MajmusSunda News, Kolom Artikel/Opini, Rabu (24/09/2025) – Artikel Serial Tropikanisasi dan Kooperatisasi berjudul “Tropikanisasi-Kooperatisasi MBG – Peperangan di Kantin Sekolah” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Pinisepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.
Babak 1: Kegerahan Semar dan Permufakatan Antagonis
Setting: Kantin SD Negeri Tunas Tropika, pagi buta. Semar memegang nasi kotak berjamur yang dibuang seorang guru. Cepot, Gareng, dan Petruk (Dawala) mengelilinginya dengan wajah muram.
SEMAR: (Menghela napas) “Lho, lho… anak-anak kita dikasih makan ini? Nasi dingin, lauk tanpa rempah, buah ada belatungnya. Alam tropika kita adalah gudang penyakit, tapi juga gudang obat! Nenek moyang kita sudah ajarkan: rempah-rempah seperti kunyit dan lengkuas adalah antibiotik alami. Ini bukan MBG, ini Makanan Bikin Gawat!”
CEPOT: (Sambil memegang perut) “Iya, Ki Semar! Tadi aku lihat Sengkuni lagi bisik-bisik sama Dursasana di warung kopi. Katanya program MBG yang pakai rempah dan koperasi itu ‘merugikan bisnis’ mereka!”
Tiba-tiba, Kresna dan Arjuna muncul dari balik tenda kantin. Wajah mereka serius.
KRESNA: “Semar, kabar ini sudah sampai ke Istana. Banyak pihak sakit hati karena program MBG yang kooperatif akan memutus rantai ‘proyek’ mereka. Padahal, rempah-rempah kita adalah warisan yang terbukti mengatasi sumber penyakit tropika.”
ARJUNA: “Srikandi sedang investigasi. Ternyata, Dorna jadi konsultan catering yang sengaja memasok MBG tanpa rempah agar cepat basi – lalu mereka bisa tambah anggaran ‘darurat’!”
Babak 2: Pertemuan Rahasia Antagonis & Rencana Pengacauan
Setting: Warung Kopi “Sengkuni”, ruang belakang.
SENGKUNI: (Menggosok-gosok tangan) “Dorna, kamu pastikan surat perjanjian itu tetap berlaku? Kalau ada keracunan, bukan salah catering! Jangan sampai mereka tahu bahwa rempah-rempah bisa cegah keracunan!”
DORNA: (Sombong) “Tenang! Aku sudah atur di dimas. Kita sebarkan bahwa bumbu tradisional itu ‘kuno’ dan tidak higienis. Yang penting sekolah tetap jadi objek pasif.”
DURSASANA: (Mengunyah kerupuk) “Tapi katanya Semar mau ganti nasi putih dengan nasi coklat berbumbu! Nanti kita bisa bangkrut, dong!”
SENGKUNI: (Terkekeh) “Kita gempur dengan hoaks: katakan nasi coklat bikin diare, dan rempah-rempah itu tidak ilmiah! Aku sudah bayar buzzer medsos.”
Babak 3: Kelihaian Pandawa dan Strategi Tropikanisasi
Setting: Balai Pertemuan Koperasi Sekolah. Semar, Kresna, Arjuna, Nakula, Sadewa, dan Srikandi rapat.
NAKULA: (Ahli kesehatan) “Data saya tunjukkan: keracunan terjadi karena makanan tanpa rempah dibiarkan di suhu ruang. Solusinya: tropikanisasi! Masak pakai kunyit (anti-peradangan), lengkuas (pembunuh bakteri), dan serai (antiseptik) – seperti warisan leluhur kita!”
SADEWA: (Ahli logistik) “Saya sudah hitung: beli beras coklat langsung dari petani, masak di dapur sekolah dengan bumbu rempah lengkap, lebih murah 30% dan lebih aman!”
SRIKANDI: (Berseragam inspektur) “Saya usut, Dorna sengaja menghilangkan rempah dari menu agar makanan cepat busuk. Surat perjanjian itu tidak sah karena melanggar UU Perlindungan Anak!”
ARJUNA: “Aku akan latih siswa jadi ‘Duta Rempah’. Mereka yang akan edukasi teman-temannya tentang kekuatan antibakteri dari bumbu dapur kita.”
KRESNA: (Berkedip bijak) “Kita lawan hoaks Sengkuni dengan bukti. Besok, kita demo masak nasi coklat gulai ayam di depan sekolah – tunjukkan bahwa rempah Nusantara adalah teknologi pangan tropika yang sudah teruji!”
Babak 4: Pertarungan Ideologi di Medan Kantin
Setting: Hari Peluncuran Program “Koperasi Dapur Tropika”. Sengkuni dan Dursasana datang dengan membawa poster “MBG RESMI LEBIH BAIK”.
DURSASANA: (Teriak) “Jangan makan nasi coklat! Itu beras kelas rendah! Rempah-rempah itu jadul!”
Tiba-tiba, Cepot muncul dengan microphone dan sepiring nasi coklat kunyit yang wangi.
CEPOT: “Wahai warga sekolah! Ini bukan sekadar nasi! Ini adalah nasi coklat berbumbu – kunyitnya melawan bakteri, serainya mengusir penyakit, dan lengkuasnya mengawetkan alami! Ini warisan leluhur yang disempurnakan sains!”
Sementara itu, Gareng dan para siswa memamerkan kebun sekolah: cabai, kunyit, serai yang mereka tanam.
SENGKUNI: (Marah) “Ini melanggar aturan! Hanya catering kami yang berizin!”
Tiba-tiba, Semar mendekat dengan senyum tenang.
SEMAR: “Sengkuni, aturan itu untuk melindungi anak, bukan melindungi proyekmu. Tropika kita mengharuskan makanan kaya rempah. Ini bukan pilihan, tapi kebutuhan hidup!”
Seorang siswa kecil mencoba nasi coklat gulai, lalu tersenyum lebar. “Enak, Ki Semar! Kata Nakula, ini ada kunyitnya buat lawan bakteri!”
Sorak-sorai pecah. Guru-guru yang tadinya takut, kini berani menandatangani petisi menolak catering Dorna.
Babak 5: Kemenangan Subjek Pendidikan
Setting: Tiga bulan kemudian. SD Negeri Tunas Tropika jadi percontohan nasional.
- Siswa jadi ahli gizi cilik: mereka paham fungsi rempah dan protokol keamanan pangan tropika.
- Guru dan orang tua jadi pengurus koperasi dapur sekolah yang mandiri, dengan menu berbasis rempah warisan leluhur.
- Petani lokal dan UMKM jadi pemasok tetap rempah-rempah segar.
KRESNA: (Bersama Semar memandang kantin yang ramai) “Inilah makna sebenarnya: rempah-rempah tidak hanya menyelamatkan dari keracunan, tetapi juga memulihkan kedaulatan pangan kita.”
SEMAR: (Mengangguk-angguk) “Iya, Kresna. MBG bukan lagi Makanan Bikin Gawat, tapi Mandiri, Bergizi, dan Gotong Royong – dengan rempah-rempah sebagai tulang punggungnya.”
CEPOT: (Nyelip sambil makan kerupuk) “Dan Makan Beneran Gembira!”
Sekian
***
Noted:
Tropikanisasi adalah sebuah konsep transformatif yang merujuk pada proses mengangkat, memulihkan, dan memodernisasi kekayaan tropis—baik dalam pangan, budaya, ekonomi, maupun spiritualitas—sebagai fondasi kedaulatan dan keberlanjutan bangsa tropis seperti Indonesia.
Judul: Tropikanisasi-Kooperatisasi MBG – Peperangan di Kantin Sekolah
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas Info Penulis
Prof. Agus Pakpahan memimpin IKOPIN University sejak 29 Mei 2023 untuk periode 2023–2027. Ia dikenal sebagai ekonom pertanian yang menaruh perhatian pada penguatan ekosistem perkoperasian dan tata kelola kebijakan publik.

Di bawah kepemimpinan Agus Pakpahan, IKOPIN mendorong kemitraan strategis dan pembenahan tata kelola kampus, termasuk menyambut inisiatif pemerintah agar IKOPIN bertransformasi menuju skema Badan Layanan Umum (BLU) di lingkungan Kemenkop UKM—sebuah langkah untuk memperkuat daya saing kelembagaan dan mutu layanan pendidikan. “Pendidikan yang berpihak pada kemajuan adalah jembatan masa depan,” demikian ruh visi yang ia usung.
Lahir di Sumedang, 29 Januari 1956, Agus Pakpahan menempuh S-1 di Fakultas Kehutanan IPB (1978) dan meraih M.S. Ekonomi Pertanian di IPB (1981). Ia kemudian meraih Ph.D. Ekonomi Pertanian dengan spesialisasi Ekonomi Sumber Daya Alam dari Michigan State University (1988). Latar akademik ini mengokohkan reputasinya di bidang kebijakan sumber daya alam, pertanian, dan pembangunan pedesaan. “Ilmu adalah cahaya; manfaatnya adalah sinar yang menuntun,” menjadi prinsip kerja ilmiahnya.
Kariernya panjang di pemerintahan: bertugas di Bappenas pada 1990-an, lalu dipercaya sebagai Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (1998–2002). Di tengah restrukturisasi, ia memilih mundur pada 2002—sebuah sikap yang tercatat luas di media arus utama.
Sesudahnya, Agus Pakpahan menjabat Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan (2005–2010), memperlihatkan kapasitasnya menautkan riset, kebijakan, dan bisnis negara. “Integritas adalah kompas; kebijakan adalah peta,” ringkasnya tentang tata kelola.
Sebagai akademisi-pemimpin, Agus Pakpahan aktif membangun jejaring dan kurikulum. Kunjungan kerja ke FEB UNY menegaskan orientasi penguatan kompetensi usaha dan koperasi, sementara di tingkat lokal ia melepas ratusan mahasiswa KKN untuk mengabdi di puluhan desa di Sumedang—mendorong pembelajaran kontekstual dan solusi nyata bagi masyarakat. “Belajar adalah bekerja untuk sesama,” begitu pesan yang kerap ia gaungkan pada kegiatan kampus.
Di luar kampus, kiprah Agus Pakpahan terekam dalam wacana publik seputar hutan, pertanian, ekonomi sirkular, dan perkoperasian—menginspirasi komunitas petani serta pemangku kepentingan untuk berinovasi tanpa meninggalkan nilai-nilai gotong royong.
Esai dan pandangan Agus Pakpahan di berbagai media bereputasi menunjukkan konsistensinya pada pembangunan yang adil dan berkelanjutan. “Kemajuan tanpa keadilan hanyalah percepatan tanpa arah; keadilan memberi makna pada laju,” adalah mutiara yang merangkum jalan pikirannya.