Ketergantungan Impor Beras

Artikel ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

Ilustrasi: menggambarkan ketergantungan suatu negara terhadap impor beras, dengan menampilkan sebuah kapal kargo besar yang mengangkut karung-karung beras yang sedang bersandar di pelabuhan yang sibuk - (Sumber: Bing Image Creator AI)

MajmusSunda News, Sabtu (04/01/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul ”Ketergantungan Impor Beras” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Beredar diskusi di tengah-tengah masyarakat: “ketergantungan Pemerintah terhadap impor beras apakah suatu waktu bakal sama dengan ketergantungan masyarakat terhadap beras”? Sebagai anak bangsa yang percaya atas kemanpuan dan kekuatan bangsanya sendiri, tidak boleh tidak, maka jawaban tegas yang patut disanpaiksn adalah tidak!

Impor beras, sekalipun tidak diharamkan, mestinya tidak perlu ditempuh, sekiranya kita bersungguh-sungguh mengelola dunia perberasan secara piawai dan bertanggungjawab. Dengan sumber daya alam yang dimiliki, ditopang sumber daya petani yang ada, seharusnya kita dapat berkiprah yang terbaik bagi perjalanan dan perkembangan bangsa menuju tujuan nasionalnya.

Ir. Entang Sastraatmadja
Ir. Entang Sastraatmadja, penulis – (Sumber: tabloidsinartani.com)

Sayang, hal ini masih mengedepan sebagai sebuah harapan dan belum menjadi fakta kehidupan. Sumber daya alam yang berkaitan dengan pertanian, sepertinya belum digarap dengan optimal. Pemerintah tampak belum mampu melakukan pendekatan yang bersifat deteksi dini dan antisipatif. Pemerintah terkesan masih terjebak pada pendekatan yang bersifat selaku ‘pemadam kebakaran”.

Contoh, Pemerintah baru sibuk melaksanakan program pencetakan sawah sanpai berjuta hektar, setelah terjadinya kerisauan terhadap produksi beras yang menurun cukup signifikan. Pertanyaannya, mengapa baru sekarang ini Pemerintah ramai-ramai mencetak sawah, dan bukannya digarap sejak lama sebagai antisipasi jika suatu saat produksi berad anjlok?

Ya, itulah pola ‘pemadam kebakaran’. Ada masalah, baru bertindak. Rasanya sikap semacam ini, benar-benar sudah menyatu-padu dalam dunia birokrasi di negeri ini. Padahal, kalau kita berani melakukan pendekatan deteksi dini dan antisipatif secara utuh dan holistik, mestinya hal-hal yang mengganggu jalannya roda pembangunan tidak perlu terjadi.

Ketergantungan terhadap impor beras, mestinya dapat dihindari kalau Pemerintah betul-betul serius dalam menggenjot produksi setinggi-tingginya menuju swasembada. Upaya meningkatkan produksi dan produktivitas, bukan cuma dikarenakan adanya kemauan politik Presiden Prabowo saja, namun hal itu merupakan kebutuhan mendasar yang harus digarap.

Ada atau tidaknya hasrat politik untuk mencapai swasembada pangan, langkah menggenjot produksi setinggi-tingginya merupakan kebijakan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Pegangannya cuma satu, urusan pangan atau beras terkait dengan mati dan hidupnya suatu bangsa. Jika bangsa ini ingin tetap eksis, maka ketersediaan beras harus tetap terjaga dan terpelihara dengan baik.

Terkait dengan beras, sebenarnya bangsa kita telah msmpu mengukir kisah sukses yang cukup membanggakan. Indonesia mampu memproklsmirkan diri kepada segenap warga dunia, atas keberhasilannya meraih swasembada beras tahun 1984. Prestasi ini membuktikan, selama kita serius menggarap sesuatu pekerjaan, maka hasilnya akan tampak di pelupuk mata.

Betul, swasembada beras yang kita raih masih bersifat swasembada “on trend”, bukan swasembada permanen. On trend sendiri bisa dimaknai sebagai swasembada kadang-kadang. Maksudnya, kadang swasembada jika produksinya melimpah dan kadang tidsk, bila produksinya anjlok. Ke depan, swasembada on trend ini sudah harus kita tinggalkan untuk dirubah dengan swasembada berkelanjutan.

Memutus ketergantungan terhadap impor beras, rupanya tidak cukup hanya dengan pidato berapi-api. Namun, yang lebih penting lagi adalah langkah apa yang bakal dilakukan, seandainya produksi beraz dalam negeri betul-betul turun sehingga melahirkan peluang untuk terciptanya “darurat beras”. Kondisi inilah yang patut kita cermati dengan sungguh-sungguh.

Itu sebabnya, apa yang disampaikan Menko bidang Pangan yang membewarakan tahun 2025, kita akan menyetop impor beras, tentu akan lebih afdol bila dilengkapi pula dengan skenario dan penyebab utama kita berani menghentikan impor beras. Catatan kritisnya adalah apakah tidak lebih keren, jika yang disampaikannya menggunakan kalimat “mengurangi” impor beras.

Kekuatan dan keberanian menghentikan impor beras, boleh jadi dikarenakan produksi beras dalam negeri dan cadangan beras Pemerintah, telah memenuhi untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Pertanyaan kritisnya adalah apakah cukup masuk akan kalau produksi beras dalam negeri tahun 2024 anjlok, sehingga kita memutuskan untuk menyetop impor?

Catatan pentingnya, kalau bangsa ini sangat mendesak untuk memenuhi kebutuhan, dari mana lagi kita akan memenuhinya, bila impor beras distop. Padahal, dalam beberapa kasus, Pemerintah terpaksa mengandalkan impor beras sebagai satu-satunya solusi guna memenuhi kebutuhan tersebut. Tanpa impor beras, pasti banyak anak bangsa yang terganggu nyawa kehidupannya.

Ingat beras berarti ingat Bulog. Lembaga pangan yang nantinya bakal disiapkan menjadi lembaga otonom Pemerintah kembali, Bulog penting untuk merevitalisasi diri supaya lebih siap bila ditugaskan menyerap dan membeli gabah sebanyak-banyaknya dari petani. Bulog hari ini harus lebih lincah dalam menyambut gabah petani ketimbang Bulog masa lalu.

Semoga kehadiran Bulog Baru nanti akan mampu meniupkan angin segar bagi dunia perberasan yang semakin menjelumet dan penuh tantangan. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).

***

Judul: Ketergantungan Impor Beras
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *