MajmusSunda News, Bogor, 17/12/25
Tanggal 17 Maret 2009, Jakarta diguyur hujan sejak pagi. Di sebuah rumah dua lantai yang juga difungsikan sebagai kantor “WISATA BAHAGIA”, Teh Nadia duduk termenung di dekat jendela. Ponselnya bergetar berkali-kali—pesan dari klien, jadwal perjalanan, dan satu pesan singkat dari suaminya, Mas Denden, yang hanya berbunyi: “Pulang malam.”
Teh Nadia adalah perempuan yang terbiasa memikul banyak peran. Ibu rumah tangga, pengelola usaha perjalanan, sekaligus mahasiswi yang kembali belajar atas dorongan suaminya. Kesibukan membuatnya sering bepergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri kawasan ASEAN. Ia mencintai pekerjaannya, tapi belakangan ia merasa ada jarak yang tak terucap di rumah.
Di Jakarta pula tinggal Mbak Yeyen, staf kepercayaan Teh Nadia. Tetangga dekat, ibu rumah tangga yang hidup sendiri setelah perceraian, membesarkan seorang anak lelaki yang sudah duduk di bangku SMA. Mbak Yeyen dikenal ramah, cekatan, dan penuh perhatian—terutama pada hal-hal kecil yang sering luput dari pandangan orang sibuk.
Sementara itu, di Nurabi, sebuah kota kecil yang sunyi, Kang Asaka menjalani hidup sederhana. Ia dikenal sebagai pembelajar sepanjang hayat, tekun mengaji, tak pernah merasa paling tahu. Kang Asaka sudah lama mengenal keluarga Mas Denden. Sesekali ia datang ke Jakarta, lebih sering hanya lewat percakapan singkat—nasihat halus, bukan petuah keras.
Hubungan Teh Nadia dan Mas Denden mulai renggang tanpa disadari. Bukan karena tak ada cinta, melainkan karena perhatian yang tergerus kesibukan. Malam Jumat sering terlewat, percakapan semakin fungsional. Dalam celah itulah, perhatian kecil menjadi sesuatu yang terasa besar.
Kang Asaka sering mengingatkan, dengan bahasa yang tak menggurui, bahwa rumah tangga adalah tempat pujian diuji. “Bukan pujian dari orang,” katanya suatu ketika, “tapi dari kejujuran batin.” Teh Nadia hanya mengangguk. Ia tak bercerita banyak, sampai suatu malam ia mengirim pesan panjang. Ia menulis tentang Mas Denden yang pernah dekat dengan rekan kerjanya di BUMN. Tentang pertemuan yang terlalu sering. Tentang kabar bahwa suaminya berniat menikah lagi.
Kesedihan Teh Nadia bukan sekadar cemburu. Ia merasa gagal menjadi tempat pulang. Di sisi lain, Mas Denden merasa tak lagi dilihat. Kesepian membuatnya mudah menyambut perhatian Mbak Yeyen—yang hadir dengan teh hangat di pagi hari, atau nasi goreng di malam lembur.
Kang Asaka mendengar kabar itu perlahan. Ia tahu, dalam “laku”, manusia sering tergelincir bukan karena niat jahat, melainkan karena lupa. Lupa bahwa pujian sejati bukan dicari, melainkan tumbuh dari tanggung jawab.
Mas Denden memanfaatkan kepergian Teh Nadia. Awalnya hanya obrolan. Lalu rasa. Mbak Yeyen, dengan luka masa lalunya, menemukan sandaran. Keduanya merasa dimengerti—padahal sedang saling mengisi kekosongan yang tak semestinya.
Kang Asaka mulai melihat gelagat yang tak baik. Ia menyinggung Mbak Yeyen dengan bahasa halus tentang amanah dan kepercayaan. “Ada pujian yang tak terdengar,” katanya, “tapi berat di hadapan Tuhan.”
Ia juga mendengar bahwa Teh Nadia sering curhat kepada seseorang di luar kantor. Kekhawatiran muncul: jangan-jangan luka dimanfaatkan. Dalam pandangan Kang Asaka, manusia yang terpuji bukan yang bersih tanpa salah, melainkan yang berani berhenti sebelum jauh. Tapi roda sudah berputar.
Mas Denden semakin yakin pada keputusannya. Ia merasa berhak bahagia. Ia lupa bahwa kebahagiaan tanpa kejujuran hanya menunda luka.
Tahun 2010, anak kedua Teh Nadia menikah. Rumah ramai, tapi hati keluarga terkejut: Mas Denden telah menikahi Mbak Yeyen secara sirri, tiga bulan sebelum pernikahan anaknya, Zakia.
Teh Nadia terpukul. Bukan hanya karena pengkhianatan, tapi karena ia merasa kehilangan martabat. Ia teringat pesan Kang Asaka tentang “Orang Yang Terpuji”—tentang pujian Ilahi yang lahir dari kejernihan, bukan pembenaran diri.
Teh Nadia memecat Mbak Yeyen dari WISATA BAHAGIA. Keputusan itu pahit, tapi perlu. Ia juga menyadari kesalahannya sendiri: ia terlalu sibuk hingga lupa merawat rumah batin.
Mas Denden menunduk. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak terpuji—bukan karena orang lain mencela, tapi karena nuraninya diam.
Kang Asaka datang sebagai penengah. Ia tak membela siapa pun. Ia hanya mengingatkan bahwa anak-anak telah besar, dan cucu pertama segera lahir. Keluarga memilih tetap berjalan, dengan luka yang disadari. Setelah itu, Kang Asaka kembali ke Nurabi. Ia tak lagi berkomunikasi. Baginya, peran sudah selesai
Dalam sunyi, ia berdoa: semoga mereka belajar satu hal—bahwa “Orang Yang Terpuji” bukan tentang dipuji manusia, melainkan tentang pantas dipuji Tuhan karena kejujuran, tanggung jawab, dan kesediaan berubah.
*****
Judul: Cerpen Fatamorga: Menyibak Orang Yang Terpuji
Pengarang: Abah Ahmadin (Pengasuh Saung Laran)












