MajmusSunda News, Kolom OPINI, Sabtu (26/07/2025) – Artikel berjudul “Menimbang Ulang Pendekatan Top-Down dalam Membangun Koperasi” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Pini Sepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.
Opini Suroto yang dimuat di Harian Kompas, 14 Juli 2025, menyuarakan kekhawatiran terhadap pendekatan top-down dalam pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Ia menilai, intervensi negara berpotensi mengancam prinsip koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat. Pandangan ini penting sebagai pengingat akan bahaya kooptasi ─ pemilihan anggota baru dari suatu badan musyawarah oleh anggota yang sudah ada ─ birokrasi. Namun, perlu dilengkapi dengan refleksi sejarah dan realitas sosial Indonesia.

Ketika Negara Harus Hadir
Sejarah telah mencatat bahwa pendekatan negara dalam pembangunan koperasi bukanlah hal tabu. Jepang pasca perang, misalnya, diprakarsai oleh Jenderal Douglas MacArthur, mendorong pembentukan koperasi pertanian melalui intervensi negara yang terstruktur. Begitu pula Korea Selatan dan Jerman yang menggunakan instrumen kebijakan publik untuk menumbuhkan koperasi sebagai bagian dari rekonstruksi ekonomi nasional.
Koperasi di tiga negara tersebut bukan hanya bertahan, tapi tumbuh menjadi institusi yang demokratis, mandiri, dan berkelanjutan. Intervensi negara dalam konteks ini bukan pengekangan, melainkan fasilitasi.
Entropi Sosial dan Perangkap Distrust
Indonesia hari ini menghadapi persoalan yang jauh lebih mendalam. Warisan kolonialisme telah menciptakan entropi sosial-ekonomi yang tinggi—fragmentasi nilai, erosi rasa kebersamaan, dan hilangnya modal sosial. Bagi sebagian besar masyarakat, berkoperasi bukan hanya rumit secara administratif, tetapi mahal secara sosial-ekonomi.
Koperasi yang membutuhkan kepercayaan dan partisipasi kolektif menjadi sulit dibentuk dalam masyarakat yang terkepung rasa saling curiga. Distrust telah menjadi fenomena sosial, dan membangun koperasi secara “murni dari bawah” menjadi amat mahal dan bisa tidak realistis.
Mandat Konstitusi: Pasal 33 UUD 1945
Dalam konteks ini, penting untuk mengingat bahwa Pasal 33 UUD 1945 secara eksplisit menempatkan perekonomian nasional sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Penjelasan asli pasal ini menyebut bahwa bentuk usaha yang paling sesuai dengan asas tersebut adalah koperasi. Artinya, negara tidak hanya boleh, tetapi wajib hadir dalam pembangunan koperasi sebagai amanat konstitusional.
Pasal 33 ayat (1) menyatakan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
Dengan demikian, pembangunan koperasi bukan sekadar kebijakan, melainkan bagian dari tugas negara dalam mewujudkan sistem ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Membutuhkan Model Intervensi yang Bijak
Melihat kenyataan ini, pendekatan top-down dalam membentuk koperasi tidak semestinya ditolak mentah-mentah. Yang dibutuhkan adalah model intervensi negara yang tidak dominatif, tetapi partisipatif. Negara perlu hadir sebagai fasilitator: membuka ruang, menjamin tata kelola, dan mendorong pendidikan koperasi yang berbasis nilai.
Koperasi tidak lahir dari prosedur hukum semata, tetapi dari rekonstruksi kepercayaan sosial. Dalam hal ini, negara bukan musuh demokrasi koperasi, melainkan mitra pemulihannya.
Penutup
Menyeragamkan pendekatan “bottom-up” sebagai satu-satunya jalan membentuk koperasi adalah bentuk romantisme kelembagaan yang mengabaikan sejarah dan kondisi sosial Indonesia. Dalam konteks entropi sosial yang kompleks, negara perlu turun tangan. Tidak untuk menguasai koperasi, tetapi untuk membukakan jalur tol bagi rakyat agar mampu berkoperasi kembali.
Pada akhirnya, koperasi adalah tentang harapan kolektif dan harapan, di negeri yang pernah kehilangan rasa percaya, butuh disemai bersama. (Agus Pakpahan).
***
Judul: Menimbang Ulang Pendekatan Top-Down dalam Membangun Koperasi
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi












