Makna Hawa Nafsu

oleh: Prof. Yudi Latif

MajmusSunda News, Minggu (26/10/2025) Artikel berjudul “Makna Hawa Nafsu” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Saudaraku, sekiranya manusia tak memiliki hawa nafsu—tak ingin berkuasa, menimbun harta, mencipta keindahan, dan haus akan pengakuan—mungkin hidup akan menjadi datar dan hening, seperti gurun tanpa angin.

Prof. Yudi Latif
Prof. Yudi Latif, penulis – (Sumber: Arie/MMNS)

Kita akan berjalan tanpa arah, sekadar mekanisme yang bergerak karena harus, bukan karena mau. Tak ada ambisi, tak ada cita; tapi juga tak ada tawa, cinta, atau doa. Yang tersisa hanyalah keberadaan yang dingin—sunyi tanpa makna, abadi tanpa kegairahan.

Sebab yang menggerakkan kita bukanlah kesempurnaan, melainkan kegelisahan. Manusia hidup karena tak pernah puas; berpikir karena meragukan; mencipta karena takut dilupakan. Dari nafsu untuk menguasai lahir sejarah; dari nafsu menimbun harta lahir peradaban; dari nafsu mencipta keindahan lahir seni; dan dari nafsu untuk diakui lahir reputasi—cermin rapuh tempat manusia memantulkan keberadaannya di mata sesama.

Namun segala yang lahir dari hasrat pun berujung pada kehampaan. Kekuasaan berlalu, harta menguap, nama terhapus oleh debu waktu. Dan di hadapan kefanaan itu, kita dihadapkan pada absurditas yang sama: mengapa semua ini harus ada, bila akhirnya tak tersisa apa-apa?

Barangkali di situlah makna yang paling jujur tersembunyi: bahwa hidup bukan untuk mencapai kekekalan, melainkan untuk menolak kehampaan—meski hanya sekejap. Bahwa kita terus mendaki meski tahu batu itu akan terguling kembali, sebab dalam mendaki itulah manusia menemukan martabatnya.

Hawa nafsu adalah paradoks yang memelihara kehidupan. Ia mengikat kita pada tanah, tetapi juga menyalakan kerinduan akan langit. Ia membuat kita berdosa, namun juga menjadikan kita sadar. Dalam bara hasrat itu, manusia belajar mencinta, menderita, dan memaknai keterbatasannya.

Tanpa itu, kita hanyalah bayang yang lewat sekelebat—tak sempat merasakan getir atau bahagia, tak pernah bertanya, tak pernah berdoa—sekadar hadir lalu pulang diam-diam ke tanah, tanpa tahu bahwa kita pernah ada.

Mungkin, makna hidup bukanlah kemenangan atas kehampaan, melainkan keberanian untuk menatapnya dan tetap melangkah. Dan bila akhirnya kita pun padam, biarlah padam karena pernah menyala—bukan karena tak pernah berani hidup.

***

Judul: Makna Hawa Nafsu
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang penulis

Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.

Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.

Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.

Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.

Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *