Dari Kekayaan Tanah Air Menjadi Kekayaan Konglomerat, Terpujilah Dia?

Sebuah Elegi untuk Paradoks yang Dianggap Lumrah Ditulis Menjelang Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni 2025

Perkebunan sawit
Ilustrasi: Hamparan perkebunan sawit - (sumber: Arie/MMS)

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Kamis (29/05/2025) – Artikel berjudul “Dari Kekayaan Tanah Air Menjadi Kekayaan Konglomerat, Terpujilah Dia?” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Dewan Pini Sepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.

Prolog: Di Negeri yang Diberkati, Dikutuk oleh Kemakmurannya Sendiri

Di negeri zamrud khatulistiwa, di mana tanah meneteskan minyak, hutan menjulang bak katedral alam dan laut berkilau bagai permata biru—di sanalah tersembunyi sebuah paradoks ironis: kekayaan yang lahir dari rahim bumi justru menjadi altar pemujaan bagi segelintir manusia.

Mereka menyebut diri “konglomerat”, padahal dalam bahasa yang lebih jujur, mereka adalah “algojo” yang mengenakan jubah kesucian. Di balik deretan angka di laporan keuangan, tersimpan kisah tentang tanah yang merintih, udara yang terengah, dan rakyat yang terpenjara dalam ilusi kemakmuran.

Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.,
Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Penulis – (Sumber: sawitsetara.co)

Tanah-Air: Dari Sakral ke Profan

Dalam mitologi Nusantara, tanah-air adalah entitas sakral: ibu yang memberi kehidupan, bapak yang menjamin kedaulatan. Namun kini, ia direduksi menjadi sekadar “aset” dalam neraca perusahaan. Hak Guna Usaha (HGU), sebuah frasa yang terdengar steril adalah pisau bedah yang membedah jiwa tanah menjadi petak-petak angka yang mengubah aset Negara menjadi aset perusahaan swasta.

Setiap hektar yang di-HGU-kan adalah ritual pengorbanan: hutan diganti sawit, sungai dikubur limbah, dan hak adat diubah menjadi sertifikat kepemilikan perusahaan. Lalu, ketika konglomerat menaikkan pundi-pundi kekayaannya, apakah yang kita saksikan jika bukan pemujaan berhala baru? Berhala bernama capital gain.

“Kami membangun negeri,” kata mereka. Namun, di balik kata “membangun” itu terselip makna lain: menggali, mengambil, menguasai.

Novel “Dikalahkan Sang Sapurba”  karya Edi Ruslan Pe Amanriza, seorang sastrawan dari Pekan Baru, Riau, merupakan satu karya yang merekam cerita terjadinya gambaran tersebut.  Tentu, kejadian di tempat lain ada banyak, tapi tak terekam dalam sebuah cerita terbukukan.

Ya, begitulah, seperti cerita para penjajah dulu yang datang dengan bendera dagang, konglomerat hari ini datang dengan bendera investasi. Sejarah HGU dimulai pada 1870, 155 tahun yang lalu dengan dilahirkannya Agrarischwet 1870 oleh Belanda, bersamaan dengan diakhirinya Tanam Paksa, kecuali untuk tebu dan kopi yang terus berlanjut.

Entah sampai kapan “privatisasi” tanah Negara menjadi HGU akan berlanjut, walaupun  bedanya, kini kita menyebutnya dengan  “pembangunan”—sebuah eufemisme yang membuat eksploitasi terasa legal, bahkan terhormat.

Filsafat Kekayaan: Akumulasi vs. Distribusi

“Kapitalisme adalah agama yang menjadikan uang sebagai Tuhannya.” Di Indonesia, agama ini dianut dengan fanatisme luar biasa. Kekayaan alam yang seharusnya menjadi commons—milik bersama—diprivatisasi menjadi private equity. Setiap ton CPO yang diekspor, tanpa dikembalikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat  adalah pengingkaran terhadap hak rakyat atas kemakmuran. Setiap hektar HGU yang dikuasai adalah penguburan cita-cita keadilan agraria.

Di sini, hukum rimba berlaku: yang kuat menguasai, yang lemah menonton.  “Freedom for the pike the death for the minnows,” ujar Isaiah Berlin, seorang filosof pemerdekaan.

Konglomerat tumbuh bagai raksasa yang menginjak-injak akar rumput. Mereka berkata, “Ini untuk kemajuan bangsa,” sambil melupakan bahwa kemajuan yang hanya dinikmati segelintir orang adalah kemajuan yang pincang.

Lalu, ketika seorang petani tersingkir dari lahannya sendiri, apakah kita masih berani menyebutnya “pembangunan”?

Berkah Ilahi untuk Rakyat dibuat Pasar untuk Konglomerat

Ada sebuah mekanisme ilahi dalam sistem ini: Tuhan telah menciptakan tanah yang subur, tapi pasar yang menentukan harganya. Nilai sebidang tanah tak lagi diukur dari kemampuannya menghidupi keluarga petani, melainkan dari potensinya menghasilkan deviden bagi pemegang saham.

Konglomerat, dengan restu regulasi yang ambigu menjadi perantara antara Tuhan dan pasar. Mereka mentransformasi “tanah-air” menjadi “komoditas”, “sungai” menjadi “saluran limbah”, dan “rakyat” menjadi “tenaga kerja murah”.

Dan kita? Kita disuguhi narasi palsu: “Mereka menciptakan lapangan kerja.” Namun, berapa harga yang harus dibayar? Ketika upah buruh perkebunan tak cukup untuk membeli sekarung beras, ketika anak-anak nelayan tak lagi bisa menjadikan laut sebagai warisan, ketika region perkebunan kelapa sawit kaya balita stunting—apakah ini yang disebut kemajuan? Ataukah ini pengkhianatan terhadap amanat Pancasila?

Data yang Terlupakan: Konsentrasi HGU di Tangan Segelintir Konglomerat

“Angka-angka tidak pernah berbohong, kecuali ketika kita memilih untuk tidak membacanya.”

Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang (2023), 12,4 juta hektar lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikuasai oleh korporasi melalui skema Hak Guna Usaha (HGU). Jumlah ini setara dengan 88% total HGU perkebunan nasional, sementara petani plasma dan rakyat hanya mendapat porsi 12%.

Lebih ironis lagi, 70–80% aset perusahaan-perusahaan tersebut bersumber dari nilai lahan HGU—sebuah angka yang mengungkap betapa kekayaan tanah-air Indonesia terakumulasi di tangan oligarki.

Interpretasi Data:

Lima konglomerat menguasai 1,8 juta ha HGU sawit—luas yang setara dengan gabungan 3 provinsi DKI Jakarta.

Nilai aset HGU mereka mencapai USD 21,8 miliar (Rp 327 triliun), cukup untuk membiayai APBN Pendidikan 2024 sebanyak 50%.

Rata-rata 70% aset perusahaan bersumber dari revaluasi HGU. Artinya, kekayaan konglomerat dibangun di atas kenaikan harga tanah, bukan inovasi atau produktivitas. Ini menjelaskan perusahaan perkebunan sawit miskin hilirisasi.

Manusia dalam Rantai Nilai: Antara Angka dan Air Mata

Di pabrik-pabrik sawit yang menjamur, di antara bunyi mesin yang menderu, tersembunyi sebuah ironi yang terpateri: buruh-buruh yang mengolah kekayaan bumi justru terasing dari hasil keringatnya sendiri.

Upah mereka tak lebih dari remah-remah dari pesta pora akumulasi modal. Sementara konglomerat menghitung laba dalam spreadsheet yang steril, buruh menghitung hari-hari yang dipaksa oleh sistem upah minimum yang tak pernah cukup. Di sini, manusia direduksi menjadi “sumber daya”—istilah yang begitu dingin, seolah darah dan tulang bisa diubah menjadi baris kode di laporan keuangan.

“Mereka bersyukur memiliki pekerjaan,” kata para pemuja pasar. Namun, syukur macam apa yang mengharuskan seseorang menjual matahari pagi untuk sekarung beras subsidi?

Di balik slogan corporate social responsibility yang ada hanyalah collective societal amnesia: kita lupa bahwa kemiskinan bukanlah takdir, melainkan produk dari struktur yang timpang.

Ketika konglomerat membangun menara gading di Jakarta, di pedalaman Kalimantan, anak-anak menulis di tanah karena sekolah tak punya papan tulis. Di mana letak “keadilan sosial” ketika hutan yang dirampas dari masyarakat adat justru menjadi aset yang mendongkrak saham di Bursa Efek?

Ekologi yang Merintih: Ketika Bumi Menjadi Saksi Bisu

Alam tak pernah berbohong. Sungai yang tercemar limbah sawit adalah tangisan yang tak terdengar. Udara yang dipenuhi asap kebakaran lahan adalah jeritan yang diabaikan. Konglomerat mungkin bisa membeli sertifikat hijau (green certification), tapi mereka tak bisa membeli pengampunan dari bumi yang terluka.

Di balik jargon sustainable development yang terjadi adalah sustainable exploitationsebuah siklus kekerasan yang dikemas dalam bahasa diplomasi.

“Kami menanam untuk masa depan,” klaim mereka, tapi pohon sawit yang monokultur adalah kuburan bagi biodiversitas. Lebih dari 12,4 juta hektar HGU sawit telah mengubah hutan primer menjadi padang monokultur yang bisu.

Lebah madu tak lagi berdengung, harimau Sumatera menjadi hantu yang berkeliaran, dan tanah kehilangan jiwa kesuburannya. Di mana masa depan yang mereka janjikan? Masa depan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki saham, sementara petani kecil terpaksa menjual ginjal untuk bertahan hidup?

Sejarah yang Berulang: Kolonialisme Berwajah Baru

Jika dulu penjajah datang dengan senjata dan bendera, kini mereka datang dengan nota kesepahaman dan sertifikat HGU. Tak ada bedanya: keduanya adalah pengambilan paksa  yang dilegalisasi.

VOC abad ke-17 dan konglomerat abad ke-21 sama-sama haus akan rempah—bedanya, rempah masa kini bernama CPO, nikel, dan batubara. Lalu, ketika kita memperingati Hari Kemerdekaan, apa makna kemerdekaan jika kedaulatan atas tanah-air justru direbut oleh oligarki?

“Ini adalah investasi,” bual mereka, tapi investasi macam apa yang mengorbankan nyawa? Di Papua, gunung-gunung dikeruk untuk emas, di Sulawesi, laut dikosongkan untuk tambang nikel—semua untuk memuaskan nafsu pasar global.

Konglomerat menjadi proxy neoimperialisme, sambil berkata, “Kami memodernisasi negeri,” padahal yang mereka modernisasi hanyalah cara mengeksploitasi sumberdaya alam pemberian Ilahi Robbi.

Sebuah Pilihan: Mengubur Ilusi atau Menanam Harapan

Di ujung kegelapan ini, kita dihadapkan pada pilihan: terus memuja berhala bernama pertumbuhan ekonomi, atau merajut kembali mimpi tentang keadilan. Bukan pertumbuhan yang diukur dari indeks saham, melainkan kemakmuran yang dirasakan oleh nelayan yang masih bisa melaut, oleh petani yang masih memiliki tanah, oleh anak-anak yang masih bisa menghirup udara tanpa asap.

Perlawanan sudah dimulai: di banyak daerah, masyarakat adat menggugat HGU yang merampas tanah leluhur. Di Jawa, petani mengubah lahan tandus menjadi kebun pangan mandiri. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa, yang menolak menjadi pelengkap dalam narasi keserakahan.

Pada hari kelahiran Pancasila 1 Juni sebentar lagi, semoga Pasal 33 dan 34 UUD ‘45 menjadi pemicu dan pemacu perubahan mendasar pembangunan nasional, demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mendatang.

***

Judul: Dari Kekayaan Tanah Air Menjadi Kekayaan Konglomerat, Terpujilah Dia?
Penulis: Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *