MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (17/12/2024) – Artikel berjudul “Alun Waktu” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saudaraku, tak peduli apa kisah manusia dan semesta, waktu tetap mengalun, seperti arus sungai yang terus mengalir dari hulu kelahiran menuju muara peraduan. Ia tak kenal henti, tak pernah menoleh, hanya meninggalkan jejak samar di relung hati dan sudut mata yang melelah.
Ia adalah saksi bisu dari tawa yang mekar di pagi hari, dan air mata yang jatuh di malam sunyi. Ia merangkul segala yang hidup, memeluk segala yang fana, mengingatkan bahwa segala sesuatu ada awal dan akhirnya.

Kadang, waktu berjalan seperti angin sepoi, lembut melambai membuai. Kadang, ia berlari seperti badai, melibas harapan yang belum sempat terajut.
Namun, di antara langkah-langkahnya, ia menyelipkan pelajaran: bahwa hidup adalah tentang momen-momen kecil yang terpatri dalam ingatan.
Waktu tak pernah meminta, tak pernah memberi. Ia hanya ada, menjadi kanvas bagi manusia untuk melukis cerita.
Dan ketika cerita itu selesai, waktu tetap berjalan, membawa kenangan ke dalam pelukan semesta.
Dalam aliran sungai sang waktu, arus air menghanyutkan kisah bahwa luka akan sembuh, tangis akan reda. Ia yang mengajarkan bahwa kehilangan adalah bagian dari menemukan, perpisahan adalah pintu menuju pertemuan yang baru.
Dalam alunan sang waktu, kita hidup seperti sinar mentari yang timbul tenggelam di cakrawala, seperti jiwa yang terus mencari makna di setiap detak detiknya. Waktu adalah perjalanan, dan kita hanyalah pelancong yang singgah sebentar, menuliskan cerita di buku semesta.
Ah, waktu. Kau adalah misteri yang tak terpecahkan, namun selalu dirindukan. Dalam dekapanmu, kita belajar mencintai hari ini, karena esok belum tentu datang, dan kemarin hanya bayangan yang tak dapat disentuh.
***
Judul: Alun Waktu
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Dewi Sekar Uni
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.
Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.
***