MajmusSunda News – Kota Bandung Jawa Barat, Minggu (13/10/2023) – Musyawarah 1 di Gedung Unpad 2/ Lt 4, telah menghasilkan 5 tuntunan kepada pemerintahan baru Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming yang akan dilantik beberapa hari lagi.
Dibacakan oleh salah Pinisepuh Pamangku Sunda dari 13 orang Presidium pinisepuh MMS Prof Dr Ganjar Kurnia DEA mengatakan MMS adalah kaukus inisiatif Masyarakat Sunda di Provinsi Jawa Barat, Banten, dan Daerah Khusus Jakarta, Sunda Pangumbaraan dan Diaspora Sunda dipersatukan oleh komitmen bersama untuk membangun rumah kebangsaan Indonesia dengan memperkuat kaki-kakinya (sukunya).
Visi Majelis Masyarakat Sunda kata Prof Ganjar, yaitu Sunda Mulia Nusantara Jaya merupakan hasil refleksi dari cita-cita dua tokoh nasional sunda yaitu Oto Iskandar di Nata dan Ir. H. Djuanda Kartawijaya
Ia menyatakan bahwa dalam Kebhinekaan Indonesia, Suku Bangsa Sunda menginginkan menjadi Suku Bangsa Mulia (yang menghargai dirinya dan dihargai suku suku bangsa lainnya) dan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sehingga mengalami kejayaan yang panjang.
Masyarakat Sunda memandang tutur Prof Ganjar, bahwa pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila tak bisa berkembang dan dikembangkan dengan cara yang tercerabut dari akar kerakyatan yang tumbuh di bumi kesukuan dan kedaerahan dengan segala asal-usul kesejarahan, kekhasan sosial-budaya, potensi sumber daya, dan karakteristik ruang hidupnya. Cerlang budaya sebagai hasil interaksi antarelemen asal-usul kesukuan dan kedaerahan yang mensejarah itu ibarat anggur tua dalam botol baru negara-bangsa Indonesia yang terlalu berharga untuk ditelantarkan.
“Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), baik versi asli maupun hasil perubahan, secara terang menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan budaya, termasuk bahasa daerah, serta mengakui puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai penopang kebudayaan nasional,”
Sedangkan . Pasal 18 UUD 1945 juga imbuh Prof Ganjar menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, dan Pasal 18 UUD 1945 Amandemen memperjelas tentang bahwa Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai hak Otonomi untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai Perundang-undangan.
Dengan ketentuan bahwa usaha kebudayaan dan pengembangan adat kedaerahan, itu harus sesuai dengan prinsip negara kesatuan Indonesia dan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Membangun negara-bangsa Indonesia yang begitu luas wilayahnya, serta banyak dan majemuk penduduknya, tidaklah tepat jika dikelola dengan cara sentralistik dengan dominasi segundukan kecil penguasa, golongan dan daerah tertentu,
Kritik terhadap sentralisme ini sering dibahasakan beberapa tokoh Sunda : “Indonesia bukan (hanya) Jakarta”, apalagi Jakarta secara sosiologis dan historis adalah Wilayah yang diberikan urang sunda untuk mengelola persatuan dan kesatuan nasional yang berkeadilan (justly governed). Pembangunan nasional harus dikembangkan sebagai usaha persemakmuran bersama dengan semangat gotong-royong, yang melibatkan partisipasi seluruh rakyat, golongan dan daerah secara inklusif.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah harus dimaknai sebagai cara membangun Indonesia dengan memperkuat kaki-kaki partisipasi dan kapasitas daerah, mendekatkan pelayanan publik pada akar rumput di daerah, serta mencegah pemusatan pembangunan di wilayah tertentu.
Membangun daerah-daerah di Indonesia secara inklusif menghendaki kesetaraan dan keadilan; berat sama dipikul, ringan sama dijingjing; tidak membiarkan pembangunan suatu daerah harus dibayar dengan merusak dan memarjinalkan daerah lain. Pembangunan Nasional yang memarjinalkan penduduk local (pribumi) adalah hal yang haram dilakukan dalam rancang bangun perencanaan dan pelaksanaan Pembangunan.
Dalam Musyawarah Majelis Musyawarah Sunda I (pertama) selain kami menuntaskan masalah internal keorganisasian, kami Pinisepuh, Dewan Pakar, dan Badan Pekerja Majelis Musyawarah Sunda setelah melalui Diskusi Para Pakar, Musyawarah Pinisepuh dan Presidium Pinisepuh menyatakan pernyataan publik untuk menjadi panduan kepada masyarakat Sunda dan masukan serta tuntutan kepada Pemerintahan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam kaitan “Sunda, Sarakan, jeung Nagara (Sunda kepada Tanah Airnya dan Kepada Negaranya) mengenai beberapa masalah yang terangkum dalam 5 masukan dan tuntutan MMS sebagai berikut :
1.Majelis Musyawarah Sunda mendorong agar Pemilu Daerah Serentak Secara Langsung (Pilkadal) terutama di Tatar Sunda (Jawa Barat, Banten dan Daerah Khusus Jakarta) dapat menjadi Pilkada Serentak 2024 yang berkualitas, bermartabat dan berintegritas (demokrasi substantif) yang diharapkan menghasilkan kepemimpinan wilayah dan daerah terbaik yang nantinya dapat membangun wilayah dan daerah Tatar Sunda yang besar potensi dan
masalahnya, menjadi wilayah yang “Gemah Ripah, Repeh, Rapih”, Beriman Bertaqwa” dan “Berjaya”. Rancang bangun Perencanaan dan Pelaksanaan pembangunan yang terencana baik secara teknokratik dan partisipatif tercermin mulai dari desain Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJPMD) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), semuanya harus sudah mencerminkan tolok tolok ukur yang berlaku nasional dan global serta berkearifan local.
2.Dalam rangka menyongsong Kepemimpinan Baru Pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan dilantik 20 Oktober 2024, dimana realitasnya berada dalam situasi nasional dan global yang berat menantang, kami Masyarakat Tatar Sunda menghimbau agar jadilah Pemerintahan Yang Berani dan Berkeadilan, karena Adil dekat dengan Taqwa, hanya dengan Keberanian dan Keadilan maka masalah-masalah bangsa yang ditinggalkan pemerintah-pemerintah sebelumnya, fondasi pemecahan masalahnya dapat dibangun seperti Pemberantasan Korupsi yang berkepastian hukum, proposional dan menegakkan kepentingan nasional; Pengelolaan Keuangan Negara yang tidak bertata Kelola baik, Pembangunan yang hanya menguntungkan kelompok oligarki politik dan ekonomi, Penguasaan Tanah, Air dan Kekayaan Alam yang dikuasai 1 persen orang-orang berkuasa, Gejolak Sosial dan Permasalah Lingkungan Hidup yang semakin terdegradasi.
3.Provinsi Jawa Barat dan Banten sampai saat ini belum mendapatkan keadilan dalam masalah Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang sekarang ini Perundang-undangannya menjadi Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, karena sistem perhitungan Undang-undang Keuangan tersebut tidak menghitung berapa sebenarnya jumlah yang diberikan oleh Provinsi Jawa Barat dan Banten, akibatnya anggaran Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil dan lain-lain yang diterima Jawa Barat dan Banten lebih kecil dari Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara apalagi dengan Daerah Khusus Jakarta. Sistem Perpajakan yang mana industri dengan semua permasalahannya berada di Provinsi Jawa Barat dan Banten tetapi Pajaknya dimiliki oleh Jakarta dan Pusat, telah menimbulkan ketimpangan terhadap beban penduduk, lingkungan dan masalah sosialnya yang berat bagi Jawa Barat dan Banten. Majelis Musyawarah Sunda meminta percepatan persetujuan pemekaran daerah baik secara nasional maupun parsial untuk Kabupaten/Kota untuk Provinsi Jawa Barat (10 Kabupaten/Kota) dan Banten untuk mempercepat keadilan pembagian keuangan dari peraturan perundang-undangan yang ada. Undang-undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah harus dikaji kembali secara komprehensif sehingga memberikan rasa keadilan bagi seluruh daerah-daerah di Indonesia, karena keadilan perimbangan keuangan pusat daerah adalah perekat utama bagi Persatuan dan Kesatuan Nasional secara rasional.
4.Pembangunan Nasional dan Regional di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten dan Daerah Khusus Jakarta yang selama ini jauh dari prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan yang mengelola lingkungan hidup sebagai kewajiban utama manusia sebagai khalifah fil ards, maka untuk memitigasi kerusakan yang lebih jauh yang berakibat bencana alam dan bencana kemanusiaan bagi generasi mendatang kami meminta Pemerintah Pusat untuk segera menangani secara serius penataan dataran tinggi Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur), Tanam Nasional Pangarango, Gede, Salak, Kawasan Bandung Utara dan Bandung Selatan, Taman-Taman Nasional serta Gunung-Gunung di Jawa Barat dan Banten lainnya yang merupakan daerah tangkapan air (catchmen area) dan mata air kehidupan (sumber air) untuk Provinsi Jakarta, Jawa Barat dan Banten serta mencegah Banjir di Jakarta dan Pantura bukan dengan tetap menjadikannya pusat eksploitasi bagi para kapitalis penguasa tanah dengan konsep Kawasan Aglomerasi.
Majelis Musyawarah Sunda menuntut dibuatnya peraturan perundang-undangan yang partisipatif dan komprehensif, karena menurut kearifan local Sunda jelas menyatakan “Gunung teu menang dilebur, Lebak teu menang diruksak; pendek teu menang disambung; lojong teu menang dipotong, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun” (Gunung tidak boleh dihancurkan, lebak tidak boleh dirusak, pendek tidak boleh disambung, panjang tidak boleh dipotong, yang bukan harus dikatakan bukan (lain), yang tidak boleh dikatakan tidak boleh, yang seharusnya harus dikatakan seharusnya).
5. Majelis Musyawarah Sunda secara tegas menolak Undang-undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta BAB IX : Kawasan Aglomerasi Pasal 51-60, yang mencakup minimal wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur,
Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kota Bekasi.
Undang-undang Provinsi Daerah Khusus Jakarta disusun secara tergesagesa, dimana urang sunda tidak pernah dipertimbangkan untuk mendapatkan penjelasan yang memadai, diajak berpartisipasi secara demokratis, dan dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab.
Kebijakan Kawasan Aglomerasi bertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945 dimana daerah-daerah otonom yang berada di Tatar Sunda (Jawa Barat, Banten, Jakarta) tidak lagi berhak merencanakan pembangunan wilayah/daerahnya sesuai dengan karakter wilayah serta budayanya, melainkan ditentukan oleh Pemerintah Pusat.
Demi Kesatuan dan Persatuan bangsa, kami menuntut agar Pemerintah Pusat pada masa Pemerintahan Prabowo Gibran 2024-2029, mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang untuk membatalkan Undang-undang berkait dengan. Kebijakan Kawasan Aglomerasi tersebut.
Demikian Pernyataan Publik ini disampaikan kepada masyarakat Jawa Barat, Banten, Daerah Khusus Jakarta sebagai tanggung jawab moral dan intelektual kami dari Majelis
Musyawarah Sunda. Pakena Gawe Rahayu, Pakena Kerta Bener,Pakeun Tanjer Na Juritan, Pakena Gawe Rahayu Pakeun Heubeul Jaya di Buana. Atas Nama Pinisepuh Majelis Musyawarah Sunda Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, D.EA, Laksamana TNI (Purn) Dr. Ade Supandi, SE, M.AP, Dindin S. Maolani, SH, Irjen Pol (Purn) Taufiequrahman Ruki, SH
Judul: 5 Tuntutan MMS Hasil Musyawarah 1, Salah Satunya Tegas Menolak UU Nomor 2 Tahun 2024 Tentang DKJ
Jurnalis: Agung Ilham Setiadi
Editor: AIS