MajmusSunda News , Rubrik OPINI, Kamis (24/07/2025) – Esai berjudul “ Makna Hidup” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif , pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh Majelis Musyawarah Sunda ( MMS ).
Saudara, hidup, pada dirinya sendiri, hanyalah sekedar keberadaan—sunyi, netral, tanpa maksud. Seperti tanah liat yang belum disentuh tangan seniman. Ia menanti diukir, ditata, dipelihara. Tak ada makna yang terberi; manusialah yang harus hadir sebagai penenun arti.
Makna Hidup yang Berkah
Makna tak lahir dari kebetulan, melainkan dari keberanian manusia membangun sistem nilai. Nilai etis membedakan yang baik dari yang buruk—seperti sedikit memisahkan siang dari malam.

Nilai logistik mengurai yang benar dari yang salah, ibarat mata air yang jernih dan keruh. Nilai estetika mengenali rupa yang pantas dan ganjil, seperti mata menangkap harmoni warna.
Nilai pragmatis meraba maslahat dan mudarat, seperti akar yang mencari tanah subur dan nilai spiritual yang membedakan yang mencerahkan dan yang menggelapkan—seperti bintang di langit pekat yang mengarah ke arah, meski tak bersuara.
Dari jalinan nilai-nilai itulah budaya tumbuh—bukan sekedar warisan, melainkan ikhtiar terus-menerus manusia memberi makna atas hidup. Budaya adalah cara jiwa meraba dunia, cara akal merangkai terang di tengah semesta yang tak pasti. Ia hadir dalam bahasa, gerak, keyakinan—dalam cara kita mencintai, memuliakan, dan membayangkan sesuatu yang lebih tinggi dari diri.
Pada akhirnya, manusia tak diukur dari seberapa lama ia hidup, melainkan dari makna yang berhasil ia sulam dalam keberadaannya. Makna itu berpijak pada mutu budaya yang ia hidupi—pada keluhuran nilai yang ia rawat, pada keberanian memilih terang meski zaman mengajak berjalan dalam kelam.
Walhasil, hidup tanpa keluhuran budaya adalah hidup yang sia-sia, miskin arti—seperti mayat berjalan: bergerak tanpa jiwa, bernapas tanpa arah.
***
Judul: Makna Hidup
Penulis: Prof. Yudi Latif
Penyunting: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, Kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.

Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang sejarawan, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang fokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan pedoman hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana masyarakat serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui suaranya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai persahabatan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.
***