MajmusSunda News, Kolom Artikel/Opini, Selasa (09/09/2025) – Artikel Serial Serial Tropikanisasi dan Kooperatisasi berjudul “Revolusi dari Piring ke Masa Depan: Mengakhiri Kegagalan Sistemik Pangan Indonesia dengan Beras Coklat dan Koperasi” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Pinisepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.
Lingkungan Persawahan yang Merana: Sebuah Kegagalan Sistemik, Anti-Ilmu Pengetahuan, Anti-Kebijakan, dan Anti-Filosofi
Mengapa persawahan tropika Indonesia merana? Mengapa petani semakin menggurem? Mengapa pabrik penggilingan padi tutup atau menjadi kumuh? Mengapa beras menjadi komoditas inferior dibanding terigu? Mengapa lumbung padi hilang? Mengapa Global Hunger Index (GHI) Indonesia stagnan dan hampir tertinggal 50 tahun dari negara maju, sementara stunting dan penyakit degeneratif meningkat?
Jawabannya terletak pada paradigma keliru yang mengorbankan nutrisi untuk kepentingan pasar sesaat. Kita telah mengonsumsi beras putih yang nutrisinya nyaris hilang—dibuang melalui penggilingan berlebihan. Yang lebih memprihatinkan, kebijakan dan preferensi ini merepresentasikan sikap anti-ilmu pengetahuan (anti-science), anti-kebijakan (anti-wisdom), dan anti-filosofi (anti-love of wisdom) yang nyata.
Kebijakan mempromosikan beras putih adalah anti-kebijakan karena kebijakan sejati (wisdom) haruslah berdasarkan pengetahuan yang benar untuk kebaikan jangka panjang. Pilihan ini jelas salah secara ilmiah namun terus dipertahankan. Ini juga anti-filosofi karena filosofi pada hakikatnya adalah cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom), sementara kita justru membuang kebijaksanaan leluhur (seperti mematikan lumbung–bukannya merevitalisasi sesuai kemajuan zaman).
Bukti ilmiah yang jelas tentang superioritas gizi beras coklat dan bekatul diabaikan secara sistematis demi preferensi rasa dan penampilan semata. Ini adalah tragedi ganda: kita membuang rice bran (bekatul) yang merupakan gudang lebih dari 100 senyawa bioaktif, termasuk Vitamin B1 (Thiamine), B2, B3, B5, B6, B9, Kolin, Vitamin E Kompleks (Tocotrienols & Tocopherols), mineral Magnesium, Fosfor, Potasium, Zinc, Besi, Mangan, Selenium, serta senyawa unik Gamma-Oryzanol dan Phytosterol—dan juga membuang minyak sawit merah (red palm oil) yang merupakan sumber vitamin A dan E tertinggi di dunia.
Tragedi ini merusak kesehatan bangsa, meruntuhkan ketahanan pangan, dan menjelaskan mengapa nilai GHI Indonesia pada 2024 masih berkisar di 16.6, setara dengan negara berpenghasilan rendah, sementara negara maju <5.0. Bahkan negara berkembang seperti Brasil (5.5), Uzbekistan (6.0), dan Kuba (<5.0) telah melampaui kita karena kebijakan pangan yang mengutamakan nutrisi berdasarkan ilmu pengetahuan.
Perspektif Historis: Kegagalan Logistik Sultan Agung Mataram
Pada tahun 1628-1629, Sultan Agung Mataram gagal mengusir Belanda dari Batavia. Penyebabnya bukanlah kurangnya pasukan atau keberanian, tetapi kegagalan logistik. Pasukan Mataram tidak memiliki sistem penyimpanan pangan (lumbung) yang memadai di sepanjang jalur tempuh. Hasil panen habis untuk konsumsi segera, tanpa cadangan strategis. Belanda, dengan gudang-gudangnya yang terorganisir, bertahan lebih lama dan memenangkan pertempuran.
Kegagalan ini adalah cermin dari masalah kita hari ini: tanpa lumbung, tanpa logistik lokal, tanpa koperasi, kita rentan terhadap krisis. Krisis kita sekarang adalah krisis nutrisi dan indeks kelaparan yang diperparah oleh pendekatan anti-ilmu pengetahuan, anti-kebijakan, dan anti-filosofi dalam kebijakan pangan kita.
Analisis melalui Lensa Para Pemikir
1. Jalaluddin Rumi (Spiritualitas dan Makna) “Jangan engkau makan hanya untuk memuaskan perut, tetapi makanlah untuk menghidupkan jiwa.”
- Konsumsi beras putih adalah metafora dari kehidupan modern yang dangkal: enak di lidah, tetapi miskin nutrisi. Kita mengorbankan esensi (nutrisi) untuk penampilan (beras putih). Kita membuang bekatul yang merupakan “jiwa” dari padi beserta seluruh kekayaan vitamin, mineral, dan bioaktifnya. Sikap ini adalah pengingkaran terhadap karunia ilmu pengetahuan yang diberikan Tuhan untuk kesejahteraan umat manusia.
- Tropikanisasi adalah jalan pulang kepada alam tropika yang kaya nutrisi—kepada beras coklat yang masih utuh vitamin dan seratnya, dan kepada pemanfaatan penuh minyak sawit merah. Ini adalah bentuk syukur atas berkah Allah SWT dan penerapan ilmu pengetahuan yang benar.
- Kooperatisasi adalah cerminan nilai kebersamaan (ukhuwah), di mana petani tidak lagi terisolasi tetapi bersatu dalam koperasi untuk kesejahteraan kolektif.
2. Paul Romer (Pertumbuhan Endogen dan Inovasi) “Pertumbuhan ekonomi digerakkan oleh ide-ide, bukan sekadar sumber daya.”
- Beras putih adalah simbol dari kesalahan ide (bad idea) yang dominan: mengutamakan “kebersihan” dan rasa enak tetapi mengabaikan nilai gizi. Ini adalah ide anti-ilmu pengetahuan yang membuat GHI kita stagnan. Beras coklat dengan rendemen 70% atau lebih, justru lebih unggul karena mempertahankan nutrisi sekaligus meningkatkan nilai ekonomi. Ini adalah ide baru (good idea) yang didukung sains dan akan mendorong pertumbuhan kesehatan dan produktivitas bangsa.
- Tropikanisasi adalah idea yang mengubah “resep” produksi pangan: dari membuang nutrisi (beras putih) ke mempertahankannya (beras coklat, bekatul, red palm oil). Ini adalah inovasi berbasis ilmu pengetahuan yang akan mempercepat penurunan GHI.
- Kooperatisasi adalah platform untuk menyebarkan pengetahuan baru ini: petani berbagi teknik pertanian organik, penggilingan beras coklat, dan manajemen lumbung.
3. Oliver E. Williamson (Biaya Transaksi dan Governance) “Struktur governance yang tepat mengurangi biaya transaksi dan mencegah perilaku opportunistik.”
- Sistem saat ini (rantai pasok panjang dengan tengkulak, pabrik penggilingan terpusat) menciptakan biaya transaksi tinggi dan perilaku oportunistik seperti perilaku mengoplos beras. Petani terjebak dalam harga rendah, konsumen membayar mahal. Sistem yang korup dan anti-ilmu pengetahuan inilah yang berkontribusi pada inefisiensi yang tercermin dalam GHI kita.
- Kooperatisasi adalah bentuk hybrid governance yang menggantikan pasar dengan organisasi kolektif. Koperasi petani mengelola lumbung dan penggilingan, mengurangi ketergantungan pada tengkulak dan memastikan nutrisi sampai ke konsumen.
- Tropikanisasi (beras coklat, bekatul, red palm oil) meningkatkan nilai tambah yang dibagi secara adil: petani mendapat harga lebih tinggi, konsumen mendapat nutrisi lebih baik, dan GHI nasional akan turun drastis.
Jalan Keluar: Tropikanisasi dan Kooperatisasi
1. Revolusi Beras Coklat dan Nutrisi Tropika
- Beralih dari beras putih (rendemen 60%, nutrisi minimal) ke beras coklat (rendemen 70%, nutrisi utuh): Mau pilih mana?
- Hentikan pembuangan nutrisi! Olah rice bran (bekatul) menjadi produk pangan fungsional dan suplemen. Manfaatkan minyak sawit merah (red palm oil) untuk fortifikasi pangan melawan stunting dan defisiensi vitamin A.
- Strategi: · Edukasi konsumen tentang manfaat beras coklat, bekatul, dan red palm oil.
- Insentif harga untuk beras coklat dan produk turunan bekatul.
- Optimalisasi penggilingan padi untuk menghasilkan beras coklat dan mengolah bekatul.
2. Revitalisasi Lumbung Padi Berbasis Koperasi
- Setiap kecamatan memiliki lumbung padi (gudang gabah) yang dikelola koperasi.
- Bulog berperan sebagai off-taker dan penjaga stok nasional, bekerja sama dengan koperasi.
- Model harga: Harga gabah petani = harga pemerintah + 5% harga beras coklat, memberi insentif bagi petani.
3. Dampak yang Diharapkan
- Petani sejahtera: Pendapatan petani meningkat dari penjualan beras coklat dan produk turunan.
- Kesehatan membaik: Stunting dan penyakit degeneratif turun drastis berkat asupan nutrisi utuh. Target: GHI Indonesia < 10 dalam 10 tahun, dan menyusul negara maju (<5.0) dalam 20 tahun.
- Ketahanan pangan kuat: Buffer stock mencukupi 3 bulan konsumsi nasional.
- Logistik efisien: Biaya transaksi turun, rantai pasok diperpendek.
Penutup: Kembali kepada Ilmu Pengetahuan, Kebijaksanaan, dan Filsafat
Kita telah terlalu lama meninggalkan rumah tropika—lingkungan yang kaya nutrisi dan kebersamaan. Dengan tropikanisasi (kembali kepada beras coklat, bekatul, dan sawit merah) dan kooperatisasi (kembali kepada gotong royong), kita bukan hanya menyelesaikan krisis pangan, tetapi juga mempercepat pembangunan, mengejar ketertinggalan 24 tahun dalam GHI, dan membangun peradaban yang lebih sehat dan adil.
Ini adalah panggilan untuk kembali kepada tiga pilar dasar: ilmu pengetahuan (evidence-based policy), kebijaksanaan (wisdom for long-term good), dan filsafat (love of wisdom dalam tindakan nyata).
“Beras coklat, bekatul, dan minyak sawit merah adalah hadiah Allah untuk tropika, yang kita sia-siakan demi kebersihan (putih) semu.”
“Kooperasi adalah jalan nenek moyang yang teruji untuk kemandirian pangan.”
“Ilmu pengetahuan adalah petunjuk untuk tidak menyia-nyiakan karunia-Nya.”
Mari revolusi dimulai dari piring kita!
Lampiran: Ringkasan Kandungan Gizi Bekatul (Rice Bran) per 100g
Zat Gizi Kandungan Manfaat Kunci
Serat Pangan 20 – 25 g Pencernaan, prebiotik, kontrol gula darah
Protein 12 – 15 g Pertumbuhan & perbaikan sel (lebih tinggi daripada protein dalam telur ayam atau susu)
Gamma-Oryzanol 200 – 600 mg
Penurun kolesterol, anti-oksidan kuat
Vitamin E (Tocotrienols) 30 – 50 mg
Anti-oksidan 40-60x lebih kuat dari tocopherol
Vitamin B1 (Thiamine) 1.5 – 2.5 mg
Metabolisme energi, fungsi saraf
Vitamin B3 (Niacin) 25 – 35 mg
Metabolisme, kesehatan kulit & saraf
Vitamin B6 2.5 – 5.0 mg Fungsi otak, sintesis sel darah
Mineral (Mg, P, K, Zn, Fe) Tinggi
Kesehatan tulang, darah, imunitas, jantung
Anti-oksidan (Polifenol) Tinggi
Lawan radikal bebas, cegah penyakit kronis
Arabinoxylan (Prebiotik) Tinggi
Makanan bakteri baik usus, tingkatkan imunitas
***
Noted:
Tropikanisasi adalah sebuah konsep transformatif yang merujuk pada proses mengangkat, memulihkan, dan memodernisasi kekayaan tropis—baik dalam pangan, budaya, ekonomi, maupun spiritualitas—sebagai fondasi kedaulatan dan keberlanjutan bangsa tropis seperti Indonesia.
Judul: Revolusi dari Piring ke Masa Depan: Mengakhiri Kegagalan Sistemik Pangan Indonesia dengan Beras Coklat dan Koperasi
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas Info Penulis
Prof. Agus Pakpahan memimpin IKOPIN University sejak 29 Mei 2023 untuk periode 2023–2027. Ia dikenal sebagai ekonom pertanian yang menaruh perhatian pada penguatan ekosistem perkoperasian dan tata kelola kebijakan publik.

Di bawah kepemimpinan Agus Pakpahan, IKOPIN mendorong kemitraan strategis dan pembenahan tata kelola kampus, termasuk menyambut inisiatif pemerintah agar IKOPIN bertransformasi menuju skema Badan Layanan Umum (BLU) di lingkungan Kemenkop UKM—sebuah langkah untuk memperkuat daya saing kelembagaan dan mutu layanan pendidikan. “Pendidikan yang berpihak pada kemajuan adalah jembatan masa depan,” demikian ruh visi yang ia usung.
Lahir di Sumedang, 29 Januari 1956, Agus Pakpahan menempuh S-1 di Fakultas Kehutanan IPB (1978) dan meraih M.S. Ekonomi Pertanian di IPB (1981). Ia kemudian meraih Ph.D. Ekonomi Pertanian dengan spesialisasi Ekonomi Sumber Daya Alam dari Michigan State University (1988). Latar akademik ini mengokohkan reputasinya di bidang kebijakan sumber daya alam, pertanian, dan pembangunan pedesaan. “Ilmu adalah cahaya; manfaatnya adalah sinar yang menuntun,” menjadi prinsip kerja ilmiahnya.
Kariernya panjang di pemerintahan: bertugas di Bappenas pada 1990-an, lalu dipercaya sebagai Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (1998–2002). Di tengah restrukturisasi, ia memilih mundur pada 2002—sebuah sikap yang tercatat luas di media arus utama.
Sesudahnya, Agus Pakpahan menjabat Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan (2005–2010), memperlihatkan kapasitasnya menautkan riset, kebijakan, dan bisnis negara. “Integritas adalah kompas; kebijakan adalah peta,” ringkasnya tentang tata kelola.
Sebagai akademisi-pemimpin, Agus Pakpahan aktif membangun jejaring dan kurikulum. Kunjungan kerja ke FEB UNY menegaskan orientasi penguatan kompetensi usaha dan koperasi, sementara di tingkat lokal ia melepas ratusan mahasiswa KKN untuk mengabdi di puluhan desa di Sumedang—mendorong pembelajaran kontekstual dan solusi nyata bagi masyarakat. “Belajar adalah bekerja untuk sesama,” begitu pesan yang kerap ia gaungkan pada kegiatan kampus.
Di luar kampus, kiprah Agus Pakpahan terekam dalam wacana publik seputar hutan, pertanian, ekonomi sirkular, dan perkoperasian—menginspirasi komunitas petani serta pemangku kepentingan untuk berinovasi tanpa meninggalkan nilai-nilai gotong royong.
Esai dan pandangan Agus Pakpahan di berbagai media bereputasi menunjukkan konsistensinya pada pembangunan yang adil dan berkelanjutan. “Kemajuan tanpa keadilan hanyalah percepatan tanpa arah; keadilan memberi makna pada laju,” adalah mutiara yang merangkum jalan pikirannya.