Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 2)

Artikel ini ditulis oleh: Gelar Taufiq Kusumawardhana

Ilustrasi: Naskah kuna dan situs sejarah - (Sumber: Bing Image Creator AI)
Ilustrasi: Naskah kuna dan situs sejarah - (Sumber: Bing Image Creator AI)

MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (23/10/2024) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 2)” ini ditulis oleh: Gelar Taufiq Kusumawardhana.

Penafsiran Terhadap Tri Tantu dalam Naskah-Naskah Sunda Kuno

Kajian penafsiran terhadap naskah-naskah Sunda Sunda Kuno dalam konteks ini dengan cara memberlakukan prinsip-prinsip penafsiran sebagaimana umumnya terhadap naskah-naskah kitab yang disucikan, naskah-naskah yang mengandung nilai-nilai filosofis, dan naskah-naskah yang mengandung pengajaran filsafat (Reese, William L. (1980). Dictionary of Philosophy and Religion. Sussex: Harvester Press.) karena konsep Tri Tantu di Buana dalam naskah-naskah Sunda Kuno itu sendiri merupakan bagian dari jenis naskah-naskah yang mengandung nilai-nilai filosofis (kasundaan).

Sementara nilai-nilai filosofis kesundaan itu sendiri, pada gilirannya dapat diduga terhubung juga dengan nilai-nilai keagamaan yang terkandung dalam naskah-naskah keagamaan sebagai pijakan dasarnya, yakni dalam konteks ini bahwa sistem pengajaran filosofis kasundaan pada naskah-naskah Sunda Kuno dapat diduga masih terhubung dengan sistem keyakinan Hindu, terutama tahap perkembangan keyakinan yang berpijak pada naskah-naskah setelah Weda (post-Vedic religion). Bahkan, termasuk kemungkinan pertalian antara sistem keyakinan Hindu (Sanata Dharma, Vedanta, Vaidika Dharma, Brahmanisme) yang telah bersentuhan juga secara sinkretik dalam batas-batas tertentu dengan sistem keyakinan Budha (Budha Dharma) yang dalam analisa para pakar biasa disebut secara khusus dengan corak Siwa-Budha.

Melalui pendekatan penafsiran (hermenetika) itulah, diharapkan konsep Tri Tantu di Buana yang terdapat dalam naskah-naskah Sunda Kuno, dapat dipahami setepat mungkin maksudnya dan sekaligus menghindari sebisa mungkin terhadap kekeliruan dalam menafsirkannya (E. Sumaryono. 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.).

Biasanya dalam melakukan kegiatan penafsiran (hermenetika) terhadap naskah-naskah maupun konteks-konteks naskah tersebut, secara akademik menggunakan beberapa pendekatan khusus antara lain: (1) kritik teks; (2) kritik sejarah; (3) kritik bahasa; (4) kritik sastra; (5) kritik bentuk; (6) kritik tradisi; (7) kritik redaksi; (8) kritik struktur; (9) kritik kanonik; dan lain sebagainya (John H. Hayes & Carl R. Holladay. Biblical Exegesis, Atlanta: John Knox Press, 1982.).

Gelar Taufiq Kusumawardhana
Gelar Taufiq Kusumawardhana, penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Namun demikian, dengan menimbang bahwa yang paling dibutuhkan dalam menafsirkan konsep Tri Tantu di Buana dalam naskah-naskah Sunda Kuno adalah keterkaitannya dengan konsep-konsep lainnya yang kemungkinan menjadi dasar pijakannya dalam lintasan sejarah. Oleh karena itu pendekatan ideal yang dapat dilakukan terhadap konsep Tri Tantu di Buana itu sendiri adalah kritik sejarah (historical criticism).

Adapun kritik sejarah dapat diartikan sebagai penyelidikan terhadap naskah-naskah ataupun konteks-konteks naskah supaya mampu memahami “dunia di balik naskah” (Soulen, Richard N.; Soulen, R. Kendall (2001). Handbook of biblical criticism (3rd ed., rev. and expanded. ed.). Louisville, Ky.: Westminster John Knox Press.). Sehingga konsep Tri Tantu di Buana dalam naskah-naskah Sunda Kuno dapat dipahami sesuai dengan konteks pesannya dalam ruang dan waktu yang sesungguhnya.

Adapun rambu-rambu yang harus dilakukan dalam melakukan kritik sejarah (kajian sejarah) terhadap naskah-naskah, misalnya dalam konteks naskah-naskah keagamaan adalah “menunda penilaian apapun terhadap isi naskah-naskah keagamaan dan relevansinya hingga menyelesaikan penafsiran yang dilakukan” (Sinai, Nicolai (2017). The Qur’an: a historical-critical introduction. The new Edinburgh Islamic surveys. Edinburgh: Edinburgh University Press.).

Dengan demikian, prinsip penafsiran melalui pendekatan kritik sejarah dilakukan secara induktif (exegese), yakni memberikan ruang secara terbuka terhadap pengamatan teks apa adanya dan membebaskan diri dari pertimbangan-pertimbangan mengenai relevansinya, sehingga makna yang sesungguhnya dari naskah-naskah kuno yang dikaji dapat terungkap secara lebih akurat dan otentik.

Sementara setelah mampu menangkap kandungan maknanya secara akurat dan otentik melalui bentuk penelitian dasar (pure research) maka pertimbangan soal konsekuensi, implikasi, dan relevansi kajian tersebut dalam bentuk penilaian-penilaian teoretik dan penerapan-penerapan konsep Tri Tantu di Buana dalam bentuk penelitian terapan (applied research) tertentu dapat dilakukan. Melalui kajian dasar (pure research) itulah, kajian-kajian terapan (applied research) pada gilirannya dapat berjalan dalam konteks-konteks yang bersifat relevan.

Namun demikian, dengan mempertimbangkan bahwa konsep Tri Tantu di Buana itu sendiri tersebar luas dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang tersebar luas dalam naskah-naskah Sunda Kuno, antara lain: (1) Amanat Galunggung; (2) Carita Parahiyangan; (3) Fragmen Carita Parahiyangan; dan (4) Sanghiyang Sasana Waruga Guru.

Sementara dalam setiap naskah-naskah Sunda Kuno yang telah disebutkan tersebut, pernyataan-pernyataan mengenai konsep Tri tangtu di Buana juga tersebar luas dalam fragmen-fragmen yang berbeda. Oleh karena itu langkah terkecil yang paling realistis untuk dapat dilakukan dalam konteks tulisan ini, dapat dibatasi terlebih daluhu pada bentuk pengkajian secara kritis terhadap satu  pernyataan (dari 11 pernyataan) dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M.

Ini triwarga di lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi. Nya mana tritan(g)tu pineguh ning bwana, triwarga hurip ning jagat. Ya sinangguh tritan(g)tu di nu reya ngaranya”. (Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Darsa. “Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung”. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bandung, 1987 M. Pada bagian “Bab III Sanghyang Siksakandang Karesian, 3.1. Penyajian Teks, XXVI”, halaman 90). (Bersambung …).

***

Judul: Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 2)
Penulis: Gelar Taufiq Kusumawardhana
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas info penulis

Gelar Taufiq Kusumawardhana adalah Anggota Dewan Pakar Sejarah dan Kebudayaan, Majelis Masyarakat Sunda (MMS), Ketua Yayasan Buana Varman Semesta, dan Kandidat Doktor pada Konsentrasi Agama dan Budaya, Program Studi Agama-Agama, Program Pascasarjana (S3), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung). Kini ia bermukim di Perumahan Pangauban Silih Asih, Blok R, No. 37, Desa Pangauban, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.

***

Baca juga: Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *