MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (14/10/2024) – Artikel dalam berjudul “Sejarah Pagebug di Tatar Sunda – Bagian 2” ini ditulis oleh: Dicky Budiman, Dokter (Unpad), Epidemiolog (Griffith Univ), Environmental Health (Griffith Univ), PhD Peneliti Global Health Security (Pandemic, Leadership, Risk Comm) Center for Environment and Population Health Griffith University – Australia, dan Anggota Forum Dewan Pakar Riset, Ketenagakerjaan, UMKM dan Pemberdayaan Masyarakat, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Sasalad di Tatar Sunda
“Sanghyang Sasana Maha Guru”
“Yata duka kunang tribwana lwaka ngaranya. Kahuruan dayeuh, burung tahun, eleh ku sasalad, larukangkang salah masa, sarba pala tan pawwah, sarba satwa añarak. Yata duka kunang tribwana lwaka ngaranya ma.”
Terjemahannya: “Yaitu kesengsaraan di tiga dunia tempat manusia tribwana loka. Negara mengalami kebakaran, gagal panen, hancur karena wabah, musim kemarau berkepanjangan yang tidak pada waktunya, semua buah-buahan tidak berbuah, semua binatang musnah. Itulah kesengsaraan di tiga dunia tempat manusia”.
Kutipan di atas ini diambil dari naskah Sunda kuna di awal abad ke-16 “Sanghyang Sasana Maha Guru” yang disunting dan diterjemahkan oleh Aditia Gunawan (Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan, 2009). Sanghyang Sasana Maha Guru adalah sebuah teks Sunda Kuna pada masa sebelum Islam datang di tanah Sunda.
Alasan penulis mengutip naskah Sunda kuna di atas karena sangat berkaitan dengan topik tulisan, antara lain terkait bahasan wabah atau sasalad di mana penulis sebagai orang Sunda yang bergelut di bidang kesehatan memahaminya sebagai wabah atau epidemi.
Artinya, sasalad masih dikenal dalam bahasa Sunda saat ini dalam arti yang relatif sama dengan naskah Sunda kuno di atas. Sasalad dalam naskah kuno tersebut merujuk pada gagal panen yang diakibatkan wabah penyakit yang masif. Hal ini menurut para ahli sejarah Sunda, dapat diartikan bahwa sasalad adalah kata lain dari wabah atau pageblug.
Kutipan naskah ini menjadi bukti tertua penggunaan kata sasalad dalam arti wabah dalam bahasa Sunda. Hal ini juga diperkuat peneliti Sunda, Sierk Coolsma (Soendaneesch-Hollandsch woordenboek, 1884, 1913: 556) yang menuliskan “Sasalad, ong. = pagëboeg, plaag, een heerschende ziekte, epidemie” atau diartikan sebagai wabah, sampar, penyakit menular, epidemi.
Selain itu, peneliti lain, F.S. Eringa (Soendaas-Nederlands woordenboek, 1984: 657): menyebutkan bahwa “salad, sasalad: epidemie, besmettelijke ziekte” adalah epidemi atau penyakit menular. R. Sacadibrata (Kamus Basa Sunda, 2005: 134, 272, 347) dan R.A. Danadibrata (Kamus Basa Sunda, 2006: 481, 614) kemudian juga memberikan arti bahwa sasalad adalah wabah penyakit.
Bukti penggunaan kata sasalad dapat disimak dari buku Sunda Pandji Woeloeng (1876: 6) karya R.H. Moesa, yang memiliki kalimat “Dumadakan manggih mayit, sakitan keuna sasalad, ceulina dikeureut bae” (Tiba-tiba menemukan mayat, meskipun bekas terkena wabah, telinganya terus dipotong).
Juga dalam Tjarita Djalma Paminggatan (1912: 35) karya R. Ardiwinata, tertulis “… kaula bet katarajang nyeri suku, nya eta sasalad di eta tempat malah loba pisan anu maraot ku lantaran eta panyakit teh” (… saya jadi mengalami sakit kaki, yakni wabah yang berjangkit di tempat itu, bahkan banyak sekali orang yang meninggal akibat penyakit itu).
C.M. Pleyte dalam Pariboga: Roepa-roepa Dongeng Soenda (1914: 6) menyampaikan hal yang serupa, dengan kalimat: “Boga bujang keur sahiji teh, paeh katarajang sasalad …” (Hanya punya satu-satunya pembantu lelaki, malah meninggal karena terjangkit wabah).
Tulisan R. Sacadibrata dalam buku Dongeng-dongeng Sasakala Jilid 2 (1952: 164), terdapat kutipan, “Jakasona jeung aki pangebon kaget reh nagara combrek tiiseun, sabab katarajang sasalad banget, nu gering sore, paeh isuk, gering isuk, paeh sore” (Jakasona dan kakek jurukebun merasa kaget karena mendapati kerajaan sepi, sebab terjangkit wabah yang hebat, yang sakit pada sore hari, meninggal esok paginya, orang yang sakit pagi hari meninggal sore harinya).
Ini semua menggambarkan suasana sasalad atau pagebluk yang mematikan dan menyebar dengan cepat.
Bahasa Sunda mengenal kata lain selain sasalad, untuk wabah, yaitu istilah pagebug yang kemungkinan besar ditimba dari bahasa Jawa, pagebluk atau pageblug. Pagebluk sendiri berasal dari kata geblug atau bluk yang baik dalam budaya Sunda ataupun Jawa, diartikan sebagai jatuh, tumbang atau tersungkur. Maksudnya, pagebluk adalah sebuah fenomena yang menyebabkan jatuhnya korban dalam jumlah besar dengan skala yang luas. Karena itu, istilah geblug sendiri memiliki arti yang serupa dengan ledakan.
Sejarah Kuna Tanah Sunda terkait Pengendalian Penyakit
Setelah penulis membaca dan meniliti naskah Sunda kuna “Sanghyang Sasana Maha Guru” (SSMG) terjemahan Aditia Gunawan, terdapat beberapa hal terkait upaya pengendalian penyakit yang telah dianjurkan pada masyarakat di tanah Sunda pada masa sebelum kedatangan agama Islam. Naskah menyebutkan bahwa setiap manusia memiliki potensi dalam dirinya.

Potensi secara kasat mata ada dalam sepuluh alat persepsi (dasaindriya) yang terdiri dari telinga, mata, hidung, lidah, mulut, kulit, tangan, anus, kelamin, dan kaki, sedangkan potensi tidak kasat mata, mencakup tiga unsur dalam diri manusia, yaitu bayu (tenaga), sabda (ucapan), dan hedap (pikiran). Pada bagian lain diterangkan bahwa bayu, sabda, dan hedap tidak ada, tetapi ada. Ketiga potensi ini meski tidak terlihat, tapi ada dan terasa dalam diri setiap manusia.
Pada bahasan tentang dasanaraka, dalam kitab Sunda kuna SSMG secara tegas disebutkan, bahwa penyalahgunaan atau tidak terjaganya perilaku terhadap dasaindriya maka akan berakibat kesengsaraan yang bisa dalam bentuk berbagai penyakit yang menimpa setiap bagian dari dasaindriya (tangan, kaki, kelamin dll) tersebut.
Hal tersebut dipertegas pula dalam dasamarga SSMG atau sepuluh cara untuk mengatasi dimensi buruk dari sepuluh indra itu agar mendapatkan dasautama atau sepuluh keutamaan. Di samping itu, naskah Sunda Kuna SSMG juga mengatur tentang etika kesehatan masyarakat Sunda saat itu, seperti larangan buang air besar di pinggir jalan. Kesemuanya ini menggambarkan betapa masyarakat Sunda saat itu, sudah memiliki tatanan yang menjaga dan mencegah terjadinya potensi penyakit atau pun sasalad (wabah). (Bersambung …).
***
Sekilas tentang penulis
Dicky Budiman adalah seorang dokter – Ahli Epidemiologi dan Ahli Kesehatan Lingkungan,
PhD Researcher Global Health Security, Leadership dan Risk Communication. Ia juga bekerja sebagai Penasehat Pemulihan Pandemi Menparekraf Republik Indonesia, Panel Ahli Pemulihan Pandemi WHO, dan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Periode 2022-2025.

Pria kelahiran Bandung, 9 September 1971 ini bernah menempuh pendidikan di Taman Kanak-Kanak (TK) di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Kemudian menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Moh. Toha Kota Bandung dan SD Negeri 1 Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Selanjutnya Dicky bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Rangkabitung, Kabupaten Lebak dan Sekolah Menengah Atas (SMA) BPI 1 Bandung.
Pendidikan tinggi Dicky dimulai di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Lau ia meneruskan pendidikan pascasarjana dengan mengambil gelar Master Epidemiologi dan Kesehatan Lingkungan di Griffith University, Australia. Pendidikan S3-nya dengan gelar PhD program Global Health Security diperolehnya di Griffith University, Australia.
Pria berdarah Sunda ini memiliki 24 tahun pengalaman kerja di berbagai Lembaga Nasional dan Global, yaitu Kemenkes, Bappenas, BPJS Kesehatan, Dinkes Kabupaten Tasikmalaya, Sekretariat ASEAN, Sekretariat OKI, UNDP, APEC, UNODC, dan WHO.
Selain itu, Dicky juga terlibat dalam beragam isu kesehatan global dan nasional, antara lain SARS, HIV & AIDS, Swine Flu, Flu Burung, IHR 2005, Diplomasi Kesehatan Global, ASEAN Charter, Renstra OKI, Misi Kesehatan di wilayah konflik, pembangunan RS ABMEC Paska Bom Bali, Pembangunan RS di Gaza Palestina, Program MDGs & SDGs, penyelesaian NAMRU dan GHSA. Saat ini menjadi narasumber media dan pemerintah untuk pengendalian Pandemi COVID-19 di Kawasan ASEAN dan Asia Pasifik.
Jejak karir dimulai dari Kepala Puskesmas Cisaruni di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat, kepala Kerja Sama Teknik dan Perjanjian Internasional, Kepala Kerja Sama Bilateral Kesehatan Kemenkes, dan National Project Officer Kantor MDGs Bappenas hingga terakhir menjadi Sekretaris Dewan Pengawas BPJS Kesehatan.
***
Judul: Sejarah Pagebug di Tatar Sunda – Bagian 2
Penulis: dr. Dicky Budiman, M.Sc. PH., PhD.
Editor: Jumari Haryadi
Baca juga: Sejarah Pagebug di Tatar Sunda – Bagian 1