MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Senin (16/06/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Jadilah “Petani Beras”!” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Dalam rangkaian sistem “agribisnis perberasan”, kita mengenal ada empat istilah yang memiliki nilai tambah ekonomi berbeda. Selain itu, dalam agribisnis perberasan pun, istilah-istilah diatas memiliki arti yang berbeda:
Pertama, benih adalah biji padi yang digunakan untuk ditanam dan menghasilkan tanaman padi baru.

Kedua, gabah adalah hasil panen padi yang masih dalam bentuk biji-bijian yang belum diproses. Ketiga, beras adalah hasil olahan gabah yang telah diproses menjadi bentuk yang siap dikonsumsi. Dan keempat, nasi adalah hasil masakan dari beras yang telah dimasak dengan air. Menariknya, dalam agribisnis perberasan, setiap tahapan dari benih hingga nasi memiliki peran penting dalam rantai produksi dan distribusi.
Sebagian besar petani padi di negeri ini, dalam sistem agribisnis perberasan akan berakhir di gabah kering panen (GKP). Jarang sekali para petani yang mampu mengolah gabah menjadi beras. Bukan saja mereka terbatas karena kondisi ekonomi yang tak mendukung, tapi juga para petani ingin secepatnya memperoleh hasil/uang dari usahatani garapannya.
Lalu, siapa yang mengolah gabah kemudian menjualnya dalam bentuk beras ? Jawabannya jelas, kalau bukan Pengusaha Penggilingan Padi/Beras ya tentu Perum Bulog. Dari sinilah kemudian kita mengenal istilah “petani gabah” dan “pedagsng beras”. Padahal, petani juga berharap agar suatu waktu, mereka pun dapat menyandang status sebagai “petani beras”.
Soal gabah dan beras identik dengan telor dan ayam. Tidak mungkin akan ada beras, jika tidak ada gabah. Tidak akan ada gabah pula, bila tidak ada benih/bibit yang ditanam. Itu sebabnya, jika Pemerintah akan melahirkan regulasi terkait dengan soal gabah, maka perlu dipertimbangkan dampak sosial-ekonomi-bidaya ya terhadap dunia perberasan.
Akibatnya, menjadi sangat masuk akal, jika Pemerintah akan menaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah, senantiasa akan dibarengi dengan kenaikan HPP beras. Sebagai contoh, katika Pemerintah menaikan HPP gabah dari Rp. 6000,- menjadi Rp. 6500,- per kg, maka otomatis HPP beras pun dinaikan menjadi Rp. 12.000,- per kilogramnya.
Gabah dan Beras, dua kata yang kini banyak dibahas dan dibincangkan banyak pihak. Kejadian dua tahun lalu, turunnya produksi beras dan naiknya harga beras di pasaran, membuat Pemerintah cukup was-was menghadapinya. Solusi Pemerintah menggenjot produksi dengan menambah jumlah areal tanam dan percepatan masa tanam, diharapkan mampu menjadi jalan keluarnya.
Begitu juga dalam upaya menurunkan harga beras, yang belum lama ini mengalami kenaikan harga yang ugal-ugalan. Dilahirkannya kebijakan harga fleksibilitas pembelian gabah dan beras, ditambah dengan dinaikannya Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras, Pemerintah berharap agar harga beras dipasaran kembali ke harga yang wajar.
Bagi petani padi, turunnya produksi dan naiknya harga beras, memberi kesan tersendiri dalam kehidupannya. Petani sempat riang gembira, karena harga gabah kering panen, mampu melejit dan menembus angka Rp.7000,- per kg. Padahal, selama ini harga gabah di petani berada diangka sekitar Rp.6000,- per kg. Wajar, bila petani menyambutnya dengan senyuman.
Para petani lumrah tersenyum. Dengan harga diatas Rp.7000,- per kg, jerih payah dan kerja keras petani selama 3 bulan lebih, dihargai dengan pantas oleh harga gabah yang memberi keuntungan cukup tinggi. Akibatnya, wajar sekali kalau saat itu, para petani di Subang dan Indramayu, Jawa Barat, langsung menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada Presiden.
