Gagasan Pemanfaatan Dana Rp 200 Trilun untuk Koperasi Desa Merah Putih

Artikel ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.

Dunia pewayangan
Ilustrasi: Dunia pewayangan - (Sumber: Arie/MMNS)

MajmusSunda News, Kolom Artikel/Opini, Rabu (17/09/2025) – Artikel Serial Tropikanisasi dan Kooperatisasi berjudul “Gagasan Pemanfaatan Dana Rp 200 Trilun untuk Koperasi Desa Merah Putih” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Pinisepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.

Latar Belakang:

Di sebuah padepokan sunyi di tengah hutan, Semar duduk bersila dikelilingi para punakawan—Cepot, Dawala, dan Gareng. Tiba-tiba, Arjuna sang ksatria pemberani muncul dengan gagah. Mereka berkumpul untuk membicarakan masa depan ekonomi kerakyatan Jawa Barat.

Semar dengan wajah prihatin berkata, “Anak-anakku, dana Rp 200 triliun yang mengendap ibarat harta karun terpendam. Tapi tanpa peta yang jelas, ia hanya akan menjadi harta kekayaan yang sia-sia.”

Cepot sambil menggaruk kepala menjawab, “Bapak Semar, ini seperti punya senjata sakti tapi tidak tahu cara menggunakannya. Harus ada strategi yang jitu!”

Arjuna dengan suara tenang dan penuh wibawa ikut menyela, “Bapak Semar, saya telah mempelajari koperasi kelas dunia seperti Zen-Noh dari Jepang. Mereka sukses karena integrasi dari hulu ke hilir dan manajemen modern. Kelahirannya juga top-down. Zen-Noh sukses besar. Mengapa tidak kita ajak mereka sebagai mitra pendamping? Mereka bisa membawa teknologi dan sistem yang sudah teruji. Juga pasar.”

Gareng tak mau kalah dengan bijak mengatakan, “Tapi, Kang Arjuna, kita juga punya teladan lokal seperti Koperasi Keling Kumang (KKKK) dan koperasi credit union lainnya yang sudah membuktikan diri. Mereka tumbuh dari akar rumput, memahami kultur lokal, dan mandiri. Mereka harus menjadi mitra utama dalam perencanaan dan rancang bangun pengelolaan dana ini.”

Sementara itu Dawala mengangguk setuju sambil berseru, “Betul, Gareng! Koperasi seperti KKKK sudah punya sistem kepercayaan dan pelayanan door-to-door yang efektif. NPL di bawah 5%. Mereka bisa menjadi ‘jembatan’ antara dana pemerintah dan masyarakat desa.”

“Kita perlu membuat blueprint yang jelas untuk pengembangan ekosistem Koperasi Desa Merah Putih dari level desa hingga nasional. Blueprint ini harus menjadi pedoman agar tidak lagi terjadi tumpang tindih kebijakan. Uang Rp 200 triliun mengikuti blueprint ini,” ujar Semar sambil tersenyum bijak.

Arjuna pun dengan penuh semangat berkata, “Blueprint itu harus mencakup tiga level: 1. Level Desa: Koperasi desa fokus pada penguatan ekonomi lokal dengan sistem simpan-pinjam berbasis komunitas dan pengembangan usaha produktif.”

“2. Level Regional: Koperasi-koperasi desa bergabung dalam federasi untuk skala ekonomi yang lebih besar, seperti pemasaran bersama dan pengolahan hasil pertanian.”

“3. Level Nasional: Federasi koperasi bekerja sama dengan koperasi global seperti Zen-Noh untuk akses pasar ekspor dan teknologi mutakhir.”

Cepot dengan antusias menimpali, “Jadi, kita punya tiga lapis strategi: Mitra global seperti Zen-Noh untuk teknologi dan pasar; Mitra lokal seperti KKKK untuk pendampingan dan sistem kepercayaan, dan; blueprint ekosistem dari desa hingga nasional agar semua terintegrasi.”

Lalu, Gareng pun menambahkan, “Dan yang terpenting, dana Rp 200 triliun itu harus dikelola dengan transparansi radikal. Setiap rupiah harus bisa dilacak oleh anggota koperasi melalui platform digital sederhana.”

Dawala dengan suara berat berkomentar, “Kita juga harus pastikan bahwa Koperasi Desa Merah Putih tidak menjadi proyek top-down, tetapi benar-benar dibangun dari bawah dengan nilai-nilai lokal: silih asah, silih asuh, silih asih.”

Semar pun mengangkat tangan sebagai tanda restu, “Maka, sekarang saatnya kita bertindak. Fase I: Ajak Zen-Noh, KKKK, dan kredit union lain untuk bersama-sama menyusun blueprint. Dirikan Lembaga Pendidikan Koperasi dan Perkoperasian dengan pengakuan gelar Sarjana Koperasi untuk S1, S2, S3 dilengkapi dengan program vokasinya.”

“Fase II: Bangun 5 koperasi percontohan di Jawa Barat dengan pendampingan langsung; Fase III: Implementasi blueprint secara nasional dengan monitoring ketat,” pungkas Semar.

Arjuna dengan tekad bulat mengatakan, “Saya siap memimpin tim untuk menjalin kemitraan dengan Zen-Noh dan koperasi global lainnya. Ekonomi kerakyatan harus go international!”

Cepot dengan berseloroh menimpali, “Kalau begitu, kita ubah ‘kuburan dana’ menjadi ‘kebun raya ekonomi’ yang hijau dan berbuah lebat!”

***

Kesimpulan (dalam narasi wayang):

Demikianlah percakapan bijak Semar, para punakawan, dan Arjuna. Mereka sepakat untuk: 1. Mengajak koperasi kelas dunia seperti Zen-Noh sebagai mitra teknologi dan pasar; 2. Menjadikan KKKK dan kredit union sebagai mitra pendampingan perencanaan dan pengelolaan dana, dan; 3. Membuat blueprint ekosistem Koperasi Desa Merah Putih dari desa hingga nasional.

Pesan Tertinggi:

“Ekonomi kerakyatan akan jaya jika dibangun dengan kolaborasi: global untuk teknologi, lokal untuk kearifan, dan blueprint yang jelas untuk arah.”

Tembang penutup: “Sinergi global dan lokal, ekonomi desa menjadi jaya!”

***

Noted:

Tropikanisasi adalah sebuah konsep transformatif yang merujuk pada proses mengangkat, memulihkan, dan memodernisasi kekayaan tropis—baik dalam pangan, budaya, ekonomi, maupun spiritualitas—sebagai fondasi kedaulatan dan keberlanjutan bangsa tropis seperti Indonesia.

Judul: Gagasan Pemanfaatan Dana Rp 200 Trilun untuk Koperasi Desa Merah Putih
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas Info Penulis

Prof. Agus Pakpahan memimpin IKOPIN University sejak 29 Mei 2023 untuk periode 2023–2027. Ia dikenal sebagai ekonom pertanian yang menaruh perhatian pada penguatan ekosistem perkoperasian dan tata kelola kebijakan publik.

Prof. Agus Pakpahan
Prof. Agus Pakpahan, Penulis: (Sumber: Arie/MMSN)

Di bawah kepemimpinan Agus Pakpahan, IKOPIN mendorong kemitraan strategis dan pembenahan tata kelola kampus, termasuk menyambut inisiatif pemerintah agar IKOPIN bertransformasi menuju skema Badan Layanan Umum (BLU) di lingkungan Kemenkop UKM—sebuah langkah untuk memperkuat daya saing kelembagaan dan mutu layanan pendidikan. “Pendidikan yang berpihak pada kemajuan adalah jembatan masa depan,” demikian ruh visi yang ia usung.

Lahir di Sumedang, 29 Januari 1956, Agus Pakpahan menempuh S-1 di Fakultas Kehutanan IPB (1978) dan meraih M.S. Ekonomi Pertanian di IPB (1981). Ia kemudian meraih Ph.D. Ekonomi Pertanian dengan spesialisasi Ekonomi Sumber Daya Alam dari Michigan State University (1988). Latar akademik ini mengokohkan reputasinya di bidang kebijakan sumber daya alam, pertanian, dan pembangunan pedesaan. “Ilmu adalah cahaya; manfaatnya adalah sinar yang menuntun,” menjadi prinsip kerja ilmiahnya.

Kariernya panjang di pemerintahan: bertugas di Bappenas pada 1990-an, lalu dipercaya sebagai Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (1998–2002). Di tengah restrukturisasi, ia memilih mundur pada 2002—sebuah sikap yang tercatat luas di media arus utama.

Sesudahnya, Agus Pakpahan menjabat Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan (2005–2010), memperlihatkan kapasitasnya menautkan riset, kebijakan, dan bisnis negara. “Integritas adalah kompas; kebijakan adalah peta,” ringkasnya tentang tata kelola.

Sebagai akademisi-pemimpin, Agus Pakpahan aktif membangun jejaring dan kurikulum. Kunjungan kerja ke FEB UNY menegaskan orientasi penguatan kompetensi usaha dan koperasi, sementara di tingkat lokal ia melepas ratusan mahasiswa KKN untuk mengabdi di puluhan desa di Sumedang—mendorong pembelajaran kontekstual dan solusi nyata bagi masyarakat. “Belajar adalah bekerja untuk sesama,” begitu pesan yang kerap ia gaungkan pada kegiatan kampus.

Di luar kampus, kiprah Agus Pakpahan terekam dalam wacana publik seputar hutan, pertanian, ekonomi sirkular, dan perkoperasian—menginspirasi komunitas petani serta pemangku kepentingan untuk berinovasi tanpa meninggalkan nilai-nilai gotong royong.

Esai dan pandangan Agus Pakpahan di berbagai media bereputasi menunjukkan konsistensinya pada pembangunan yang adil dan berkelanjutan. “Kemajuan tanpa keadilan hanyalah percepatan tanpa arah; keadilan memberi makna pada laju,” adalah mutiara yang merangkum jalan pikirannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *