MajmusSunda News, Rubrik OPINI, Minggu (25/05/2025) – Esai berjudul “Indonesia di Abad Asia” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saudaraku, dunia menjuluki abad ke-21 sebagai Abad Asia. Namun, di tengah fajar yang menyingsing di Timur, haruskah Indonesia—negeri dengan rekam jejak kepeloporan dan letak yang strategis—hanya menjadi bayang-bayang dalam terang yang pernah ia nyalakan?
Sejarah pernah menjawab dengan nyala. Dalam Makers of Modern Asia (Ramachandra, 2014), dunia mencatat bahwa Indonesia menggagas Konferensi Asia-Afrika 1955—langkah awal yang menyalakan obor menuju Abad Asia.

Di Bandung, dalam udara dingin yang bergelora oleh semangat pembebasan, Bung Karno menyatakan dengan penuh keyakinan, “Inilah konferensi antarbenua pertama dari bangsa-bangsa kulit berwarna dalam sejarah umat manusia.” Sejak itu, Indonesia menjelma suluh yang membimbing Asia dan Afrika keluar dari kabut penjajahan.
Cahaya itu terus menjalar. Pada 1962, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games ke-4. Di depan maket Stadion Senayan, Bung Karno berseru, “Ini… ini akan jadi stadion terbesar di dunia. Kita tunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa besar yang sanggup maju ke garis depan, memimpin pembebasan dunia menuju fajar barunya.”
Dari impian itu lahir Gelora Bung Karno, TVRI, jalan-jalan protokol, Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia, dan Monumen Selamat Datang—tanda bahwa dunia disambut, dan bangsa ini ingin hadir sebagai tuan rumah peradaban.
Bagi Bung Karno, olahraga bukan sekadar adu otot, melainkan jalan kebudayaan dan peradaban.
“Jakarta akan jadi kota dunia,” Bung Karno penuh harap, “Itu impianku. Dari Stadion Senayan ini akan dilingkari pusat-pusat kebudayaan. Kita akan melahirkan bukan saja atlet-atlet handal, tapi pelukis-pelukis jempolan, penari-penari kelas dunia, dan penyanyi-penyanyi yang lagunya bisa membangkitkan suara surga dari tanah Nusantara.”
Dengan semua karya kebudayaan itu, kata Bung Karno, akan memberi jiwa bagi bangkitnya bangsa kita ke muka dunia internasional.
Demikianlah, dulu Indonesia adalah suluh bagi Asia dan Afrika. Kini, di Abad Asia, saat dunia kembali menengok ke Timur, saatnya Indonesia merebut lagi marwahnya—bukan sekadar hadir, tapi memimpin arah zaman.
***
Judul: Indonesia di Abad Asia
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.
Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.
***