MajmusSunda News, Kolom Artikel/Opini, Rabu (03/09/2025) – Artikel Serial Kooperatisasi berjudul “SNI Beras Patriot Bangsa: Merevolusi Kebijakan Pangan dari Ketahanan Menuju Kedaulatan” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Pinisepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.
Pendahuluan: Darurat Gizi dan Pangan
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan RI menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan: hampir satu dari empat anak Indonesia mengalami stunting, sementara penyakit kronis seperti diabetes, jantung, dan stroke menjadi pembunuh nomor satu. Ironisnya, solusi atas krisis ini justru kita buang setiap hari dalam bentuk dedak atau rice bran pada proses penggilingan beras putih.
Bung Karno pernah berpidato, “Pangan rakyat adalah persoalan hidup matinya bangsa.” Pernyataan ini harus dimaknai ulang. Bukan sekadar tentang ketersediaan kalori (food security), tetapi tentang kualitas gizi setiap kalori dan kedaulatan pangan atas pilihan pangan untuk kebesaran bangsa ini. Oleh karena itu, sudah waktunya untuk membahas perubahan kebijakan yang prinsipil. Tulisan ini merupakan partisipasi untuk menyampaikan gagasan dan mendiskusikan hal tersebut.

Mengapa Perlu SNI Beras Patriot Bangsa?
Kebijakan saat ini hanya memiliki SNI 6128:2020 tentang Beras yang fokus pada mutu fisik (kadar air, butir rusak, benda asing) dan kimia dasar. SNI ini tak melihat gizi karena tidak membedakan nilai intrinsik beras coklat dan beras putih. Bahkan, standar keberadaan rice bran dalam SNI beras premium dibatasi maksimal hanya 5%.
Artinya, menurut SNI, beras premium justru harus terbebas dari rice bran—sumber nutrisi terpenting. Oleh karena itu, diperlukan standardisasi baru yang berpihak pada kesehatan bangsa dan keberpihakan pada kualitas insan Indonesia masa kini dan terutama masa depan.
SNI Beras Patriot Bangsa
Pada Serial Tropikanisasi Edisi 2 September 2025 disampaikan bahwa untuk keluar dari social trap—yaitu bias pemikiran bahwa nasi putih lebih baik daripada nasi coklat—diperlukan sifat dan sikap patriotisme.
SNI Beras Patriot Bangsa harus menjadi standar induk yang mengklasifikasikan beras berdasarkan nilai gizinya:
- Kelas Premium: Beras Patriot Bangsa (Beras Whole Grain)
- Cakupan: Beras coklat, beras merah, beras hitam. Syarat: Harus mempertahankan lapisan dedak (bran) dan germ secara utuh. Standar mutu fisik tetap berlaku, dengan penekanan pada kandungan gizi minimal (serat, vitamin B1, magnesium, dll.); Logo: Logo khusus “Beras Patriot Bangsa” pada kemasan.
- Kelas Dasar: Beras Putih (Beras Polished)
- Syarat: Standar mutu fisik dan kimia existing tetap berlaku.
- Peringatan pada Kemasan: “Produk ini telah melalui proses polishing yang mengurangi kandungan zat gizi mikro. Disarankan untuk memperbanyak konsumsi sumber serat dan vitamin lainnya.”
- Klasifikasi ini bukan untuk melarang, tetapi untuk mendidik dan mengarahkan (nudge theory).
Kebijakan Insentif yang Diperlukan
Penerbitan SNI baru perlu diikuti dengan paket kebijakan insentif yang memadai:
1. Insentif Fiskal:
- Subsidi Selektif: Alihkan subsidi pupuk, benih, dan listrik untuk penggilingan secara progresif kepada petani dan penggiling yang memproduksi Beras Patriot Bangsa.
- Tax Exemption: Beras Patriot Bangsa dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2. Insentif Non-Fiskal:
- Prioritas Pembelian Pemerintah: Bulog dan instansi pemerintah (TNI, Polri, rumah sakit, sekolah) wajib membeli dan mendistribusikan Beras Patriot Bangsa untuk program bantuan pangan dan logistik.
- Jaminan Ketersediaan: Pemerintah menjamin pembelian (off-taker) gabah/beras whole grain dengan HPP yang menarik; Dukungan Teknologi & Logistik: Subsidi dan bantuan teknis untuk pengadaan mesin pengemas vakum dan penyimpanan berpendingin untuk mengatasi tantangan daya simpan beras coklat.
3. Insentif Regulasi dan Pasar:
- Labeling Wajib: Semua kemasan beras putih wajib mencantumkan peringatan kesehatan sebagaimana di atas.
- Kampanye Nasional: Gerakan masif “Sehari Seperti Baduy” atau “One Day No White Rice” yang didukung oleh public figures dan media.
Dampak yang Diharapkan
1. Perbaikan Gizi Nasional: Asupan serat dan mikronutrien masyarakat meningkat, berkontribusi langsung pada penurunan stunting dan prevalensi penyakit kronis.
2. Efisiensi Produksi Pangan: Dengan rendemen yang lebih tinggi (78-80% vs 60%), ketersediaan beras meningkat signifikan tanpa menambah luas lahan. Ini menjawab tantangan pertumbuhan populasi.
3. Penghematan Anggaran Kesehatan: Pencegahan penyakit melalui perbaikan gizi akan meringankan beban BPJS Kesehatan yang sudah defisit.
4. Keadilan bagi Petani: Petani mendapat nilai tambah yang lebih tinggi dari hasil panennya karena menjual produk yang lebih bernutrisi, bukan yang telah dikurangi nilai gizinya.
Penutup: Dari Ketahanan Menuju Kedaulatan
Selama ini, kebijakan pangan kita berhenti pada paradigma ketahanan pangan (food security)—yakni menjamin ketersediaan kalori yang cukup. Dengan kebijakan ini, kita beralih kepada kedaulatan pangan (food sovereignty)—yakni hak bangsa untuk menentukan sistem pangan yang sehat, berkelanjutan, dan sesuai dengan nilai-nilai kulturalnya.
SNI Beras Patriot Bangsa bukan sekadar standar teknis. Ia adalah sebuah pernyataan politik: bahwa bangsa ini memilih untuk tidak lagi membuang masa depannya di tempat penggilingan padi.
Mari wujudkan revolusi di meja makan. Terbitkan SNI Beras Patriot Bangsa sekarang juga!
***
Noted:
Artikel ini adalah bagian dari Serial Tropikanisasi yang membahas inovasi kebijakan berbasis kekayaan alam tropis Indonesia, antara lain, untuk kedaulatan pangan dan gizi.
Judul: Patriotisme Dimulai dari Sepiring Nasi Coklat: Revolusi Koperasi Pangan Indonesia
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas Info Penulis
Prof. Agus Pakpahan memimpin IKOPIN University sejak 29 Mei 2023 untuk periode 2023–2027. Ia dikenal sebagai ekonom pertanian yang menaruh perhatian pada penguatan ekosistem perkoperasian dan tata kelola kebijakan publik.

Di bawah kepemimpinan Agus Pakpahan, IKOPIN mendorong kemitraan strategis dan pembenahan tata kelola kampus, termasuk menyambut inisiatif pemerintah agar IKOPIN bertransformasi menuju skema Badan Layanan Umum (BLU) di lingkungan Kemenkop UKM—sebuah langkah untuk memperkuat daya saing kelembagaan dan mutu layanan pendidikan. “Pendidikan yang berpihak pada kemajuan adalah jembatan masa depan,” demikian ruh visi yang ia usung.
Lahir di Sumedang, 29 Januari 1956, Agus Pakpahan menempuh S-1 di Fakultas Kehutanan IPB (1978) dan meraih M.S. Ekonomi Pertanian di IPB (1981). Ia kemudian meraih Ph.D. Ekonomi Pertanian dengan spesialisasi Ekonomi Sumber Daya Alam dari Michigan State University (1988). Latar akademik ini mengokohkan reputasinya di bidang kebijakan sumber daya alam, pertanian, dan pembangunan pedesaan. “Ilmu adalah cahaya; manfaatnya adalah sinar yang menuntun,” menjadi prinsip kerja ilmiahnya.
Kariernya panjang di pemerintahan: bertugas di Bappenas pada 1990-an, lalu dipercaya sebagai Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (1998–2002). Di tengah restrukturisasi, ia memilih mundur pada 2002—sebuah sikap yang tercatat luas di media arus utama.
Sesudahnya, Agus Pakpahan menjabat Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan (2005–2010), memperlihatkan kapasitasnya menautkan riset, kebijakan, dan bisnis negara. “Integritas adalah kompas; kebijakan adalah peta,” ringkasnya tentang tata kelola.
Sebagai akademisi-pemimpin, Agus Pakpahan aktif membangun jejaring dan kurikulum. Kunjungan kerja ke FEB UNY menegaskan orientasi penguatan kompetensi usaha dan koperasi, sementara di tingkat lokal ia melepas ratusan mahasiswa KKN untuk mengabdi di puluhan desa di Sumedang—mendorong pembelajaran kontekstual dan solusi nyata bagi masyarakat. “Belajar adalah bekerja untuk sesama,” begitu pesan yang kerap ia gaungkan pada kegiatan kampus.
Di luar kampus, kiprah Agus Pakpahan terekam dalam wacana publik seputar hutan, pertanian, ekonomi sirkular, dan perkoperasian—menginspirasi komunitas petani serta pemangku kepentingan untuk berinovasi tanpa meninggalkan nilai-nilai gotong royong.
Esai dan pandangan Agus Pakpahan di berbagai media bereputasi menunjukkan konsistensinya pada pembangunan yang adil dan berkelanjutan. “Kemajuan tanpa keadilan hanyalah percepatan tanpa arah; keadilan memberi makna pada laju,” adalah mutiara yang merangkum jalan pikirannya.