MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (23/10/2024) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 3)” ini ditulis oleh: Gelar Taufiq Kusumawardhana.
Kajian
Dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian, yang ditulis pada tahun 1440 Saka—yang setara dengan tahun 1518 Masehi, terdapat kalimat dalam bahasa Sunda Kuno yang menjelaskan sebagaimana berikut:
“Ini triwarga di lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi. Nya mana tritan(g)tu pineguh ning bwana, triwarga hurip ning jagat. Ya sinangguh tritan(g)tu di nu reya ngaranya”.
Kalimat dalam bahasa Sunda Kuno di atas, diperoleh melaluitranskripsi yang dikerjakan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Darsa dalam bukunya yang berjudul: “Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung”, pada “Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI”, halaman 90 (Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung,1987 M).

Traskripsi dalam bahasa Sunda Kuno di atas, selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Darsa, pada “Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.2. Terjemahan, XXVI”, halaman 114-115, sebagaimana berikut:
“Ini triwarga dalam kehidupan. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, Isora ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia. Ya disebut tritangtu pada orang banyak namanya”.
Melalui transkripsi dan terjemahan oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Darsa, dapat dibuat transkripsi alternatif sebagaimana berikut:
“Ini Tri Warga di Lamba: Wisnu kangken Prabu, Brahma kangken Rama, Isora kangken Resi. Nya mana Tri Tantu pineguh ning Bwana, Tri Warga hurip ning Jagat. Ya sinangguh Tri Tantu di nu reya ngaranya”.
Dengan dibuatnya transkripsi alternatif di atas, dapat dibuat juga terjemahan alternatif dalam bahasa Indonesia sebagaimana berikut:
“Ini Tri Warga di Lamba: Wisnu sebagai Prabu, Brahma sebagai Rama, Isora sebagai Resi. Dengan itulah Tri Tantu diwujudkan dalam Bwana, Tri Warga hidup dalam Jagat. Itulah yang dimaksud dengan perwujudan Tri Tantu terhadap masyarakat umum”.
Berdasarkan transkripsi dan terjemahan alternatif yang dihasilkan, pola penalaran yang terkadung dalam bahasa Sunda Kuno di atas menjadi lebih mudah untuk dipahami, yakni sebagaimana berikut:
Terdapat perbedaan antara konsep “lamba” yang merupakan alam dewa-dewa dan alam manusia pada umumnya (‘di nu reya’), yang disebut dengan konsep “buana”, atau “jagad”,
Terdapat tiga dewa utama yang berkuasa di lamba secara sederajat dan bersamaan (kolegial), yang disebut dengan konsep “Tri Warga di Lamba”.
Keanggotaan Tri Warga di Lamba,terdiri dari Wisnu, Brahma, dan Isora.
Masing-masing anggota Tri Warga di Lamba menjalankan tugas berbeda, yakni Wisnu sebagai Prabu, Brahma sebagai Rama, dan Isora sebagai Resi.
Konsep “Tri Warga di Lamba”menjadi dasar pembentukan konsep ‘Tri Tantu di Buana’, ‘Tri Tantu di Jagat’, atau ‘Tri Tantu di nu reya’.
Tujuan dari pembentukan konsep ‘Tri Tantu di Buana’, ‘Tri Tantu di Jagat’, atau ‘Tri Tantu di nu reya’ adalah penerapan tata kelola terhadap masyarakatan umum (‘di nu reya’).
Unsur-unsur yang diterapkan dalam ‘Tri Tantu di Buana’, ‘Tri Tantu di Jagat’, atau ‘Tri Tantu di nu reya’ adalah penerapan aspek peranan, atau pekerjaa yang dilakukan oleh Wisnu sebagai Prabu, peranan Brahma sebagai Rama, dan peraan Isora sebagai Resi.
Melalui landasan berpikir demikianlah, terlahir konsep ‘Tri Tantu di Buana’, ‘Tri Tantu di Jagat’, atau ‘Tri Tantu di nu reya’dengan cara mengoperasionalisasikan peran-peran Wisnu, Brahma, dan Isora sebagai Prabu, Rama, dan Resi dalam melakukan tata kelola terhadap masyarakat umum.
Dengan meminjam analisa hukum penalaran (logika), apa yang disampaikan dalam transkripsi bahasa Sunda Kuno di atas, sebenarnya merupakan susunan argumentasi deduktif dalam bentuk silogisme.Yakni dengan menempatkan kalimat “Ini Tri Warga di Lamba: Wisnu kangken Prabu, Brahma kangken Rama, Isora kangken Resi” (Ini Tri Warga di Lamba: Wisnu sebagai Prabu, Brahma sebagai Rama, Isora sebagai Resi) sebagai preposisi pertama yang menjalankan fungsinya sebagai premis mayor (landasan apriori yang dijadikan pijakan teoretik).
Selanjutnya dengan menempatkan kalimat “Nya mana Tri Tantu pineguh ning Bwana, Tri Warga hurip ning Jagat” (Dengan itulah Tri Tantu diwujudkan dalam Bwana, Tri Warga hidup dalam Jagat) sebagai preposisi kedua yang menjalankan fungsinya sebagai premis minor (penerapan aspek teori terhadap kasus yang bersifat khusus).
Dan dengan menempatkan kalimat “Ya sinangguh Tri Tantu di nu reya ngaranya” (Itulah yang dimaksud dengan perwujudan Tri Tantu terhadap masyarakat umum) sebagai kongkulusi yang menjalankan fungsinya sebagai pengetahuan baru (formulasi yang dihasilkan secara absyah melalui prosedur penalaran deduktif/silogime).
Melalui analisa tersebut, dapat diketahui bahwa konsep ‘Tri Tantu di Buana’, ‘Tri Tantu di Jagat’, atau ‘Tri Tantu di nu reya’, merupakan konsep yang diturunkan (derivat) melalui kerangka berpikir dengan menggunakan prosedur silogisme. Adapun landasan pembentukan konsep “Tri Warga di Lamba”itu sendiri, secara hipotetik pada gilirannya dapat diduga diturunkan dari konsep “Tri Murti” dalam sistem keyakinan (teologi) Hindu.
Hubungan antara konsep “Tri Warga di Lamba ”dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M dengan konsep “Tri Murti” dalam sistem keyakinan Hindu misalnya, dapat dikonfirmasi melalui keterangan dalam naskah Vishnu Purana, yang menurut analisa Horace Hayman Wilson (tahun 1864 M) berasal dari abad ke-11 M (Rocher, Ludo (1986). The Puranas. Otto Harrassowitz Verlag.).
Sementara konsep “Tri Murti” yang terdapat dalam naskah Vishnu Purana itu sendiri, menurut analisa R.C. Majumdar, merupakan sistem keyakinan Hindu, yang didasarkan pada naskah-naskah setelah zaman Weda (“post-Vedic religion”). Adapun dalam naskah Vishnu Purana (1.2.66)—yang diperoleh melalui R.C. Majumdar (“Evolution of Religio-Philosophic Culture in India”, Radhakrishnan, 1956), dengan jelas terdapat formulasi konsep “Tri Murti” dalam kalimat bahasa Sanskerta sebagaimana berikut:
“Rupani trini tatraiva murtibheda-vibhagatah. Ajamyekamsam atmanamsiva-rupena tishthati. Jagatah sthiti-samdhanam samharanti yuge yuge.Trayam brahma-maha-visnu-mahesvara-iti smrtam”.
(In this way, the one supreme entity divides itself into three forms—Brahma, Vishnu, and Mahesh (Shiva)—taking on different aspects. It creates, preserves, and destroys the universe in various ages.)
Adapun terjemahan dalam bahasa Inggris yang dilakukan oleh R.C. Majumdar, dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagaimana berikut:
“Dalam hal ini, Zat Tertinggi Tunggal membagi dirinya sendiri ke dalam tiga perwujudan—yakni Brahma, Vishnu, dan Mahes (Shiva)—dengan mengambil peranan-peranan berbeda. Sebagai Pencipta, sebagai Pemelihara, dan Penghacur semesta dalamzaman-zaman berbeda”. (Bersambung …).
***
Judul: Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 3)
Penulis: Gelar Taufiq Kusumawardhana
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas info penulis
Gelar Taufiq Kusumawardhana adalah Anggota Dewan Pakar Sejarah dan Kebudayaan, Majelis Masyarakat Sunda (MMS), Ketua Yayasan Buana Varman Semesta, dan Kandidat Doktor pada Konsentrasi Agama dan Budaya, Program Studi Agama-Agama, Program Pascasarjana (S3), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung). Kini ia bermukim di Perumahan Pangauban Silih Asih, Blok R, No. 37, Desa Pangauban, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.
***