Fakultas Koperasi dan Ekonomi Kerakyatan: Refleksi dari Dunia Kedokteran dan Amanah Konstitusi

Artikel ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.

Ilustrasi: Suasana di sebuah kampus perguruan tinggi - (Sumber: Arie/MMS)
Ilustrasi: Suasana di sebuah kampus perguruan tinggi - (Sumber: Arie/MMS)

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jumat (20/06/2025) – Artikel berjudul “Fakultas Koperasi dan Ekonomi Kerakyatan: Refleksi dari Dunia Kedokteran dan Amanah Konstitusi” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Dewan Pini Sepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.

Pendahuluan: Dua Paradigma dalam Pendidikan Profesional 

Dalam sistem pendidikan tinggi, terdapat contoh di mana suatu disiplin ilmu dikembangkan dalam dua pendekatan berbeda dengan filosofi yang berlainan namun sama-sama diakui secara akademik.

Sebagai ilustrasi, di Amerika Serikat, pendidikan kedokteran terbagi menjadi Allopathic Medicine (MD) dan Osteopathic Medicine (DO). Keduanya bisa hadir dalam satu universitas. Misalnya, keduanya hadir di Michigan State University dengan kampusnya dalam satu kompleks. Keduanya menghasilkan tenaga medis berlisensi, tetapi dengan orientasi berbeda: MD berfokus pada pendekatan biomedis konvensional, sedangkan DO menekankan prinsip holistik dan pencegahan penyakit.

Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.
Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Penulis – (Sumber: alumniipbpedia.id)

Di Indonesia, hanya gelar MD (Medical Doctor) yang diakui secara formal, sehingga banyak kalangan akademis tidak menyadari adanya alternatif lain dalam praktik kedokteran. Fenomena serupa terjadi dalam ilmu ekonomi, di mana Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) secara dominan mengajarkan teori ekonomi berbasis pasar (neoklasik), sementara pendekatan ekonomi kerakyatan dan koperasi—yang sebenarnya selaras dengan konstitusi—hanya diajarkan sebagai sub-bagian kecil dalam kurikulum. Karena itu pula koperasi hanya dilihat sebatas bagian dari ilmu ekonomi atau manajemen.

Landasan Konstitusional dan Teoretis Ekonomi Kerakyatan 

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memberikan mandat jelas bahwa:

  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan (koperasi);
  2. Cabang produksi yang penting dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat;
  3. Perekonomian nasional harus berdasarkan demokrasi ekonomi, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Namun, dalam praktik pendidikan tinggi ekonomi di Indonesia, pendekatan yang dominan adalah ekonomi pasar bebas, dengan minimnya pengajaran tentang model ekonomi kolektif seperti koperasi. Padahal, secara empiris, koperasi telah terbukti menjadi instrumen ekonomi yang efektif di berbagai negara:

– Zen-Noh (Jepang): Koperasi pertanian dengan omzet USD 55 miliar;

– CHS Inc. (AS): Koperasi agribisnis dengan pendapatan hampir mencapai USD 40 miliar, mengalahkan pendapatan hampir semua BUMN Indonesia; dimiliki oleh lebih dari 300.000 petani;

– Rabobank (Belanda): Lembaga keuangan berbasis koperasi yang masuk dalam top 30 bank global.

Fakta ini menunjukkan bahwa koperasi bukan sekadar entitas marginal, melainkan model bisnis yang kompetitif dan berkelanjutan. Namun, kasus semacam ini jarang dibahas secara mendalam dalam kurikulum ekonomi konvensional di Indonesia.

Kebutuhan Fakultas Koperasi dan Ekonomi Kerakyatan (FKEK) dalam Sistem Pendidikan Tinggi 

Berdasarkan analisis konstitusional dan empiris, pengembangan Fakultas Koperasi dan Ekonomi Kerakyatan (FKEK) menjadi suatu keharusan akademik. Beberapa alasan mendasar adalah:

  1. Kesenjangan antara Teori Ekonomi Dominan dan Amanat Konstitusi

– Kurikulum FEB saat ini lebih banyak mengajarkan ekonomi neoliberal, sementara Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan ekonomi berbasis kolektivitas;

– Minimnya literatur tentang keberhasilan koperasi global dalam pendidikan ekonomi Indonesia.

 

  1. Potensi Koperasi sebagai Model Ekonomi Berkelanjutan

– Studi menunjukkan bahwa koperasi memiliki resiliensi lebih tinggi dalam krisis ekonomi dibanding korporasi konvensional;

– Koperasi berkontribusi pada pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan.

  1. Kurikulum Integratif untuk Ekonomi Kerakyatan

FKEK perlu dirancang dengan pendekatan multidisiplin, mencakup, antara lain:

– Sejarah Ekonomi Negara-Negara Berkembang;
– Sejarah Ekonomi Indonesia;
– Teori Ekonomi Kelembagaan;
– Manajemen Koperasi Modern (studi kasus Nonghyup Korea, Mondragon Spanyol, CHS Amerika Serikat, Zen-Noh Jepang, dll);
– Hukum Ekonomi Konstitusional (analisis Pasal 33 UUD 1945);
– Keuangan Inklusif dan Ekonomi Desa;
– Teknologi Inklusif.

Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan 

Berdasarkan bukti konstitusional, teoretis, dan empiris, pendirian FKEK bukan sekadar alternatif, melainkan suatu keharusan akademik untuk memenuhi amanat UUD 1945. Rekomendasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan:

  1. Integrasi FKEK dalam sistem pendidikan tinggi melalui kerja sama Kemenristekdikti dan Kementerian Koperasi dengan output dilahirkannya status gelar akademis Sarjana Koperasi (S1, S2 dan S3);
  2. Pengembangan riset terapan tentang model koperasi sukses di tingkat global;
  3. Kolaborasi dengan koperasi internasional untuk pertukaran pengetahuan dan praktik terbaik;

Dengan pendekatan ilmiah dan berbasis bukti, FKEK dapat menjadi pusat keunggulan (center of excellence) bagi pengembangan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan dan berkeadilan.

.***

Judul: Fakultas Koperasi dan Ekonomi Kerakyatan: Refleksi dari Dunia Kedokteran dan Amanah Konstitusi
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *