Hutan Jati sebagai Tabungan Negara: Solusi Endogen untuk Utang Luar Negeri dalam Perspektif Teori Pertumbuhan

Artikel ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.

Hutan jati
Hujan Jati - (Sumber: Arie/MMNS)

MajmusSunda News, Kolom Artikel/Opini, Senin (15/09/2025) – Artikel Serial Tropikanisasi dan Kooperatisasi berjudul “Hutan Jati sebagai Tabungan Negara: Solusi Endogen untuk Utang Luar Negeri dalam Perspektif Teori Pertumbuhan” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Pinisepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.

Latar Belakang: Utang, Ide, dan Akumulasi Kapital Alam

“Kamu punya banyak uang dari utang, tapi kamu tidak punya ideas.” —Kolega dari Korea, 1986

Pernyataan ini menyiratkan kritik mendasar terhadap model pembangunan berbasis utang yang sering kali tidak diimbangi dengan inovasi dan akumulasi kapital yang berkelanjutan. Indonesia, dengan utang luar negeri mencapai US$420 miliar (2023) yang diproyeksikan menjadi US$840 miliar pada 2045, menghadapi tantangan serius untuk membayar liabilitas tanpa mengorbankan kedaulatan ekonomi.

Dalam perspektif teori pertumbuhan ekonomi Robert Lucas dan Paul Romer, solusi tidak boleh hanya bergantung pada utang lebih lanjut atau eksploitasi sumber daya jangka pendek, tetapi pada akumulasi kapital endogen—baik fisik, manusia, maupun alam—yang tumbuh secara berkelanjutan dan menghasilkan nilai tambah tinggi.

Robert Lucas
Robert Lucas – (Sumber: journals.uchicago.edu)

Kerangka Teoritis: Lucas, Romer, dan Akumulasi Kapital Alam

1. Robert Lucas dan Human Capital Accumulation:

Lucas menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi berkelanjutan berasal dari akumulasi modal manusia (knowledge spillover). Dalam konteks ini, pengelolaan hutan jati dengan teknologi klon (Cepu, Madiun) dan manajemen profesional oleh BUMN (Perhutani) adalah bentuk modal manusia yang menghasilkan produktivitas tinggi.

2. Paul Romer dan Endogenous Growth Theory:

Romer berargumen bahwa inovasi teknologi dan ide-ide baru adalah penggerak utama pertumbuhan. Hutan jati tidak hanya sebagai sumber kayu, tetapi juga sebagai aset yang dapat dikembangkan melalui inovasi: perdagangan karbon, bursa pohon, dan skema koperasi yang melibatkan masyarakat.

Paul Romer
Paul Romer – (Sumber: imagenes.iberoeconomia.es)

3. Akumulasi Kapital Alam:

Hutan jati adalah natural capital yang unik: Tumbuh secara alami (appreciating asset) dengan rata-rata pertumbuhan harga historis 4,63% per tahun (2000-2024); Nilainya dapat ditingkatkan melalui inovasi teknologi dan tata kelola (seperti klon Cepu yang menghasilkan kayu berkualitas tinggi dalam waktu lebih singkat).

Hujan Jati
Hujan Jati – (Sumber: Arie/MMNS)

Simulasi Kontribusi Hutan Jati: Dari Pesimistis hingga Optimistis

Berdasarkan analisis sensitivitas dengan berbagai skenario pertumbuhan harga kayu jati, kontribusi hutan jati seluas 700.000 hektar terhadap utang US$840 miliar pada 2045 dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Dalam skenario pesimistis dengan pertumbuhan harga rata-rata 4,63% per tahun (mengacu pada data historis 2000-2024), total nilai hutan jati pada 2045 diperkirakan mencapai US$567,7 miliar. Nilai ini dapat berkontribusi sebesar 67,6% dari total utang.
  • Dalam skenario realistis dengan pertumbuhan harga 6% per tahun (mempertimbangkan inovasi teknologi dan peningkatan permintaan global), nilai hutan jati dapat mencapai US$751,8 miliar atau setara dengan 89,5% dari total utang.
  • Dalam skenario optimistis dengan pertumbuhan harga 7,5% per tahun, nilai hutan jati bahkan dapat melampaui target utang, mencapai US$1,025,2 miliar (122% dari utang).
  • Dalam skenario sangat optimistis dengan pertumbuhan 10% per tahun, nilai hutan jati dapat mencapai US$1,7 triliun—lebih dari dua kali lipat nilai utang.

Perhitungan ini belum memasukkan potensi pendapatan tambahan dari penjarangan, perdagangan karbon, atau bursa pohon yang dapat meningkatkan kontribusi hingga 15-20%.

Mengapa Hutan Jati?

1. Kayu Bernilai Tinggi. Jati adalah kayu mewah dengan permintaan global yang stabil dan harga terus meningkat;

2. Teknologi dan Inovasi. Klon Cepu dan Madium telah terbukti menghasilkan kayu dengan diameter 50 cm dalam 25 tahun, serta nilai ekonomi tinggi;

3. Kelembagaan Profesional. Perhutani sebagai BUMN memiliki pengalaman puluhan tahun dalam mengelola hutan jati;

4. Model Koperasi. Skema koperasi dapat melibatkan masyarakat dalam pengelolaan, meningkatkan distribusi manfaat, dan mengurangi konflik sosial.

Strategi Implementasi: Menuju Tabungan Berbasis Alam

1. Penetapan Status Hutan Tabungan Negara. Mengalokasikan 700.000 hektar hutan jati sebagai Hutan Tanaman Jati Tabungan Negara (HTJTN) dengan perlindungan hukum khusus;

2. Inovasi Pendanaan: Membuka skema green bond yang dijamin oleh nilai futuro kayu jati; Mengembangkan bursa pohon jati untuk menarik investasi domestik dan global;

3. Integrasi dengan Perdagangan Karbon. Hutan jati berpotensi menghasilkan kredit karbon senilai US$100–200 juta per tahun (estimasi berdasarkan harga karbon US$20/ton);

4. Penguatan Kelembagaan. Perhutani perlu bertransformasi menjadi pengelola aset strategis dengan tata kelola modern dan transparan.

Tantangan dan Risiko

  • Perubahan Iklim: Kebakaran hutan, kekeringan, dan penyakit tanaman dapat mengancam produktivitas.
  • Fluktuasi Pasar: Harga kayu dan karbon dapat berubah akibat resesi global atau perubahan regulasi.
  • Political Will: Komitmen jangka panjang diperlukan melampaui siklus politik.

Kesimpulan: Dari Utang ke Kedaulatan melalui Akumulasi Kapital Alam

Gagasan menjadikan hutan jati sebagai tabungan negara bukanlah mimpi. Dengan pendekatan teoritis Lucas dan Romer, kita melihat bahwa akumulasi kapital alam—yang didukung oleh inovasi teknologi dan kelembagaan—dapat menjadi solusi endogen untuk membayar utang luar negeri tanpa terjebak dalam siklus gali lubang tutup lubang.

Indonesia tidak perlu hanya mengandalkan utang lebih dalam. Seperti dikatakan kolega dari Korea, kamu tidak punya ideas, tetapi Indonesia justru memiliki ide cerdas: mengubah alam menjadi modal yang bekerja untuk kemakmuran dan kedaulatan.

***

Noted:

Tropikanisasi adalah sebuah konsep transformatif yang merujuk pada proses mengangkat, memulihkan, dan memodernisasi kekayaan tropis—baik dalam pangan, budaya, ekonomi, maupun spiritualitas—sebagai fondasi kedaulatan dan keberlanjutan bangsa tropis seperti Indonesia.

Judul: Hutan Jati sebagai Tabungan Negara: Solusi Endogen untuk Utang Luar Negeri dalam Perspektif Teori Pertumbuhan
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas Info Penulis

Prof. Agus Pakpahan memimpin IKOPIN University sejak 29 Mei 2023 untuk periode 2023–2027. Ia dikenal sebagai ekonom pertanian yang menaruh perhatian pada penguatan ekosistem perkoperasian dan tata kelola kebijakan publik.

Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.
Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Di bawah kepemimpinan Agus Pakpahan, IKOPIN mendorong kemitraan strategis dan pembenahan tata kelola kampus, termasuk menyambut inisiatif pemerintah agar IKOPIN bertransformasi menuju skema Badan Layanan Umum (BLU) di lingkungan Kemenkop UKM—sebuah langkah untuk memperkuat daya saing kelembagaan dan mutu layanan pendidikan. “Pendidikan yang berpihak pada kemajuan adalah jembatan masa depan,” demikian ruh visi yang ia usung.

Lahir di Sumedang, 29 Januari 1956, Agus Pakpahan menempuh S-1 di Fakultas Kehutanan IPB (1978) dan meraih M.S. Ekonomi Pertanian di IPB (1981). Ia kemudian meraih Ph.D. Ekonomi Pertanian dengan spesialisasi Ekonomi Sumber Daya Alam dari Michigan State University (1988). Latar akademik ini mengokohkan reputasinya di bidang kebijakan sumber daya alam, pertanian, dan pembangunan pedesaan. “Ilmu adalah cahaya; manfaatnya adalah sinar yang menuntun,” menjadi prinsip kerja ilmiahnya.

Kariernya panjang di pemerintahan: bertugas di Bappenas pada 1990-an, lalu dipercaya sebagai Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (1998–2002). Di tengah restrukturisasi, ia memilih mundur pada 2002—sebuah sikap yang tercatat luas di media arus utama.

Sesudahnya, Agus Pakpahan menjabat Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan (2005–2010), memperlihatkan kapasitasnya menautkan riset, kebijakan, dan bisnis negara. “Integritas adalah kompas; kebijakan adalah peta,” ringkasnya tentang tata kelola.

Sebagai akademisi-pemimpin, Agus Pakpahan aktif membangun jejaring dan kurikulum. Kunjungan kerja ke FEB UNY menegaskan orientasi penguatan kompetensi usaha dan koperasi, sementara di tingkat lokal ia melepas ratusan mahasiswa KKN untuk mengabdi di puluhan desa di Sumedang—mendorong pembelajaran kontekstual dan solusi nyata bagi masyarakat. “Belajar adalah bekerja untuk sesama,” begitu pesan yang kerap ia gaungkan pada kegiatan kampus.

Di luar kampus, kiprah Agus Pakpahan terekam dalam wacana publik seputar hutan, pertanian, ekonomi sirkular, dan perkoperasian—menginspirasi komunitas petani serta pemangku kepentingan untuk berinovasi tanpa meninggalkan nilai-nilai gotong royong.

Esai dan pandangan Agus Pakpahan di berbagai media bereputasi menunjukkan konsistensinya pada pembangunan yang adil dan berkelanjutan. “Kemajuan tanpa keadilan hanyalah percepatan tanpa arah; keadilan memberi makna pada laju,” adalah mutiara yang merangkum jalan pikirannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *