Mieling Sang Kalangider (Mengingat Lahirnya Kalender Sunda)

Penulis: Ambu Rita Laraswati (Budayawati, Spritualis, Pelukis)

Abah Ali Sastramidjaja

MajmusSunda News, Bandung, Senin (27/10/2025) – Sebuah tulisan karya Ambu Rita Laraswati (Budayawati, Spritualis, Pelukis), berjudul Mieling Sang Kalangider (Mengingat Lahirnya Kalender Sunda).

“WAKTU BERJALAN SEJARAH BERLALU”
NAMUN BAGAIMANA JIKA ADA JEJAK WAKTU YANG TAK PERNAH HILANG, MELAINKAN HANYA OLEH TERTIMBUN ZAMAN. INILAH KISAH SEORANG PENJAGA WAKTU “SANG KALANGIDER” YANG SABAR MEMBERSIHKAN DEBU DI ATAS CERMIN SEJARAH, AGAR KITA BISA MELIHAT REFLEKSI DIRI KITA DI DALAMNYA.

Abah Ali Sastramidjaja, seorang tokoh Sunda yang menghasilkan karya besar dalam perhitungan waktu yaitu kala Sunda. Bernama Ali Sastramidjaja, lahir tanggal 27 Oktober 1935 Masehi, dan menghembuskan nafas terakhir tanggal 25 September 2009 Masehi. Perjalan waktu 74 tahun Abah Ali Sastramidjaja menerima hidup dari yang Maha Cipta dan di sisa umur karya besar lahir dari perjuangan tekatnya dan karya itu adalah pengetahuan waktu berupa kekuatan kehidupan alam semesta “Kala Sunda“.

Dari tahun lima puluhan kakek Abah Ali Sastramidjaja sudah memberi pelajaran tentang penanggalan Sunda, tapi perhatian terhadap pengetahuan penanggalan Sunda tidak terlalu di perhatikan, namun Abah Ali Sastramidjaja ingat bahwa ada tiga kala Sunda yaitu Kala Surya yang berdasar dari Matahari, Kala Candra yang berdasar dari Bulan, dan Kala Sukra yang berdasarkan dari Bintang.

Selama ini kita tidak memperhatikan ilmu Kala Sunda dalam perhitungan, kita hanya bisa memakai saja bahwa kalender di jadikan waktu untuk mengawali suatu kegiatan atau peristiwa. Karena banyak anak cucu orang Sunda yang tidak tahu dalam masalah perhitungan penanggalan Sunda sedangkan Kala Sunda merupakan bagian dari budaya Sunda hasil cipta, karya, rasa para nenek moyang orang Sunda yang saat itu pengetahuan berfikir dan menganalisa sudah memiliki tingkat keluhuran yang agung artinya pengetahuan ilmu Astronomi sudah sangat baik. Dari rasa peduli terhadap kearipan lokal budaya Sunda Abah Ali Sastramidjaja bergerak untuk menyusun Kala Sunda untuk dapat di ketahui dan tercatat sebagai warisan leluhur Sunda. Harapan kelak Kala Sunda dapat menjadi pelekat hidup manusia dalam menapak kehidupan di bumi sebagai perhitungan waktu yang dapat selaras pada perjalan alam mahluk semesta raya.

“Waktu berjalan, sejarah berlalu. Namun, bagaimana jika ada jejak waktu yang tak pernah sepenuhnya hilang, melainkan hanya tertimbun oleh laju zaman? Inilah kisah seorang penjaga waktu ‘Sang Kalangider’, yang sabar membersihkan debu di atas cermin sejarah, agar kita bisa melihat refleksi diri kita di dalamnya.” (Abah Ali Sastramidjaja )

Awal penanggalan yang di pakai di tatar Sunda adalah Kala Sunda sesudah Mataram berkuasa di ganti dengan Kala Mataram yang disebut Kala Jawa Islam berbarengan dengan Kala Hijriah. Sedangkan zaman penjajahan Belanda, orang Belanda memakai Kalender Masehi, sampai Indonesia merdeka dan sampai hari ini kalender yang di pakai adalah Masehi. Setelah Indonesia merdeka artinya kita mengunakan perhitungkan waktu adalah peninggalan Belanda. Yang menjadi pertanyaan besar buat saya sebagai penulis, apakah kontras, selaras, nyurup pada kehidupan tanah air kita, bangsa kita dan kehidupan sehari hari kita dalam menjalani kehidupan dengan waktu dari perhitungan dari bangsa lain. Kedudukan orang Sunda di kancah kepemimpinan hilang, budaya luhur Sunda tidak menjadi dasar moral dan adab, apakah ada kesalahan dalam kita bergerak dalam pengunaan waktu?

Mengapa Kalender Sunda hilang dari kehidupan orang Sunda?
Sejak Kala Jawa dan Kala Hijrah ada dan saat itu Mataram berkuasa yang menjadi dasar penggalan waktu di tentukan adalah Kala Jawa dan Hijriah dan Kala Sunda tidak ada yang melestarikan. Namun Serpihan dan jejak sejarah Kala Sunda tetap ada yang orang Sunda menyebutnya “Tutungkusannana ngeunaan pananggalan Sunda “masih tersimpan dan jejak waktu itu hanya tertimbun oleh robahnya zaman dan hilangnya kesadaran anak cucu Sunda.

Secara filosofis Kalender Sunda yang di teliti oleh Abah Ali Sastramidjaja merupakan sistim pengetahuan ekologis yang berpijak pada kesadaran kosmik dan siklus alam. Waktu bukan sekedar alat ukur kronologis melainkan hubungan antara manusia, alam, dan kekuatan adikodrati. Sistim penanggalan mencerminkan cara masyarakat memahami kosmos dan spiritualis. Kalender Sunda menempati posisi yang unik karena berpijak kepada kesadaran ekologis dan harmoni dengan alam.

Kalender Sunda di dasarkan pada prinsip Tri Tangtu di Buana yaitu harmoni antara dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Dalam Cerita Parahyangan raja Sunda akan di sebut ideal bila ia ” Ngaraksa waktu, Taneuh, jeung Rahayatna”. Dalam Sanghyang Siksa Kandang Keresian (1518m) “Waktu nu leres, jaga waktu, ulah salah nalika tanam, nalika tapa, nalika nyeupeng rasa” artinya waktu itu benar, jaga waktu, jangan salah waktu menanam, waktu tapa dan memegang rasa.

Serpihan ini di untai kembali oleh Sang Kalangider, pada tahun 1990 Masehi Kala Sunda ” Ngagorehel deui” artinya keluar kembali yang saat ini memiliki Hak Cipta No 005100 dari Depertemen Kehakiman RI, Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek. Ini adalah nilai budaya Sunda yang luhung dan bernilai tinggi patut berbangga kita anak cucu saat ini, kita dapat memahami sejarah Kala Sunda bahkan kembali kita pakai dalam kehidupan kita di perjalan waktu, kembali orang Sunda menyelaraskan dirinya pada nilai leluhurnya, agar kembali kita menghadapi zaman kedepan dengan perubahan yang lebih baik.

Kalender Sunda berselogan “Ngidung Ka Waktu Ngawula ka Zaman”. Makna kata ini adalah “Pengeuing” atau peringatan bahwa sudah waktunya orang Sunda kembali pada nilai budaya Sunda dan kembali pada waktu sebagai ibu untuk kembali berbakti tulus pada kehidupan di zaman ini. Darma bakti tulus itu berupa kita orang Sunda membangkitkan kembali nilai-nilai budaya Sunda berupa kearifan lokal dalam segala bidang. Pada saat “zaman robah ganti ku nu anyar” di sinilah peran waktu penanggalan Sunda jadi sirine, lampu hijau untuk orang Sunda bangkit dari tertimbunnya jejak budaya Sunda yang luhung untuk menjadi pedang keadilan dalam kehidupan Dunia. Kala Sunda (Kalender Sunda) adalah awal dan ahir untuk memurnikan perjalan kehidupan manusia di bumi untuk hidup dalam keselarasan, keseimbangan lahir dan batin agar tercapai kehidupan yang harmoni bersama alam mahluk semesta raya.

Kala Sunda sebagai sistim penanggalan tradisional hasil karya cipta leluhur Sunda sebagai hasil perkembangan budaya harus di lestarikan. Pada tahun 2025 Masehi, dalam kalender Sunda taun 1962 Caka Sunda, windu ke 2 yaitu Windu kuntara, taun Monyet yang tema alam adalah “Beunget Dunya Pindah Warna Salin Rupa” yang bermakna dunia ini akan ada perubahan yang signifikan. “Munjung ka Indung, Muja ka Bapak”, yang memiliki makna wajah dunia akan pindah warna dan berganti rupa, kita juga di ingatkan untuk kembali pada jati diri bahwa asal kita adalah dari ibu bapak kita. Kalender Sunda mengingatkan kita bahwa kehidupan ibu bumi, bapak bumi sangat berkaitan dengan ibu angkasa dan bapak angkasa, artinya gerak kehidupan dan waktu manusia dan semua mahluk hidup di bumi ini tidak lepas dari pergerakan mahluk angkasa, mahluk langit yaitu Matahari, Bulan, bintang dan benda angkasa lainnya.

Dalam momen Mieling Sang Kalangider, Abah Ali Sastramidjaja almarhum sebagai tokoh Sunda yang kembali melahirkan Kala Sunda yang pada tanggal 27 Oktober 2025 sebagai bentuk Mieling Sang Kalangider. Semoga Abah Ali Sastramidjaja mendapatkan ganjaran surga tempat yang seindah-indahnya. Amin

Yayasan Sunda Tigabelas Buhun
26 Oktober 2025

*****

Ambu Rita Laraswati

Judul: Mieling Sang Kalangider (Mengingat Lahirnya Kalender Sunda)
Penulis: Ambu Rita Laraswati (Budayawati, Spritualis, Pelukis)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *