MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Minggu (06/07/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Catat : Indonesia Belum Pernah Swasembada Pangan!” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Para pejabat di negeri ini terkadang keliru mengambil sebuah kesimpulan. Kita pernah mendengar dalam sebuah acara Seminar Pembangunan Pangan, ada pejabat yang menyimpulkan Indonesia pernah meraih swasembada pangan tahun 1984 lalu. Hal yang sama, sempat pula diucapkan seorang pejabat yang tengah memberi sambutan dalam sebuah acara Rapat Kerja.

Penting dicatat, tahun 1984 itu, bukan swasembada pangan yang diraih oleh bangsa Indonesia, tapi swasembada beras. Pangan beda dengan beras. Berdasarkan pengertian Pangan seperti yang tersurat dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan, yang namanya beras hanya satu jenis bahan pangan yang ada di negara kita. Masih banyak jenis bahan pangan lain seperti jagung, kedelai, daging, gula, ikan, bawang putih dan lain sebagainya lagi.
Sampai saat ini pun, setelah 79 tahun Indonesia merdeka, bangsa ini belum pernah sekalipun meraih swasembada pangan. Indonesia baru mampu menggapai swasembada beras. Itu pun sifatnya “on trend”. Kadang swasembada, kadang juga tidak, tergantung beragam banyak faktor. Yang kita harapkan sebetulnya swasembada beras permanen alias berkelanjutan.
Dalam pembangunan pangan dikenal ada empat madhab, yakni swasembada pangan, ketahanan pangan, kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. Swasembada pangan merupakan syarat mutlak terwujudnya ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan. Artinya, tanpa terwujud swasembada pangan, tidak akan tercapai ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan yang diimpikan.
Itu sebabnya, menjadi sangat masuk akal jika Presiden Prabowo telah memposisikan pencapaian swasembada pangan, sebagai salah sstu program prioritas, yang sesegera mungkin perlu diraih. Swasembada pangan menjadi landasan untuk terjelmanya ketersediaan psngan yang handal, khususnya yang dihasilkan oleh petani di dalam negeri.
Kalau Presiden Prabowo berkomitmen untuk mewujudkan swasembada pangan tahun 2027, maka hal ini merupakan tekad yang patut didukung sepenuh hati, sekalipun cita-cita mencapai swasembada pangan dalam tiga tahun ke depan, sama saja dengan langkah mengecat langit. Lain cerita, bila kita fokus ingin mencapai swasembada beras.
Swasembada pangan sendiri, secara matematik dapat diartikan sebagai perjumlahan dari swasembada-swasembada bahan pangan seperti swasembada beras, swasembada jagung, swasembada kedelai, swasembada daging sapi, swasembada gula pasid, swasembada bawang putih dan lain sebagainya. Data menunjukkan bahan pangan yang disrlebutkan diatas, sampai sekarang semuanya masih diimpor untuk mencukupi kebutuhannya.
Mencernati suasana yang ada, untuk mewujudkan ke enam komoditas pangan strategis diatas mencapai swasembada, kelihatannya masih membutuhkan waktu panjang dan butuh perjuangan yang lebih keras lagi. Untuk meraihnya, tidak cukup hanya dengan menyampaikan lewat bahasa politik, tapi yang lebih dimintakan adalah bahasa realitasnya di lapangan.
Beberapa pengamat pertanian malah sering berpendapat, jangankan meraih swasembada pangan, dalam situasi dan kondisi kekinian, keinginan untuk mencapai swasembada beras pun bukan lagi hal yang mudah dicapai. Kita akan cukup kesulitan untuk menghadapi iklim dan cuaca ekstrim yang umumnya kurang berpihak terhadap sektor pertanian.
Pengalaman, betapa tidak berdayanya Pemerintah menghadapi sergapan El Nino di akhir tahun 2023 lalu, sehingga produksi beras mengalami penurunan dengan angka cukup signifikan, membiktikan belum siapnya Pemerintah menjawab serbuan anomali iklim. Belum lagi, jika kita ke depan, kita harus menghadapi serbuan La Nina yang sinyalnya telah muncul di berbagai daerah.
Menjawab sergapan iklim ekstrim seperti El Nino dan La Nina, sangat membutuhkan adanya penanganan yang sistemik dari segenap komponen bangsa. Pendekatan yang ditempuh, tidak boleh lagi terpaku hanya pada pola sebagai “pemadam kebakaran”. Namun, sudah sepatutnya digunakan pendekatan yang sifatnya “deteksi dini” (early warning system).
El Nino dan La Nina, pada dasarnya merupakan gejala alam raya yang cukup sulit, untuk dijawab dengan tuntas. Kita sendiri hanya mampu memprediksi tanpa ada kepastian dalam mencarikan jalan keluarnya. Iklim ekstrim adalah masalah serius pembangunan pertanian saat ini, yang upaya pemecahannya, memerlukan kerja sama optimal dari segenap komponen bangsa.
Lalu, bagaimana dengan swasembada kedelai ? Apakah dalam waktu tiga tahun ke depan, kita akan mampu mewujudkannya ? Ah, rasanya juga tidak. Swasembada kedelai, pasti akan lebih susah diraih, ketimbang pencapaian swasembada beras. Begitu pun dengan daging sapi. Hanya orang yang doyan mimpi di siang bolong saja, akan merasa optimis, dalam tiga tahun ke depan akan mampu menggapainya.
Tak kalah susahnya, ketika kita ingin mewujudkan swasembada gula pasir dan bawang putih. Pengalaman menunjukkan, telah bertahun-tahun kita ingin mewujudkannya, namun seiring dengan perjalanan waktu, belum juga mampu menggapainya. Artinya, mungkin hanya omon-omon saja, jika ada yang merasa optimis, dalam tiga tahun ke depan akan meraihnya.
Kalau gambarannya demikian, kapan Indonesia akan mencapai swasembada pangan ? Jawaban inilah sebetulnya yang paling kita butuhkan. Jawabannya tentu harus dilandasi oleh hati yang jujur dan penuh rasa tanggungjawab. Jawabannya, perlu didesain sedemikisn rupa, sehingga secara teknokratik, aspiratif/partisipatif, top down-bottom up dan politis, dapat dipertanggungjawabkan. Yang pasti, hingga kini kita belum pernah mencapai swasembada pangan.
***
Judul: Catat : Indonesia Belum Pernah Swasembada Pangan!
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi