MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Minggu (11/05/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Beungeut Nyanghareup, Ati Mungkir” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
“Beungeut nyanghareup, ati mungkir” adalah peribahasa Sunda yang mengandung makna melakukan sesuatu secara terpaksa, karena tidak sesuai dengan keinginan batin. Makna dari peribahasa ini adalah seseorang yang memiliki wajah yang ceria atau tersenyum, namun di dalam hatinya sedang sedih atau mengalami kesulitan.

Peribahasa ini menggambarkan adanya perbedaan antara penampilan luar dan perasaan yang sebenarnya dialami oleh seseorang. Peribahasa “beungeut nyanghareup ati mungkir” menggambarkan seseorang yang memiliki penampilan luar yang baik, seperti wajah yang ceria atau ramah, namun di dalam hatinya memiliki niat atau perasaan yang tidak baik, seperti kemunafikan atau ketidakjujuran.
Ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara penampilan luar dan keadaan hati yang sebenarnya. Sikap dan tindakan seperti ini, rupanya sudah sejak lama membudaya dalam kehidupan bangsa. Nurani terdalam seseorang tidak bisa diukur hanya dengan melihat tampilan luar nya saja. Inilah salah satu ciri dari bangsa yang hipokrit.
Perilaku “Beungeut nyanghareup ati mungkir” atau penampilan luar yang baik namun hati yang tidak baik dapat terjadi karena beberapa alasan. Pertama ketidakjujuran. Seseorang mungkin tidak jujur tentang perasaan atau niatnya yang sebenarnya. Kedua,
ada kepentingan pribadi. Seseorang mungkin ingin mencapai tujuan atau kepentingan pribadi dengan cara menyembunyikan perasaan atau niat sebenarnya.
Ketiga, takut akan penilaian orang lain. Seseorang mungkin takut akan penilaian atau reaksi orang lain jika menunjukkan perasaan atau niat sebenarnya. Kewmpat, kurangnya integritas Seseorang mungkin tidak memiliki integritas atau kejujuran dalam berinteraksi dengan orang lain. Perilaku ini dapat merusak hubungan dan kepercayaan dengan orang lain.
Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, sering kita saksikan adanya perilaku anak bangsa yang menampilkan sikap dan tindakan ‘beungeut nyanghareup, ati mungkir’. Dihadapan tampak seperti yang aman-aman saja, namun dibelakang sering melakukan umpatan-umpatan. Perilaku semacam ini, banyak kita jumpai dalam dunia birokrasi di negeri ini.
Pengalaman ini pernah terjadi di salah satu Pemerintah Daerah di Jawa Barat. Setelah upacara pelantikan Pejabat Tinggi Pratama ada seorang Eselon 2 yang datang menghadap Bupati. Dengan langkah tegap, dirinya berjalan menuju Bupati yang tengah santai. Semua tahu, sang eselon 2 kecewa berat, karena dirinya tidak termasuk ke dalam jajaran pejabat yang dilantik oleh Bupatinya.
Pertanyaannya, mengapa dirinya tidak dilantik, padahal dari sisi jam terbang mengabdi sebagai ASN dirinya sudah pantas memegang posisi sebagai pejabat eselon 2 yang senior. Selidik punya selidik, ternyata salah satu penyebab kegagalan dirinya ikut dilantik, karena ada kelemahan dalam perilaku kesehariannya, yang sering tidak loyal kepada atasan langsungnya.
Itu sebabnya, tidak menutup kemungkinan ketika dirinya menghadap Bupati dinilai rekan-rekannya sebagai sikap beungeut nyanghareup ati mungkir. Tampilan fisiknya memang keren, tapi hati terdalamnya benar-benar kecewa. Sikap seperti ini, banyak dialami para ASN di banyak daerah, yang merasa kecewa karena kebijakan Kepala Daerahnya.
Lebih seru lagi, jika ada pejabat tinggi pratama yang ‘susulumputan’ (tidak terang-terangan) menjadi salah seorang tim sukses dalam pemilihan Kepala Daerah. Sayang, nasib rupanya tidak berpihak kepada dirinya. Calon Kepala Daerah yang dijagokannya ternyata kalah telak oleh calon lainnya. Akibatnya, selama 5 tahun terpaksa harus menahan diri, jika dirinya ingin tampil menjadi Kepala Dinas atau jabatan Eselon 2 lainnya.
Menyikapi orang dengan sikap “beungeut nyanghareup ati mungkir” atau penampilan luar yang baik namun hati yang tidak baik dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain, pertama waspada. Berhati-hatilah dalam berinteraksi dengan orang tersebut dan jangan terlalu percaya pada penampilan luarnya.
Kedua, observasi. Perhatikan tindakan dan perilaku orang tersebut dalam berbagai situasi untuk memahami niat sebenarnya. Ketiga, jaga jarak. Sebaiknya jaga jarak yang sehat dalam hubungan dengan orang tersebut untuk menghindari kerugian atau kecewa. Keempat, komunikasi efektif. Jika perlu, lakukan komunikasi yang efektif dan terbuka untuk memahami kebutuhan dan keinginan orang tersebut.
Kelima, prioritaskan kepentingan dan kebutuhan diri sendiri dalam berinteraksi dengan orang tersebut. Jangan sampai terpancing atau tergoda untuk mengikuti jalan pikirannya. Dengan menyikapi orang tersebut dengan bijak, diharapkan kita dapat melindungi diri sendiri dari potensi kerugian atau kecewa.
“Beungeut nyanghareup, ati mungkir”, bukanlah perilaku yang patut untuk dibanggakan oleh seseorang. Sikap seperti ini menunjukan jiwa hipokrit seseorang yang terlihat dari perilaku kesehariannya. Itu sebabnya, menjadi sangat penting untuk warga bangsa, bila kita mampu menendang jauh-jauh sikap yang tidak senafas dengan cita-cita pembangunan ini.
Semoga jadi bahan perenungan kita bersama.
***
Judul: Beungeut Nyanghareup, Ati Mungkir
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi