Membebaskan Bulog dari BUMN

Artikel ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

Kantor Perum Bulog
Ilustrasi: Kantor Pusat Perum Bulog - (Sumber: Indoplace.com)

MajmusSunda News, Senin (09/12/2024) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Membebaskan Bulog dari BUMN” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Harian DDP HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Tekad Presiden Prabowo “membebaskan” Bulog dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kini tinggal menunggu waktu. Menurut Menteri Koordinator bidang Pangan, Zulkifli Hasan, pemerintah saat ini sedang merampungkan aturan perundang-undangannya yang tepat, apakah akan ditetapkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) atau regulasi lain.

Kemauan politik untuk mengembalikan Bulog ke masa lalu, sudah final dibahas dalam rapat terbatas, dipimpin langsung oleh Presiden. Catatan kritisnya adalah mengapa Presiden Prabowo ingin menjadikan Bulog sebagai lembaga otonom pemerintah langsung di bawah Presiden dan melepaskan status dari perusahaan plat merah?

Ir. Entang Sastraatmadja
Ir. Entang Sastraatmadja, penulis – (Sumber: tabloidsinartani.com)

Beberapa alasan yang sering disampaikan karena pemerintah mengharapkan Bulog untuk dapat fokus mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan, utamanya beras, dalam tiga tahun mendatang. Bulog perlu memerankan diri sebagai penjaga stabilisasi harga dan pasokan pangan. Selain itu, kedekatan Bulog dengan petani semakin dipertegas.

Sebetulnya cukup menarik untuk dibahas persoalan, mengapa Bulog harus terbebas statusnya dari BUMN? Apakah selama 21 tahun Bulog menjadi BUMN dalam wujud Perusahaan Umum (Perum) tidak memperlihatan kinerja yang diharapkan? Atau ada pertimbangan lain yang membuat Bulog kembali ke “purwadaksi” dan sejarah kelahirannya?

Sebagai BUMN, Bulog memiliki peran dan fungsi ganda yang harus dilaksanakan secara berbarengan. Kedua peran tersebut, tidak ada yang diutamakan. Bahkan, mestinya peran bisnis dan peran sosial yang diemban Perum Bulog, sepatutnya saling menopang sehingga mampu memberi hasil terbaik dalam melakoni kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Jujur disadari, Perum Bulog bukanlah pemain bisnis pangan yang handal dan piawai. Bulog sangat kesusahan untuk bersaing dengan kalangan dunia usaha swasta besar. Selama 21 tahun berjalan, hampir tidak pernah mendengar ada bisnis Bulog yang jempolan, terkecuali beras. Setiap mencoba bisnis baru, Bulog kerap kali mengalami kegagalan.

Tidak hanya itu. Hasrat untuk menampilkan Bulog menjadi “raksasa bisnis pangan” di kancah internasional pun, sepertinya masih sangat sulit untuk diwujudkan. Harapan ini terkesan seperti mengecat langit dan belum menapak bumi. Tentu banyak alasan yang dapat diutarakan, mengapa Bulog tidak mampu melakoni peran bisnisnya secara optimal?

Salah satu alasan yang muncul di tengah kehidupan adalah adanya “mental blocking” para pegawai Bulog itu sendiri. Mereka sudah terbiasa sebagai amtenar. Banyak dari mereka yang memilih untuk dilayani ketimbang melayani, padahal dalam menjalankan peran bisnis BUMN sekelas Bulog, dibutuhkan karakter pengusaha yang kuat dan berjiwa profesional dalam menjalankan roda bisnisnya.

Akibatnya wajar, sekalipun di awal-awal penetapannya sebagai BUMN, Perum Bulog banyak “mengontrak” para tenaga profesional dari kalangan swasta, ternyata dalam perkembangannya, tidak mampu juga menjadikan Bulog ke arah yang diinginkannya. Bahkan yang memilukan ada petinggi Perum Bulog yang harus berhadapan dengan aparat penegak hukum dan berakhir di hotel prodeo.

Justru yang lebih menonjol dalam penampilan Bulog selama 21 tahun ini adalah peran sosialnya (social responsibility). Perum Bulog sangat piawai dalam menhalankan penugasan pemerintah seperti misalnya dalam menggarap program bantuan langsung beras kepada 22 juta rumah tangga penerima manfaat atau ketika Bulog ditugaskan menyelenggarakan impor beras sekitar 5 juta ton.

Untuk itu menjadi masuk akal, bila Presiden Prabowo mengambil prakarsa untuk membebaskan Bulog dari statusnya selaku BUMN. Presiden ingin agar Bulog betul-betul fokus memainkan peran sebagai lembaga pangan yang melaksanakan penugasan-penugasan strategis dari negara. Bulog jangan lagi dituntut untuk mengejar keuntungan.

Menuju swasembada pangan, utamanya beras, kita memang memiliki waktu yang “samporet” alias pendek. Presiden Prabowo berkehendak agar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya bangsa ini mampu meraih swasembada pangan. Bahkan, ketika mengikuti pertemuan G-20 di Brazil, Presiden Prabowo minta agar pada tahun 2027, kita sudah mampu mrncapai swasembada pangan, utamanya beras.

Di sisi lain, banyak pula usulan agar swasembada pangan yang dicapai, bukan hanya meningkatkan produksi dan produktivitas sehingga beras yang dihasilkan sangat melimpah, tetapi yang lebih diharapkan, seiring dengan peningkatan produksi pangan maka tingkat kesejahteraan petaninya pun menjadi semakin membaik. Petani mampu hidup sejahtera dan bahagia.

Membebaskan Bulog dari status perusahaan plat merah, mestinya sudah kita lakukan sejak lama. Harapan masyarakat terhadap Bulog, benar-benar sangat tinggi. Sebagai lembaga parastatal, harusnya Bulog dapat berkiprah lebih nyata, khususnya dalam melindungi petani dari perlakuan oknum tertentu yang gandrung meminggirkan. Bahkan, memarginalkan petani dari panggung pembangunan.

Dengan terbebasnya Bulog dari status BUMN, kita berharap semoga Bulog ke depan akan benar-benar tampil sebagai lembaga pangan yang mampu mempercepat tercapainya swasembada pangan sekaligus juga ikut andil dalam menyesejahterakan para petaninya.

***

Judul: Membebaskan Bulog dari BUMN
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *