MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Sabtu (17/05/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Mempersoalkan Gabah Serapan Perum Bulog” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Dapat dipastikan, kebijakan Pemerintah yang membebaskan petani dari persyaratan kadar air dan kadar hampa dalam menjual gabah hasil panennya ke Perum Bulog, akan terserap gabah dengan berbagai kualitas. Dengan aturan ini, Perum Bulog akan kesulitan memperoleh gabah yang memiliki kadar air maksimal 25 % dan kadar hampa maksimal 10 %.

Gabah yang terserap Perum Bulog yang jumlahnya hampir mencapaib2 juta ton, umumnya terkategorikan sebagai gabah ‘any quality’. Beberapa pihak menyebut, “gabah any quality” adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan gabah yang memiliki kualitas yang bervariasi atau tidak konsisten, khususnya jika dikaitkan dengan kadar air dan kadar hampa yang direkomendasikan.
Dalam konteks perdagangan gabah, “any quality” berarti bahwa gabah yang dijual dapat memiliki kualitas yang berbeda-beda. Boleh jadi gabah itu kering dengan kadar air maksimal 25 % atau bisa juga gabah basah dengan kadar air mencapai 40 %. Bahkan tidak menutup kemungkinan, ada juga yang menyebut dengan pengertian gabah “apa adanya”.
Terserapnya gabah petani oleh Perum Bulog sekitar 2 juta ton, hal ini bemar-benar merupakan prestasi yang membanggakan. Jarang-jarang Perum Bulog mampu menyerap gabah sebesar itu. Sebagai gambaran, dalamb5 tahun terakhir, Perum Bulog, rata-rata hanya mampu mrnyerap gabah petani antara 1 hingga 1,2 juta ton saja. Jiks sampai 2 juta ton, cukup layak untuk diberi acungan jempol.
Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana dengan kualitas gabah yang jumlahnya sekitar 2 juta ton itu diserap Perum Bulog ? Apakah Perum Bulog mampu menyerap gabah petani dengan kadar air maksinal 25 % dan kadar hampa maksimal 10 % ? Atau tidak, dimana gabah yang diserap Perum Bulog, umumnya gabah berkadar air tinggi, bahkan ada yang kadar airnya mencapai 30 % lebih ?
Dengan gambaran seperti ini, tentu Perum Bulog telah memiliki jurus-jurus ampuh untuk menghadapinya, agar gabah yang diserap Perum Bulog, tidak melahirksn masalah krusial dalam proses penyimpanannya nanti. Beras impor saja yang kita beli dari negara sahabat dengan kualitas baik, masih saja ditemukan ada beras berkutu, maka bagaimana jadinya dengan beras dalam negeri yang kualitasnya jauh lebih rendah dari beras impor ?
Sekarang pun sudah banyak pihak yang mempersoalkan bagaimana nantinya beras yang dihasilkan, bila gabah yang diserapnya terkategorikan sebagai gabah basah ? Apakah benar, dengan aturan dan kebijakan Pemerintah yang membebaskan petani dari syarat kadar air dan kadar hampa, ujung-ujungnya akan membuat Perum Bulog kelimpungan ?
Kelihatannya memang demikian. Perum Bulog sendiri terlihat seperti yang belum siap menghadapi lonjakan serapan gabah yang ditempuhnya. Diawali dengan terbatasnya gudang Perum Bulog untuk menyimpan gabah serapannya secara aman, sehingga membuat Presiden Prabowo melahirkan kebihakan untuk membangun 25 ribu gudang alternatif di berbagai daerah.
Selain kekurangan gudang penyimpanan, Perum Bulog pun, kini harus berpikir keras mencari solusi, bagaimana melakukan proses penyimpanan, yang kualitasnya tergolong ke dalam kategori gabah basah ? Jumlah penyerapan yang sangat besar dibarengi dengan kualitas gabah yang ‘apa adanya’, jelas membutuhkan proses penyimpanan yang sangat khusus.
Tak kalah penting untuk dipikirkan, jika Pemerintah berencana akan membangun 25 gudang alternatif untuk menyimpan gabah/beras, maka sekurang-kurangnya akan dibutuhkan tenaga petugas gudang yang jumlahnya sangat besar. Kalau satu gudang dibutuhkan 2 orang petugas gudang, setidaknya diperlukan adanya 50 ribu petugas gudang yang benar-bebar siap untuk menjalankan tugas dan fungsi selaku petugas gudang.
Menyikapi kondisi seperti ini, menjadi sangat masuk akal, jika proses penyimpanan gabah/beras, dijadikan prioritas Perum Bulog dalam program nya ke depan. Perum Bulog, jelas harus berani membuat terobosan cerdas, baik dalam strategi penyerapan gsbah yang lebih baik atau pun dalam strategi dan proses penyimpanannya sendiri. Pastinya, “sukses penyerapan = sukses penyimpanan” nya. Ini bari keren !
Penyimpanan gabah/beras dari hasil serapan Perum Bulog sebesar kurang lebih 2 juta ton ditambah dengan masih adanya cadangan beras Pemerintah sekitar 1,9 juta ton, betul-betul mesti digarap dengan serius. Artinya, sekitar 3,9 juta ton beras yang disimpan adalah cadangan beras Pemerintah yang butuh pengawalan, pengawasan dan pengamanan ekstra ketat dalam tata kelola penyimpanannya nanti.
Tata kelola penyimpanan gabah/beras, kini sudah saatnya direvitalisasi. Pengalaman buruk yang terjadi di masa lalu, perlu dijadikan bahan pembelajaran agar tidak terulang lagi di masa depsn. Cadangan beras Pemerintah, harus benar-benar terjaga dan terkelola secara baik, sehingga tidak lagi menemukan beras betkutu, bau apek dan berwarna kekuning-kuningan di dalam gudang Perum Bulog.
Perum Bulog sebagai operstor pangan, diharapkan mampu tampil prima dalam menunaikan tugas dalam mengelola cadangan beras Pemerintah. Cadangan beras Pemerintah, sungguh sangat penting bagi perjalanan sebuah bangsa yang menjadikan beras sebagai bahan pangan pokok masyarakatnya. Apalagi bila ada anggapan, tanpa beras identik dengan tanpa krhidupan.
Jujur kita akui, serapan gabah Perum Bulog dalam panen raya padi kali ini, dari sisi kualitas, belumlah seperti yang diharapkan. Hal ini bisa terjadi, bukan dikarenakan oleh kinerja Perum Bulog yang buruk, namun ini terjadi lebih disebabkan oleh aturan dan kebijakan baru yang diluncurkan Pemerintah. Itu sebabnya, perlu segera dilakukan adanya koreksi terhadap kebijakan.
***
Judul: Mempersoalkan Gabah Serapan Perum Bulog
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi