruang dan waktu yang sempit sehingga tidak ada kesempatan untuk menyusun pemikiran secara sistematis. Akibatnya, ide yang sebenarnya bagus bisa kehilangan esensinya dan malah menjadi bahan perdebatan tak produktif.

Kedua, rentan terhadap salah paham. Teks tanpa intonasi atau ekspresi wajah sangat mudah disalahartikan. Sebuah pernyataan yang dimaksudkan dengan niat baik bisa terdengar sarkastik atau menyerang jika dibaca dengan nada yang berbeda. Misalnya, komentar yang dimaksudkan untuk memancing diskusi sehat bisa diterima sebagai kritik pedas, memicu reaksi defensif yang mematikan diskusi lebih lanjut.

Ketiga, ego pribadi mengalahkan substansi. Dalam debat kusir, ego sering menjadi penghalang utama. Alih-alih mendengarkan argumen pihak lain, peserta debat sibuk mempertahankan posisi mereka sendiri. Mereka cenderung mencari kemenangan pribadi daripada mencari solusi atau konsensus. Hal ini tidak hanya memperburuk suasana diskusi, tetapi juga menghalangi perkembangan pemikiran yang lebih konstruktif.

Olah Pikir dengan Menulis Opini: Alternatif yang Bijak

Menulis opini di media massa, baik itu media cetak, online, atau blog pribadi, memberikan ruang yang lebih baik untuk mengolah pikiran dan menyampaikan argumen secara lebih tertata. Ini memungkinkan penulis untuk memformulasikan pemikirannya dengan lebih tenang dan bijaksana, tanpa gangguan dari pihak lain yang mungkin memotong atau menginterupsi, seperti yang sering terjadi dalam debat di WA.

Beberapa alasan mengapa menulis opini lebih efektif daripada berdebat di grup WA, antara lain: pertama, argumentasi yang tersusun dengan baik. Menulis opini memberikan waktu dan ruang bagi seseorang untuk menyusun pemikirannya dengan matang. Tidak ada batasan karakter atau waktu yang memaksa penulis untuk tergesa-gesa.

Penulis dapat merencanakan struktur argumennya, menyajikan data pendukung, dan merangkai kesimpulan dengan cara yang jelas dan logis. Misalnya, dalam perdebatan tentang isu perubahan iklim, seorang penulis dapat merujuk pada penelitian ilmiah terbaru dan menyusun narasi yang meyakinkan tentang perlunya tindakan segera, tanpa harus terpotong oleh interupsi dari peserta diskusi lain.

Kedua, lebih bertanggung jawab. Saat menulis opini di media massa, penulis diharapkan bertanggung jawab atas apa yang mereka tulis. Tulisan tersebut akan dibaca oleh audiens yang luas, termasuk mereka yang memiliki pengetahuan mendalam tentang topik yang dibahas. Oleh karena itu, penulis harus berhati-hati dalam menyajikan fakta dan argumen yang solid.

Jika argumen yang disajikan lemah atau tidak akurat, mereka bisa mendapat kritikan terbuka dari pembaca yang lebih berpengalaman. Hal ini jarang terjadi di grup WA yang lebih bersifat tertutup.

Ketiga, menghindari polarisasi yang tidak perlu. Dalam sebuah tulisan opini, penulis memiliki kontrol penuh atas narasi yang dibangun. Mereka dapat dengan hati-hati memilih kata-kata yang digunakan untuk menghindari kesalahpahaman atau memicu konflik.

Berbeda dengan perdebatan di grup WA yang sering kali memanas karena kata-kata yang disampaikan dengan tergesa-gesa. Tulisan opini cenderung memberikan kesempatan untuk merenung dan mempertimbangkan dampak dari setiap pernyataan yang akan ditulisnya.

Keempat, dampak yang lebih luas. Tulisan opini di media massa memiliki potensi untuk menjangkau audiens yang jauh lebih luas dibandingkan dengan grup WA. Opini yang dipublikasikan di surat kabar, majalah, atau situs berita online dapat dibaca oleh ribuan atau jutaan orang. Hal ini memberikan kesempatan bagi penulis untuk mempengaruhi opini publik secara lebih signifikan.

Sebagai contoh, seorang aktivis lingkungan yang menulis tentang krisis air bersih di suatu daerah mungkin dapat menggerakkan pemerintah atau organisasi non-pemerintah untuk mengambil tindakan nyata, sesuatu yang sulit dicapai hanya dengan berdebat di grup WA.

Kelima, memicu diskusi yang lebih konstruktif. Tulisan opini sering kali menjadi pemicu diskusi yang lebih terarah dan konstruktif. Ketika sebuah tulisan diterbitkan, pembaca dapat meresponsnya dengan tulisan balasan atau komentar yang juga berbasis pada argumen dan data yang terstruktur.

Hal tersebut mampu menciptakan ruang dialog yang sehat, di mana setiap pihak didorong untuk berpikir kritis dan memperkaya argumen mereka. Berbeda dengan debat kusir di WA yang cenderung destruktif, diskusi berbasis tulisan lebih mendorong perkembangan ide yang positif.

Contoh Konkret: Pentingnya Menulis Opini

Sebagai contoh nyata, lihatlah bagaimana opini-opini tentang undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) di Indonesia mendapatkan perhatian luas melalui tulisan-tulisan di media massa. Ketika undang-undang tersebut pertama kali diusulkan, banyak kritik yang muncul di grup WA dan media sosial, tetapi kebanyakan di antaranya hanyalah debat kusir yang tidak berujung.

Namun, ketika para akademisi, aktivis, dan pakar hukum mulai menulis opini di media massa, diskusi tentang undang-undang ini menjadi lebih terarah dan mendalam. Opini-opini ini memberikan data, analisis hukum, dan solusi yang lebih konkret, sehingga masyarakat luas lebih tercerahkan dan bisa melihat isu tersebut dari berbagai sudut pandang.

Ini adalah contoh nyata bagaimana olah pikir melalui tulisan memberikan dampak yang lebih signifikan daripada sekadar berdebat di grup WA. Dengan menulis opini, seseorang tidak hanya menyuarakan pendapatnya, tetapi juga memberikan kontribusi yang nyata bagi perbaikan sosial.

***

Judul: Olah Pikir atau Debat Kusir
Penulis: Asep Arie Barajati
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *