Fortifikasi Palsu: Kritik Epistemologis dan Restorasi Pangan Tropis

Artikel ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.

Makan bersama
ILustrasi: Keluarga miskin sedang makan bersama di rumahnya yang sederhana - (Sumber: Arie/MMS)

MajmusSunda News, Kolom Artikel/Opini, Kamis (28/08/2025) – Artikel berjudul “Fortifikasi Palsu: Kritik Epistemologis dan Restorasi Pangan Tropis” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Pinisepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.

Dalam lanskap kebijakan pangan modern, istilah fortifikasi sering dipuja sebagai solusi teknologis atas kekurangan gizi masyarakat. Namun, di balik jargon ilmiah dan label “gizi tambahan,” tersembunyi ironi yang mendalam: beras yang telah dibuang bekatulnya—sumber serat, vitamin B kompleks, dan antioksidan—kemudian “diperkaya” kembali dengan zat sintetis.

Minyak sawit yang telah dimurnikan melalui proses RBD hingga kehilangan betakaroten dan vitamin A, lalu difortifikasi ulang dengan zat yang sama. Namun, dalam bentuk terisolasi. Ini bukan restorasi, melainkan simulakra—tiruan dari zat hidup yang telah dibuang.

Masak
Ilustrasi: Seorang wanita paruh baya sedang masak makanan di dapur rumahnya yang sederhana – (Sumber: Arie/MMS)

Epistemologi yang Terlepas dari Kehidupan

Fortifikasi semacam ini mencerminkan kegagalan ilmu pangan modern dalam memahami pangan sebagai sistem hidup. Ia memisahkan zat dari konteks biologis, ekologis, dan spiritualnya.

Dalam paradigma ini, pangan direduksi menjadi angka: miligram, kalori, dan standar laboratorium. Bekatul dianggap limbah, minyak merah dianggap kotor, dan frass dianggap menjijikkan, padahal di dalamnya terkandung sistem regeneratif yang menopang kehidupan tropis.

Ilmu yang tidak bertanya, “untuk siapa pangan ini?” Atau, “apa makna ekologis dan sosialnya?” adalah ilmu yang kehilangan arah. Ia tidak lagi menjadi alat pembebasan, melainkan instrumen alienasi.

Ketahanan Pangan yang Tidak Bisa Dipertanggungjawabkan

Dari sisi ekonomi dan ketahanan pangan, fortifikasi industri menciptakan ketergantungan, bukan kemandirian. Petani tidak lagi memproduksi pangan utuh, tetapi bahan mentah untuk dimutilasi dan direkayasa ulang.

Komunitas kehilangan akses terhadap zat hidup yang seharusnya tersedia secara lokal—bekatul, frass, dedak, minyak merah tropis—dan bergantung pada produk yang mahal, terstandarisasi, dan sering kali diimpor.

Ketahanan pangan yang dibangun di atas sistem yang membuang zat hidup, lalu menggantinya dengan zat sintetis adalah ketahanan semu. Ia tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ekologis, sosial, maupun spiritual.

Restorasi, Bukan Fortifikasi

Solusinya bukan fortifikasi, melainkan restorasi. Restorasi pangan utuh. Restorasi sistem koperasi yang memuliakan dedak, rice bran, frass, dan minyak merah. Restorasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas zat hidup yang telah dianugerahkan kepada tanah tropis kita.

Koperasi tropis bukan sekadar lembaga ekonomi, melainkan ritual pemulihan ekosistem dan jiwa bangsa. Ia mengembalikan pangan kepada rakyat, bukan kepada industri. Ia menghidupkan kembali dedak sebagai doa, frass sebagai regenerasi, dan telur bebek sebagai simbol kesuburan tropis.

Narasi Baru untuk Gerakan Kolektif

Perguruan tinggi, lembaga riset, dan komunitas petani harus memimpin gerakan ini. Mereka harus berani mengkritik epistemologi fortifikasi yang reduksionis dan membangun narasi baru: bahwa pangan bukan sekadar zat, tetapi sistem kehidupan. Bahwa dedak bukan limbah, tetapi berkah. Bahwa frass bukan kotoran, tetapi regenerasi.

Serial Kooperatisasi dan Tropikanisasi harus menjadi ruang untuk menyuarakan ini. Bukan hanya sebagai wacana, tetapi sebagai gerakan. Sebagai blueprint hidup. Sebagai doa kolektif untuk memulihkan tropika yang telah lama dirampas oleh logika industri.

***

Judul: Fortifikasi Palsu: Kritik Epistemologis dan Restorasi Pangan Tropis
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas Info Penulis

Prof. Agus Pakpahan memimpin IKOPIN University sejak 29 Mei 2023 untuk periode 2023–2027. Ia dikenal sebagai ekonom pertanian yang menaruh perhatian pada penguatan ekosistem perkoperasian dan tata kelola kebijakan publik.

Di bawah kepemimpinan Agus Pakpahan, IKOPIN mendorong kemitraan strategis dan pembenahan tata kelola kampus, termasuk menyambut inisiatif pemerintah agar IKOPIN bertransformasi menuju skema Badan Layanan Umum (BLU) di lingkungan Kemenkop UKM—sebuah langkah untuk memperkuat daya saing kelembagaan dan mutu layanan pendidikan. “Pendidikan yang berpihak pada kemajuan adalah jembatan masa depan,” demikian ruh visi yang ia usung.

Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.
Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Penulis – (Sumber: alumniipbpedia.id)

Lahir di Sumedang, 29 Januari 1956, Agus Pakpahan menempuh S-1 di Fakultas Kehutanan IPB (1978) dan meraih M.S. Ekonomi Pertanian di IPB (1981). Ia kemudian meraih Ph.D. Ekonomi Pertanian dengan spesialisasi Ekonomi Sumber Daya Alam dari Michigan State University (1988). Latar akademik ini mengokohkan reputasinya di bidang kebijakan sumber daya alam, pertanian, dan pembangunan pedesaan. “Ilmu adalah cahaya; manfaatnya adalah sinar yang menuntun,” menjadi prinsip kerja ilmiahnya.

Kariernya panjang di pemerintahan: bertugas di Bappenas pada 1990-an, lalu dipercaya sebagai Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (1998–2002). Di tengah restrukturisasi, ia memilih mundur pada 2002—sebuah sikap yang tercatat luas di media arus utama.

Sesudahnya, Agus Pakpahan menjabat Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan (2005–2010), memperlihatkan kapasitasnya menautkan riset, kebijakan, dan bisnis negara. “Integritas adalah kompas; kebijakan adalah peta,” ringkasnya tentang tata kelola.

Sebagai akademisi-pemimpin, Agus Pakpahan aktif membangun jejaring dan kurikulum. Kunjungan kerja ke FEB UNY menegaskan orientasi penguatan kompetensi usaha dan koperasi, sementara di tingkat lokal ia melepas ratusan mahasiswa KKN untuk mengabdi di puluhan desa di Sumedang—mendorong pembelajaran kontekstual dan solusi nyata bagi masyarakat. “Belajar adalah bekerja untuk sesama,” begitu pesan yang kerap ia gaungkan pada kegiatan kampus.

Di luar kampus, kiprah Agus Pakpahan terekam dalam wacana publik seputar hutan, pertanian, ekonomi sirkular, dan perkoperasian—menginspirasi komunitas petani serta pemangku kepentingan untuk berinovasi tanpa meninggalkan nilai-nilai gotong royong.

Esai dan pandangan Agus Pakpahan di berbagai media bereputasi menunjukkan konsistensinya pada pembangunan yang adil dan berkelanjutan. “Kemajuan tanpa keadilan hanyalah percepatan tanpa arah; keadilan memberi makna pada laju,” adalah mutiara yang merangkum jalan pikirannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *