MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (16/08/2025) – Menurut Kosmologi Sunda, Tritangtu menggambarkan hubungan harmonis antara tiga elemen utama: manusia, alam, dan spiritualitas. Tritangtu merupakan inti dari kehidupan masyarakat Sunda Lama yang sudah ada jauh sebelum Hindu dan bertahan hingga era Islam.
Tritangtu mencerminkan hubungan tiga pranata sosial yang mendasari cara berpikir dan kehidupan masyarakat Sunda yang dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Sunda.
Konsep Tritanggtu dalam budaya Sunda merupakan pandangan hidup yang menekan keseimbangan dan keselarasan antara tiga aspek penting dalam kehidupan manusia dan alam semesta.
Rama: Perwakilan masyarakat, yang menyuarakan aspirasi masyarakat. Resi: Tokoh yang memiliki pengetahuan spiritrual dan kebijaksanaan yang memberikan pertimbangan berdasarkan nilai-nilai agama dan moral dalam mengambil keputusan, dan Ratu/Prabu: pemimpin atau penguasa yang mengambil keputusan akhir dan memimpin pemerintahan.

Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Mereka bekerja sama untuk menciptakan keseimbangan dan keharmonisan dalam masyarakat. Konsep ini merupakan pedoman dalam mengatur semua aspek kehidupan, aspek pribadi, politik, sosial, budaya, ekonomi, pertanian, religi masyarakat Sunda.
Apakah sekarang orang Sunda khususnya mulai dari masyarakat biasa, pelaku usaha hingga pemerintah sebagai pembuat kebijakan masih memegang teguh dan menjalankan konsep pedoman kehidupan adiluhung warisan karuhun ini, di mana Kondisi alam Indonesia (termasuk Jabar), saat ini sedang tidak baik-baik saja, sudah rusak sehingga banyak musibah banjir, longsor datang melanda.
Nah, Konsep Tritangtu pada orientasi masalah pangan, dikupas tuntas oleh Dr. Riadi Darwis (Politeknik Pariwisata NHI Bandung), Nisa Wargadipura (Pesantren Ekologi Ath-Thaariq in Garut) dan Gita Syahrani dari BLESS Foundation dalam “Jentik Festival 2025” yang berlangsung di Hilton Bandung – Kapla lt.3 Jln. HOS. Cokroaminoto (Pasirkaliki) No. 41-43, Arjuna, Kota Bandung (15/08/2025).
Agar lingkungan ini tetap lestari, harus didukung oleh kerja sama tiga pranata sosial tadi (Rama-Resi – Prabu) agar punya punya kekuatan yang berimbang.
Dari sisi pribadi, hubungan manusia dengan alam dan Tuhan jelas tidak bisa dipisahkan. Ini adalah tanggung jawab pribadi dan itu harus tetap kita lakukan untuk menjawab semua persoalan-persoalan yang sedang kita hadapi hari ini. Kondisi di mana Indonesia tidak dalam kondisi yang lebih baik, alam sudah banyak yang rusak, begitupun di Tanah Sunda.

“Makanya musibah bertubi-tubi, banjir, longsor melanda, akibat keserakahan manusia yang sudah lupa akan fungsinya di dunia sebagai khalifah. Nah ini yang menjadi titik perhatian kita supaya kita kembali kepada konsep Tritangtu agar kita sama-sama punya kekuatan untuk menjaga kelestarian alam, “ demikian disampaikan Riadi kepada wartawan.
Himbauan ini, kata Riadi, untuk semua kalangan, mulai dari kalangan pemerintah, yudikatif, hingga masyarakat, juga para pelaku usaha, semua harus punya tanggung jawab.

“Sekarang pengusaha kalau tidak punya rasa kepedulian sosial, kepedulian terhadap alam, hanya mengejar keuntungan semata, itu berarti dia berdosa. Alam rusak, akibatnya masyarakat yang jadi korban. Ini dosa besar jangan dianggap enteng! Jadi kita harus punya kesadaran bagaimana supaya bisa meminimalisir dosa-dosa ini dan tentu ini harus bersinergi satu sama lain. Alam yang kita pinjam ini harus kita wariskan kepada generasi mendatang dalam keadaan baik,“ kata Riadi serius.
Dalam hal fungsi Tritangtu kaitannya dengan pangan, Prabu itu para eksekutif, penguasa. Dia harus bisa mengerahkan untuk menjaga, mendistribusi, mengatur semuanya agar ada di dalam koridor. Sementara Rama memberikan masukan, ada semacam regulasi dibuatkan oleh DPR atau dinas-dinas terkait supaya jadi peraturan, menjadi rambu-rambu yang akan dijalankan oleh eksekutor.
Semenatara Resi adalah para pemikir. Orang yang memberikan pencerahan, supaya orang yang mengambil kebijakan itu tidak serampangan. Ketiganya harus sinergi dan akan membawa kemaslahatan kalau berjalan dengan baik.
Demikian kata penulis buku Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon; Khazanah Kuliner Kabuyutan Galuh Klasik; Khazanah Lalab, Rujak, Sambel dan Tektek (jilid 1-2 ). Menurut Riadi, tahun ini dia akan meluncurkan buku Khazanah Sambara dan Rempah Sunda (jilid 1-2-3).
Nara sumber lainnya, Nissa Wargadipura mengigatkan bahwa makanan itu menjadi bagian yang harus dihormati, dihargai, “Sebenarnya kita diberikan keberkahan oleh Tuhan untuk mindfulness, berpikir lebih cerdas di dalam persoalan yang berkaitan dengan ketubuhan manusia. Ketubuhan manusia juga dikaitkan dengan keadaan ekologi kita. Tapi sekarang ekologi kita sudah sangat rusak, makanya harus dipulihkan oleh orang-orang yang tergerak dan sadar merasa terancam dengan kerusakan ekologi, “ kata Nissa.
Yang lainnya menurut Nissa, ada distrupsi (perubahan besar), loncatan yang sangat tinggi teknologi dan kita sekarang sedang menghadapi dampak negatifnya yang mengancam pola pengasuhan anak dalam keluarga dan menurutnya Nissa pengasuhan terhadap keluarga itu sangat berhubungan sekali dengan green Islam (gerakan yang mengintegrasikan prinsip-prinsip ajaran Islam yang peduli terhadap lingkungan).
“Itu sinyal bahwa kita itu akan menghadapi satu fase yang mebahayakan, bagi bangsa, negara, dan keluarga kita, “ tandas Nissa.
Menurut Nissa, bumi ini akan bisa dipulihkan oleh orang-orang yang waras. Orang-orang sekarang jangankan waras makanannya aja tidak waras. Oleh karenanya pihaknya berusaha membangun kearifan dengan merubah perilaku yang lebih ekologis, agamis dalam bentuk green Islam, dan itu harus dimulai dari diri kita sendiri, nanti baru akan ada perubahan-perubahan yang lain.
“Ujung-ujungnya nanti akan ada gerakan-gerakan kecil (Jentik) dan nantinya menjadi besar dan besar. Ya, itu bagaimanapun juga akan sedikit menyelamatkan bumi kita dari sampah, dari makanan-makanan yang tidak berarti, tapi membangunkan makanan-makanan yang lebih berarti yang sarat dengan Rahmatan Lil Alamiin,” kata Nissa.
Ditanya dukungan pemerintah, Nissa mengaku tidak punya dukungan pemerintah, APBN dan APBD juga tidak mengarah kesana.
“APBN, APBD dan alokasi dana desa, semua hanya untuk mengahancurkan keanekaragaman lokal, kearifan lokal. Jadi kita sedang menghadapi pase yang sangat industri dan indsustri itu sangat ekstraktif, merusak seluruh sendi kehidupan, “ kata Nissa serius.
Untuk itu Nissa berharap ada banyak komunitas seperti Joongla, bottlesmoker, komunitas Ath –Thaariq, BLESS Foundation, dan komunitas-komunitas kecil lainnya yang bergabung dan akan membesar untuk menghadapai persoalan ini.
“Kita harus saling membangun komunitas-komunitas yang berbasis pada kearifan lokal, membangun komunitas itu saja sudah keren,“ pungkas Nissa.
Sementara Gita Syahrani dari BLESS Foundation, dalam paparannya: “Menyeimbangkan Pondasi Penguat Kita Bersama” mengisyaratkan pentingnya keseimbangan dalam mengeskplorasi SDA (Sumber Daya Alam, termasuk pertanian-perkebunan, kelautan, perikanan) Indonesia untuk kepentingan ekonomi.
“Bumi itu sehat kalau keragaman hayatinya masih okey dan keasamaan dari laut tingkatannya masih okey, dan kita sedang tidak-baik-baik saja,” demikian kata nara sumber dari BLEES Foundation yang bekerja untuk memulihkan hubungan antara manusia dan alam melalui system ekonomi regeneratif yang dibentuk oleh para pemimpinnya yang tangguh. (Asep GP).
***
Judul: Konsep Tritangtu dalam Menjaga Kelestarian Alam
Jurnalis: Asep GP
Editor: Jumari Haryadi