Ema Bratakusuma:  “Sagalana keur Sunda”

Murid pulitik satu-satunya Gan Ema, adalah  Tjetje Hidayat Padmadinata mengatakan jiwa patriotik Gan Ema selalu tertanam dalam semua langkah dan ala

Ema Bratakusuma atau Gan Ema (istimewa)

MajmusSundaNews-Ema Bratakusuma atau lebih dikenal dengan sapaan Gan Ema, lahir dari kalangan “tedak menak” atau teureuh (keturunan) bangsawan, lahir di Desa Baregbeg sebelah Utara Kota Ciamis, 12 April 1901.

Ema Bratakusuma putra dari pasangan Rd. Muhamad Bratakusuma dan Rd. Kusumaningrum. Kakeknya dari ayah Rd Wiradijaya, Kuwu Bintang dari Baregbeg.

Tjetje Hidayat Padmadinata saat masih jumeneng mengatakan jiwa patriotik Gan Ema selalu tertanam dalam semua langkah dan alam perjuangan membela urang Sunda.

 “Sagalana keur Sunda,”  kata Gan Ema ditulis Edi S Ekajati dalam buku nu Maranggung dina Sajarah Sunda

Gan Ema juga salah satu tokoh Sunda bersama Sutisna Senjaya mendirikan Partai Gerakan Pilihan Sunda (Gerpis 1955). Dalam waktu singkat Gan Ema dengan Partai Gerpisnya berhasil melahirkan wakilnya  duduk di Jakarta (Sutisna Senjaya)

Tjetje Hidayat Padmadinata  di Gerpis ia adalah murid politik satu-satunya Gan Ema. Ia mengaku usia saat menjadi murid politik Gan Ema usianya sekitar 20 tahunan.  

Pada saat itu kata Tjetje,  tidak ada yang berani tokoh Sunda menamai partainya memakai embel-embel Sunda. Hanya Ema Bratakusuma yang berani. Hubungan tokoh Sunda sedang tidak harmonis dengan Jakarta. Semua takut dicap sebagai provinsialisme (fanatik kesundaan). 

“Hanya  Ema Bratakusuma dan Sutisna Senjaya  yang berani,” tandas Tjetje.

Dalam wadah perjuangan menjelang dan pasca kemerdekaan Ia  memimpin Laskar Sunda Priangan. Ia lahir dari keluarga besar Rd. Muhamad Bratakusuma, Gan Ema merupakan putra sulung dari 9 bersaudara.

Ia punya adik Ir. Ukar Bratakusumah sempat menjadi Walikota Bandung ke 14 dan Gubernur Jabar ke 5.

Ukar Bratakusuma sempat juga menjadi Menteri PU zaman Presiden Sukarno dan Rektor Institute Bandung (ITB) saat di ITB Ukar Bratakusuma yang memprakarsai pendirian Mesjid Salman.

Bersama tokoh yang lainnya Gan Ema  tanpa henti membela urang Sunda, seperti, Sutisna Senjaya (Sutsen), Otto Iskandar di Nata (Otista),  Dr. R. Junjunan Setiakusumah,  Ir. Ukar Bratakusumah, Ir. Juanda, Jerman Prawirawinata, dan banyak lagi tokoh Sunda lainnya

Gan Ema tergerak hatinya untuk membela “lemah caina Tatar Sunda,” akibat tindakan yang tidak adil dari Jakarta, untuk menyalurkan aspirasi atau uneg-uneg tahun 1952 hingga Kongres Pemda Sunda 1956.

Ia bersama tokoh Sunda lainnya seperti, Apandi Widaprawira, Gumbira, Ir. Otong Kosasih, Sudarna, Ipik Gandamanah, Ardiwinangun, Bakri Suraatmaja, Dr. Junjunan  Setiakusumah, Kusna Puradireja dan puluhan tokoh Sunda yang lainnya menginisiasi berdiri dua organisasi Sunda yaitu Pangauban Sunda yang nantinya bersamaan dengan Daya Sunda.

Gan Ema juga dikenal sempat menyatukan para pendekar dari seluruh Tatar Sunda dalam wadah perguruan Maenpo (pencak silat) Sunda, Sekar Pakuan berdiri 1933, Gan Ema dipercaya juga oleh Belanda untuk merevitalisasi dan membangun kembali Bandung pasca Bandung Lautan Api (24-25 Maret 1946).Tak hanya bergerak di bidang budaya, seni dan politik Gan Ema sangat perhatian pada pendidikan. 

Ia menyediakan asrama di Bandung untuk orang desa yang sekolah atau kuliah di Bandung tepatnya di Gang Ijan (1920) dan Jalan Tawes (1960-1970).

Pada akhirnya terjadilah peristiwa Bandung Lautan Api yang banyak melahirkan korban dikalangan  rakyat sipil.

Awal tahun 1948 Gan Ema ditawari Residen Belanda Van der Harst bergabung negara Pasundan namun ditolaknya.

“Gan Ema dari dulu dia itu pejuang yang selalu ingin merdeka dan menolak dijajah bangsa lain,” jelas Edi ditulis dalam bukunya yang sama

Namun karena alasan Lemah Cai Bandung yang hancur  akibat perang pasca kemerdekaan Bandung Lautan Api, ia tak kuasa menolak dan membangun kembali Wethouder Bandung yang porak poranda.

Saat Jepang datang menaklukan Belanda dan ingin menjajah Indonesia Gan Ema bersama pejuang lainnya tidak hanya tokoh Sunda mendirikan Barisan Pelopor, seperti Dr. R. Junjunan Setiakusumah, Ir. Ukar Bratakusumah, Duyeh Suharsa dan Anwar Sutan Pamuncak. Saat itu kerap menggelar pertemuan di rumah Ukar Bratakusumah di Jalan Wastukancana (14 Agustus 1945) pukul 09.00 WIB. 

“Dalam pertemuan itu mereka bermusyawarah bagaimana caranya agar Kota Bandung aman dan tertib, jika saja Prokklamasi Kemerdekaan diumumkan, hasilnya diputuskan oleh panitia siapa yang bakal memegang kekuasaan di Bandung, menyesal saat itu Walikota Bandung R.A Atmadinata, tidak setuju agar dirinya menyerahkan kekuasaannya kepada panitia,” tulis Edi S Ekajati.

 

 

Judul: Ema Bratakusuma:  “Sagalana keur Sunda”
Jurnalis: Agung Ilham Setiadi
Editor: AIS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *