MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (14/11/2024) – Artikel dalam Kolom Yudi Latif berjudul “Gerak Mundur Peradaban” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS) kelahiran Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Saudaraku, Pulau Jawa bisa dikatakan sebagai barometer maju-mundurnya peradaban Indonesia. Sungguh miris untuk mengatakan bahwa perkembangan peradaban di pulau ini bukan mengalami gerak maju, melainkan gerak mundur. Kesan itu diperoleh setelah membandingkan keadaan Pulau Jawa saat ini dengan keagungan masa lalunya yang dilukiskan oleh Alfred Russel Wallace dalam The Malay Archipelago: The land of the orang-utan, and the bird of paradise. A narrative of travel, with studies of man and nature (1869).

Setelah melakukan ekspedisinya di Pulau ini (Juli-Oktober 1861), Wallace memujinya setinggi langit dengan kutipan langsung sebagai berikut:
Secara keseluruhan, berdasarkan survei dari segala sudut pandang, Jawa mungkin merupakan pulau tropis terindah dan paling menarik di dunia. Pulau ini terkenal paling subur, paling produktif dan paling padat penduduknya di wilayah tropis.
Sejumlah besar hewan di pulau ini bahkan tidak didapati di tempat lain di muka bumi. Tanah di seluruh pulau sangat subur sehingga semua tumbuhan daerah tropis dan tumbuhan daerah sedang tumbuh dengan mudah.
Jawa juga memiliki peradaban, sejarah dan peninggalan kuno yang sangat menarik perhatian. Rakyat di Jawa hidup tenteram dan aman seperti kehidupan di negara-negara dengan pemerintahan yang baik di Eropa. Oleh sebab itu, saya percaya bahwa Jawa merupakan sebuah pulau tropis terindah di dunia. Jawa juga paling menarik bagi pelancong yang ingin mempelajari keanekaragaman dan keindahan alam tropis.
Selain itu, Jawa juga tepat bagi para moralis dan politisi yang mau memecahkan masalah tentang bagaimana manusia bisa ditata kelola dengan cara terbaik dalam segala kebaruan dan keragaman kondisi.

Hanya sedikit orang Inggris yang memahami tentang keindahan peninggalan arsitektur di Jawa. Peninggalan-peninggalan tersebut tidak pernah digambarkan atau dituliskan secara umum. Hal ini sangat disayangkan karena peninggalan arsitektur Jawa melampaui yang ada di Amerika Tengah atau bahkan melampaui India.
Di Candi Sewu atau “Candi Seribu” banyak patung berukuran besar. Kapten Baker yang meneliti reruntuhan ini mengatakan bahwa seumur hidupnya, baru sekarang melihat “contoh karya manusia yang sangat menakjubkan. Ilmu dan cita rasa yang berabad-abad lamanya terlupakan, terhimpun menjadi satu di tempat ini.”

Candi Borobudur dibangun di atas sebuah bukit dan terdiri dari sebuah kubah tengah dan tujuh tingkat teras menutupi kaki bukit. Tiap-tiap teras membentuk serambi terbuka dan dihubungkan dengan anak tangga dan pintu gerbang.
Kubah tengah Candi Borobudur berdiameter 50 kaki dan dikelilingi oleh tiga lapis stupa yang seluruhnya 72 buah. Luas seluruh bangunan candi adalah 620 kaki persegi dengan tinggi kurang lebih 100 kaki.
Di dinding teras ada relung-relung yang di dalamnya terdapat patung-patung yang menggambarkan orang sedang duduk bersila. Ukuran patung-patung itu lebih besar daripada tubuh manusia dan jumlahnya sekitar 400 buah.
Dua sisi dinding teras semuanya tertutup relief dasar yang diukur pada batu keras. Relief tersebut dikerjakan sampai mencapai tiga mil. Di kedua sisi tembok teras terdapat relief tokoh-tokoh. Panjang relief tersebut mencapai hampir tiga mil.
Agaknya, jumlah tenaga manusia dan keahlian yang dicurahkan untuk pembangunan piramid terbesar di Mesir tidak berarti bila dibandingkan dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menyelesaikan candi penuh patung pada bukit di pedalaman Pulau Jawa ini.
Apa yang bisa disaksikan saat ini? Keindahan telah berubah jadi kesemerawutan; kesuburan perlahan jadi ketandusan dan penggundulan; keanekaragaman hayati kian mengalami kepunahan; produktivitas lemas; moralitas amblas, tata kelola tak karuan. Peradaban surut; menyisakan puing-puing kenangan dan ratapan.
Wahai orang-orang berselimut, bangunlah! (Edulatif, No. 50)
***
Judul: Gerak Mundur Peradaban
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir di Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.
Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.