MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Selasa (15/07/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Mengapa Masih Jadi “Pemadam Kebakaran”? ” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Pemerintah baru mengumumkan akan menyalurkan Bantuan Pangan usai harga beras melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET). Pemerintah akan menggelontorkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sebesar 360 ribu ton untuk penerima manfaat sejumlah 18,27 juta kepala keluarga. Langkah ini merupakan kebijakan stimulus ekonomi yang digelndingkan mulai Juli hingga Desember 2025.

Mencermati pengumuman Pemerintah diatas, muncul pertanyaan, mengapa Pemerintah masih senang memposisikan diri sebagai “pemadam kebakaran” ? Mengapa Pemerintah baru menggelontorkan bantuan sosial beras sebesar 10 kg per KK per bulan setelah harga beras di pasar melewati batas HET ? Bukankah akan lebih keren, bila sedini mungkin, Pemerintah mampu mencegah kenaikan harga beras itu ?
Jujur kita akui, Pemerintah sepertinya masih menerapkan langkah-langkah sebagai “pemadam kebakaran” dalam menyikapi kenaikan harga beras karena beberapa alasan. Sedikitnya ada empat alasan yang penting kita cermati dengan seksama. Keempat hal tersebut adalah :
Pertama, sifat permasalahan yang mendesak. Kenaikan harga beras dapat menyebabkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan dalam waktu singkat, sehingga pemerintah perlu bertindak cepat untuk mengatasi masalah tersebut.
Kedua, keterbatasan perencanaan jangka panjang. Pemerintah mungkin belum memiliki perencanaan jangka panjang yang efektif untuk mengatasi masalah ketersediaan dan harga pangan, sehingga mereka lebih fokus pada solusi jangka pendek.
Ketiga, tekanan politik dan sosial. Pemerintah mungkin menghadapi tekanan politik dan sosial yang kuat untuk mengatasi masalah kenaikan harga beras secara cepat, sehingga mereka lebih memilih untuk menerapkan langkah-langkah darurat.
Keempat, keterbatasan sumber daya. Pemerintah mungkin memiliki keterbatasan sumber daya, baik finansial maupun infrastruktur, sehingga mereka lebih fokus pada solusi yang lebih murah dan cepat.
Namun begitu, patut dijadikan bahan analisis,, langkah-langkah sebagai “pemadam kebakaran” ini mungkin tidak efektif dalam jangka panjang jika tidak diimbangi dengan perencanaan dan kebijakan yang lebih holistik dan komprehensif untuk meningkatkan ketersediaan dan stabilitas harga pangan menuju Ketahanan Pangan yang berkualitas. Disinilah perlunya kebijakan dan pendekatan yang sifatnya deteksi dini. Menerapkan kebijakan deteksi dini dapat membantu pemerintah mengidentifikasi potensi masalah kenaikan harga beras lebih awal dan mengambil langkah-langkah pencegahan sebelum masalahnya menjadi lebih besar.
Beberapa pertimbangan, mengapa kebijakan deteksi dini mungkin tidak diterapkan secara efektif antara lain terkait keterbatasan data dan informasi. Pemerintah mungkin tidak memiliki akses ke data dan informasi yang akurat dan terkini tentang pasar beras, sehingga sulit untuk mendeteksi potensi masalah lebih awal.
Bisa juga karena keterbatasan kapasitas analisis. Pemerintah mungkin tidak memiliki kapasitas analisis yang cukup untuk menginterpretasikan data dan informasi yang tersedia, sehingga sulit untuk mengidentifikasi potensi masalah lebih awal.
Selanjutnya, kurangnya koordinasi antar lembaga. Pemerintah mungkin memiliki beberapa lembaga yang terkait dengan pasar beras, namun kurangnya koordinasi antar lembaga dapat menyebabkan informasi tidak tersampaikan secara efektif.
Atau karena prioritas kebijakan. Pemerintah mungkin memiliki prioritas kebijakan lain yang lebih mendesak, sehingga kebijakan deteksi dini untuk pasar beras tidak menjadi prioritas.
Yang jelas, dengan menerapkan kebijakan deteksi dini yang efektif, kita optimis, pemerintah dapat lebih proaktif dalam mengatasi masalah kenaikan harga beras dan mengurangi dampak negatifnya terhadap masyarakat, sehingga tidak terkesan seperti orang yang tengah kebakaran jenggot.
Akhirnya perlu disampaikan makna “pemadam kebakaran” dalam konteks kebijakan adalah metafor untuk pendekatan reaktif dalam menangani masalah. Artinya, pemerintah lebih fokus pada menangani masalah setelah masalah tersebut terjadi, bukan mencegah masalah sebelum terjadi.
Dalam kasus kenaikan harga beras, pemerintah mungkin menunggu sampai harga beras sudah naik signifikan dan menyebabkan dampak negatif pada masyarakat, baru kemudian mengambil tindakan untuk mengatasi masalah tersebut.
Pendekatan ini disebut “reaktif” karena pemerintah bereaksi terhadap masalah yang sudah terjadi, bukan mengantisipasi dan mencegah masalah sebelum terjadi. Ini berbeda dengan pendekatan “proaktif” yang fokus pada pencegahan dan mitigasi masalah sebelum terjadi.
Semoga jadi percik permenungan kita bersama.
***
Judul: Mengapa Masih Jadi “Pemadam Kebakaran”?
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi












