Cerpen “SaJUTA” (Sabar Jujur Tawakal): “Hadir di antara Dua Kesunyian”

Pengarang: Abah Ahmadin (Pengasuh Saung Larang)

Cerpen “SaJUTA”

MajmusSunda News, Bogor, 17/12/25 – Tanggal 13 Juli 2009 menjadi hari yang tak pernah benar-benar dilupakan oleh Kang Asaka. Pagi itu, di Nurabi—kampung sunyi yang terjepit di antara dua gunung—ia duduk di serambi rumah panggungnya. Di kejauhan, gunung kopi menghembuskan aroma pahit-manis, sementara gunung tembakau berdiri tenang seperti penjaga kesabaran. Air sawah mengalir jernih, memantulkan langit biru yang seakan tak mengenal hiruk pikuk dunia.

Kang Asaka adalah pembelajar sepanjang masa. Ia hidup sederhana, lebih sering menyendiri daripada berkumpul, namun bukan karena membenci manusia. Kesendiriannya adalah ruang batin—tempat ia merawat keheningan. Sesekali ia turun ke Jakarta, bukan untuk urusan dunia, melainkan menjaga tali silaturahmi dan menghadiri majelis-majelis kecil pengajian.

Di Jakarta Timur, Mbak dr. Rania menjalani hidup yang bertolak belakang. Kota beton itu berdenyut cepat, memadatkan waktu dan emosi. Rania adalah dokter spesialis kulit yang disegani. Fokusnya hanya dua: klinik dan anak-anaknya, terutama anak perempuan sulung yang ia harapkan kelak menjadi dokter seperti dirinya. Ia belum pernah ke Nurabi, kampung yang sering diceritakan ibunya, Ibu Sarwita.

Mas Joko, suaminya, adalah profesional di perusahaan multilateral. Pekerjaannya menuntut mobilitas tinggi—Hongkong, Singapura, kadang Eropa. Ia jarang di rumah, dan ketika ada, waktunya terasa singkat dan dingin. Kepercayaan yang dulu hangat perlahan menguap, digantikan kecurigaan yang tak terucap.

Rumah mereka di pinggiran Jakarta berdiri rapi, namun sunyi. Sunyi yang berbeda dengan sunyi Nurabi. Jika sunyi Nurabi menenangkan, sunyi rumah Rania justru menekan dada. Di balik dinding-dinding beton, konflik perlahan tumbuh—belum meledak, tapi berdenyut, menunggu waktu.

Tekanan hidup Mbak Rania meningkat ketika Mas Joko mulai membatasi pergaulannya. Ia diminta hanya fokus pada klinik, pulang tepat waktu, dan menghindari relasi di luar pekerjaan. Atas nama kehormatan keluarga, Rania kehilangan ruang bernapas. Ia dokter, namun perlahan merasa seperti pasien dari hidupnya sendiri.

Kesepian itu menemukan celah ketika seorang pasien ekspatriat dari Hongkong datang rutin ke kliniknya. Percakapan yang awalnya profesional berubah menjadi personal. Di kota besar, hubungan semacam itu sering diberi nama modern: poliandri emosional. Rania tahu itu salah, namun kesadarannya kalah oleh kekosongan batin.

Kang Asaka mengetahui hal itu tanpa sengaja. Setiap ke Jakarta, ia menyempatkan diri bersilaturahmi ke rumah Ibu Sarwita—ibu Rania—yang dulu satu majelis dengannya. Dari percakapan-percakapan tak langsung, dari nada suara yang berubah, Kang Asaka membaca kegelisahan Rania. Ia tidak menghakimi. Ia hanya mendengar.

Pada suatu sore, Rania mengutarakan niatnya untuk bercerai. “Aku lelah,” katanya lirih. “Aku seperti sendirian dalam pernikahan.”

Kang Asaka hanya menunduk. Dalam diamnya, ia melihat Rania bukan sebagai perempuan bersalah, tetapi sebagai jiwa yang tercerai dari pusat dirinya. Ia teringat satu tingkatan mistik—kesendirian yang bukan pelarian, melainkan panggilan.

Mas Harun, adik Mas Joko, tanpa sengaja menguping percakapan Rania dengan kekasihnya dari Hongkong. Janji rendezvous itu menjadi bara api. Sementara itu, Mas Dodi—adik Rania—diam-diam memantau gerak-gerik Mas Joko, melaporkan setiap perjalanan dan pertemuannya.

Rumah tangga itu berubah menjadi medan intelijen. Tak ada lagi kejujuran, hanya asumsi. Masing-masing merasa paling terluka.

Kang Asaka, dari kejauhan, melihat semua ini seperti orang yang berdiri di tengah padang sunyi. Ia tahu, konflik ini bukan soal siapa paling salah, tetapi siapa yang berani berdiri sendiri di hadapan kebenaran.

Mas Joko pun sebenarnya memiliki guru spiritual di Jakarta. Dari sang guru, ia belajar bahwa manusia sering tersesat bukan karena niat jahat, tetapi karena tidak berani sendirian menghadapi dirinya sendiri. “Suatu hari istrimu akan sadar,” kata sang guru. “Jika kau juga bersedia terbuka dan menerima masa lalu.”

Namun kesadaran sering datang melalui kehilangan.

Ibu Sarwita meninggal dunia. Dunia Mbak Rania runtuh. Tempat ia bersandar, mendengar, dan pulang secara batin—hilang. Kesedihan itu membuatnya rapuh, namun juga jujur. Rumah tangganya nyaris berakhir di meja perceraian.

Di tengah duka itu, Kang Asaka datang. Ia duduk di samping Rania, tidak memberi ceramah panjang. Hanya satu kalimat yang ia sampaikan, pelan: “Setiap orang punya perjalanan. Yang penting bukan siapa yang paling cepat, tapi siapa yang mau kembali.”

Kalimat itu menggema di dada Rania. Ia merasa sendirian—namun bukan sepi. Ada kesunyian baru, kesunyian yang mempertemukannya dengan dirinya sendiri.

Mas Joko, di sisi lain, mulai membuka diri. Nasihat gurunya terngiang kembali. Ia menyadari bahwa ia pun telah jauh dari keluarganya, terasing dalam kesibukan dan godaan dunia.

Anak ketiga mereka, Zizi, jatuh sakit parah. Dokter menyarankan penanganan psikologis: perhatian penuh dari kedua orang tua. Rania dan Joko dipaksa hadir—bukan sebagai pasangan bermasalah, tapi sebagai ayah dan ibu.

Melihat Zizi terbaring lemah, Rania merasakan sesuatu runtuh dalam dirinya: ego. Ia menerima Mas Joko dengan segala kekurangannya. Mas Joko pun luluh. Zizi adalah cucu kesayangan almarhumah Ibu Sarwita—dan cinta itu seolah menagih tanggung jawab.

Dalam kesakitan anak mereka, keduanya menemukan kembali inti kemanusiaan: hadir sepenuhnya.

Di ruang rumah sakit, Kang Asaka menggenggam tangan Mas Joko dan Mbak Rania. Dengan suara tenang ia berkata, “Orang yang baik adalah orang yang mengetahui perbuatan salah, daripada orang yang salah tidak mengetahui perbuatan baik.”

Tangis pecah. Mereka saling berpelukan di hadapan Zizi yang terbaring lemah namun tersenyum kecil.

Kang Asaka mengucapkan salam, lalu melangkah keluar. Ia kembali ke Nurabi—ke kesunyiannya. Ia berjalan sendiri, namun tidak sepi. Di dalam dirinya, ada berdenyut: kesendirian yang utuh, mandiri, dan memuliakan.

Di Jakarta, sebuah keluarga belajar hal yang sama—bahwa kesunyian bukan akhir, melainkan awal pertemuan dengan Tuhan dan diri sendiri.

 

*****

 

Judul: Cerpen “SaJUTA” (Sabar Jujur Tawakal): “Hadir di antara Dua Kesunyian”

Pengarang: Abah Ahmadin (Pengasuh Saung Larang)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *