MajmusSunda News, Rubrik OPINI, Sabtu (23/08/2025) – Esai berjudul “Kisah Komunitas Pilsen” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Pinisepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saudaraku, di tepi kota besar Chicago, ada sebuah lingkungan bernama Pilsen ─ pernah ditandai muram oleh jalanan kotor, malam yang dipenuhi keributan jahanam, sekolah yang kehilangan harap, dan anak-anak muda yang mudah tergelincir ke geng dan minuman keras.

Namun, di antara reruntuhannya, masih berdiri gereja-gereja tua, masih tegak sekolah-sekolah yang sepi tapi menunggu disentuh, masih berdenyut hati para orang tua yang tak ingin anaknya hilang arah. Itulah inventaris pertama mereka—bukan uang, bukan harta, melainkan iman, ruang, dan jiwa yang menolak menyerah.
Raul Raymundo bersama komunitas menyalakan nyala kebangkitan: mereka menyebutnya The Resurrection Project—sebuah proyek untuk membangkitkan harapan.
Mereka membersihkan jalan, menyalakan lampu di sudut gelap, mendirikan block clubs yang menjaga tiap rumah, tiap gang. Juga menutup pintu pada racun minuman keras, membuka pintu bagi sekolah yang hidup kembali.
Anak-anak tak lagi pulang ke rumah kosong, tetapi singgah di kelas-kelas sore, belajar musik, keterampilan, dan mimpi. Orang tua kembali hadir di halaman sekolah, menemani, mendukung, menjaga bersama.
Dana digalang bukan dari kemewahan, melainkan dari kerja kolektif: siswa-siswi turun ke dunia usaha, bekerja sehari di akhir pekan, belajar bahwa keringat bisa menjadi modal masa depan.
Dari teladan itu, transformasi pun menjalar: para gangster yang dulu menebar takut beralih ke bisnis yang sah, mendirikan toko, membuka lapangan kerja. Jalan-jalan Pilsen yang dulu suram, kini dipenuhi warna mural dan derap kehidupan.
Pilsen mengajarkan pada dunia: bahwa sebuah kota bisa menjadi lebih layak huni bila warganya mau berdiri tegak, bahwa kebangkitan tidak dimulai dari modal besar, melainkan dari iman kecil yang dibesarkan bersama.
Dari Chicago, gema itu menjalar: bahwa cinta komunitas bisa mengalahkan ketakutan, bahwa dari blok-blok sederhana bisa lahir peradaban baru. Pilsen berdiri sebagai saksi, bahwa dengan semangat gotong-royong, masalah sebesar apa pun dapat diatasi, dan dari retakan keterpurukan dapat dirajut kembali anyaman harapan.
***
Judul: Kisah Komunitas Pilsen
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.

Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.
***