Sayangnya, kegembiraan petani yang demikian, tidak berlangsung lama. Seiring dengan semangat menurunkan harga beras di pasar, otomatis akan dibarengi dengan penurunan harga gabah di petani. Yang jadi harapan petani adalah apakah tidak ada cara lain, ketika Pemerintah berupaya menurunkan harga beras, maka harga gabah tidak ikut-ikutan turun ?
Aspirasi petani, agar harga beras turun tapi harga gabah tidak ikut turun, sepertinya masih belum dapat dibuktikan dalam kehidupan nyata di lspangan. Pemerintah sendiri, kelihatan belum mampu melepaskan diri dari pehitungan harga beras sekitar dua kali harga gabah. Artinya, jika harga beras dipatok pada angka Rp.12.000,- per kg, maka harga gabah tidak boleh lebih dari Ro.6.500,- per kg.
Catatan kritisnya adalah apakah tidak ada lagi hitung-hitungan harga gabah dan beras lain yang memberi keuntungan optimal bagi petani, namun tidak memberatkan masyarakat selaku konsumen ? Selain itu perlu dipikirkan kehadiran dan keberadaan Pemerintah selaku pihak penggenggam kekuasaan dan kewenangan dalam mengatur harga gabah dan beras ?
Untuk memberi jawab atas pertanyaan ini, tentu banyak faktor yang dapat dijadikan pisau analisanya. Keterlibatan para akademisi dan penelitu dari Perguruan Tinggi tentu sanfat dimintakan. Kita berharap, mereka dapat menyiapkan pendekatan teknokratik dalam memberi jalan keluarnya. Kita butuh terobosan cerdas dalam memutuskan solusi terbaiknya.
Lalu, jangan dilupakan pula peran-serta komunitas dan kelembagaan petani dalam memberi solusi lewat pendekatan aspirasi/partisipatif. Mereka sangat berkompeten dalam memberikan perhitungan yang logis dan wajar terkait harga gabah dan beras. Mereka sangat paham berapa ongkos produksi yang dikeluarkan petani. Mereka tahu persis berapa keuntungan yang wajar bagi petani. Dan mereka pun memahani berapa resiko yang perlu dibayar para petani.
Pemerintah tentu harus mengemas semua pendekatan ini dengan mengedepankan pentingnya pendekatan politis. Pemerintah yang menakhkodai negara dan bangsa, dimana sebagian besar warga masyarakatnya berkiprah di dunia pertanian, sudah sewajarnya bila kekuasaan yang dimilikinya, mempertontonkan keberpihakan nyata kepada sektor pertanian dan petani.
Dalam mengelola usahataninya, sebagian besar petani padi, umumnya akan berakhir di gabah kering panen (GKP). Sedikit sekali yang berujung di gabah kering giling (GKG), apalagi berakhir di beras. Oleh karena itu, wajar jika Pemerintah senantiasa memberi perhatian khusus terhadap posisi gabah kering panen dalam proses agribisnis perberasan ini.
Sebetulnya sudah sejak lama ada keinginan dan kemauan politik untuk menggeser status petani gabah menjadi petani beras. Kita ingin petani tidak lagi menjual gabah kering panen pada saat panen, namun mengolahnya terlebih dulu menjadi beras. Ini menarik, karena nilai tambah ekonomi setelah menjadi beras, nyata-nyata lebih tinggi ketimbang menjadi gabah.
Pertanyaannya, mengapa Pemerintah seperti yang ogah-ogahan menjalankannya ? Padahal, hanya dengan memberi bantuan alat penggilingan padi skala mini yang dikelola Kelompok Tani atau Gabungan Kelompok Tani, maka petani pun akan memperoleh nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi, ketimbang menjual hasil panennya dalam bentuk gabah.
Andaikan status petani dapat kita geser dari petani gabah jadi petani beras, maka nilai tambah ekonomi dari gabah ke beras, yang selama ini dinikmati oleh pedagang dan pengusaha penggilingan, tentu akan beralih ke petani. Lewat pendampingan optimal dari para Penyuluhan Pertanian, Perum Bulog, Kelompok Tani/Gapoktan dan lain sebagainya, pasti akan mampu berkiprah secara profesional.
***
Judul: Jadilah “Petani Beras”!
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi