MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (24/10/2024) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 4)” ini ditulis oleh: Gelar Taufiq Kusumawardhana.
Menurut keterangan R.C. Majumdar, dalam sistem keyakinan Hindu yang dikenal juga dengan nama Sanata Dharma, Vaidika Dharma, Vedanta, atau Brahmanisme, dalam hal ini maksudnya adalah sistem keyakinan Hindu yang didasarkan pada naskah-naskah setelah zaman Weda (post-Vedic religion), tidak ditemukan lagi sistem keyakinan yang seragam, melainkan terbagi ke dalam keyakinan-keyakinan teologi khas kelompok keagamaan, seperti Brahmanisme yang pada dasarnya merupakan sisa-sisa pemahaman terhadap sistem keyakinan Hindu lama terhadap Weda (older Vedic faith traditions), Siwaisme yang merupakan kelompok pemuja Siwa, Wisnuisme yang merupakan kelompok pemuja Wisnu, dan Saktisme yang merupakan kelompok pemuja isteri-isteri dewa, terutama pemujaan terhadap isteri-isteri dewa dalam Tri Murti.
Adapun konsep “Tri Murti” yang merupakan sistem keyakinan Hindu yang didasarkan pada naskah-naskah setelah zaman Weda (post-Vedic religion), R.C. Majumdar menilainya sebagaimana berikut:
“Its most notable expression is to be found in the theological conception of the Trimurti, i.e., the manifestation of the supreme God in three forms of Brahma, Visnu, and Siva… But the attempt cannot be regarded as a great success, for Brahma never gained an ascendancy comparable to that of Siva or Visnu, and the different sects often conceived the Trimurti as really the three manifestations of their own sectarian god, whom they regarded as Brahman or Absolute”.
(Pemujaan paling menonjol ditemukan dalam konsep teologi Tri Murti, yakni pengejawantahan Tuhan tertinggi dalam tiga perwujudan sebagai Brahma, Visnu, dan Siva… Hanya saja usaha tersebut tidak bisa dianggap sebagai keberhasilan besar, karena Brahma tidak pernah mendapatkan kedudukan yang sebanding dengan Siva atau Visnu, sementara aliran-aliran yang berbeda sering kali memaknai Tri Murti sebagai pengejawantahan sesungguhnya dari dewa-dewa pada aliran-aliran mereka masing-masing, yang mereka dudukan sebagai Brahman atau Yang Mutlak.)
Melalui penjelasan R.C. Majumdar, dapat diketahui bahwa konsep Tuhan tertinggi dalam agama Hindu lama (older Vedic faith traditions) sebenarnya diduduki oleh Brahman. Hanya saja, pada tahap selanjutnya, konsep Brahman sebagai Tuhan tertinggi mengalami pergeseran dalam bentuk pengejawantahan konsep Tri Murti, yakni mewujud ke dalam sosok Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Menurut R.C. Majumdar, sistem keyakinan teologis Tri Murti, bisa jadi merupakan bentuk kompromi dan akomodasi dari perkembangan aliran-aliran dalam Hindu baru (post-Vedic religion) yang menempatkan dewa-dewa pemujaannya masing-masing dalam kedudukan tertinggi.
Sayangnya, menurut R.C. Majumdar, peranan Brahma pada konsep Tri Murti tersebut tidak pernah mendapatkan kedudukan yang setara dengan Wisnu dan Siwa. Pada aliran Wisnu dan Siwa, sosok Wisnu dan Siwa tentu saja menduduki peranannya sebagai dewa tertinggi masing-masing. Wisnu dan Siwa pada aliran-aliran tersebut, bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan didudukannya sebagai hakikat dari Brahman itu sendiri. Itulah kenapa menurut R.C. Majumdar, pada konsep Tri Murti tersebut, kedudukan Brahma pada kenyataanya tetap tidak mendapatkan kedudukan yang semestinya dibandingkan dengan Wisnu dan Siwa.
Sementara itu, terlepas dari wacana pemaknaan terhadap konsep Tri Murti pada tahap perkembangan setelah era Weda (post Vedic religion), saya ingin mengatakan:
Bahwa konsep “Tri Warga di Lamba” dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari konsep “Tri Murti” yang berpijak pada naskah Vishnu Purana abad ke-11 M, sebagai bagian integral dari tahap perkembangan setelah era Weda (post Vedic religion);
Bahwa konsep “Tri Warga di Lamba” merupakan bagian dari penerapan konsep “Tri Murti” sebagai landasan teoritikdalam ruang lingkup tata kelola kemasyarakatan;
Bahwa formulasi Tri Warga di Lambayang terdiri dari Wisnu, Brahma, dan Isora dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M pada prinsipnya masih sama dengan formulasi Tri Murti yang terdiri dari Brahma, Maha Vishnu, dan Mahesvara dalam naskah Vishnu Purana abad ke-11 M;
Bahwa nama Mahesvara (maha+isvara) dalam naskah Vishnu Purana abad ke-11 M merupakan nama lain dari Shiva (Siwa). Sementara nama Isora dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M merupakan tahap perkembangan bahasa Sunda untuk menamai Isvara (atau Mahesvara) dalam bahasa Sanskerta yang juga merupakan nama lain dari Siwa (Shiva);
Bahwa konsep peranan Wisnu, Brahma, dan Isora dalam formulasi Prabu, Rama, dan Resi pada naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M pada hakikatnya masih menginduk pada konsep peranan Brahma, Maha Vishnu, dan Mahesvara dalam formulasi Utpati, Sthiti, dan Pralina dalam tradisi purana-purana termasuk dalam tradisi naskah Vishnu Purana abad ke-11 M.
Adapun kata Utpati dalam bahasa Sanskerta, secara etimologis sebenarnya berarti kelahiran. Sementara Sthiti berarti kehidupan dan Pralina berarti kematian. Dari kata Utpati itulah, kemudian muncul pengembangan konsep penciptaan yang dijalankan oleh Brahma.
Sementara dari kata Sthiti, muncul pengembangan konsep pemeliharaan yang dijalankan oleh Maha Vishnu. Lalu dari kata Pralina, muncul pengembangan konsep penghancuran yang dijalankan oleh Mahesvara.
Melalui alur berpikir filosofis itulah kemudian konsep Tri Murti identik dengan konsep peranannya masing-masing (Tri Kona), dengan rumusan Brahma sebagai Pencipta (Utpati), Maha Vishnu sebagai Pemelihara (Sthiti), dan Mahesvara sebagai Perusak (Pralina).
Penempatan konsepTri Murti sebagai grand teori dalam tradisi post-vedic religion yang berpijak pada naskah Vishnu Purana abad ke-11 M tersebut, tampaknya masih terus berkesinambungan hingga memasuki tahap pembentukan teologi Hindu di Tatar Sunda yang menurut analisa para ahli sejarah mengambil corak Siwaisme, atau lebih khusus lagi mengambil corak Siwa-Budha sebagaimana yang terwakili dalam naskah Sanghiyang Siksa Kandang Karesian abad ke-16 M.
Hanya saja, terminologi-terminologi yang dipergunakan tampaknya seiring waktu mengalami pembentukan karakteristiknya yang bersifat khas dan lokal. Namun demikian, tidak berarti bahwa kreatifitas teologis Hindu di Tatar Sunda tersebut sama sekali liar dan tercerabut dari akar teologis induknya sebagai dasar pengembangan.
Dalam hal penggandengan kata Brahma dan Rama sebagai sesuatu yang bersifat asosiatif misalnya, kita bisa merujuk pada jejak analisa Paul Heinrich Dietrich Baron von Holbach (1723-1789 M) yang menulis “Ram ou Brama” dalam topik “Histoire moderne, Mythologie” dalam “Encyclopedie ou Dictionnaire raisonne des sciences, des arts et des metiers” (Vol. 13, Paris, 1765).
Judul “Ram ou Brama” tersebut, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Olivia Singer (Michigan Publishing, University of Michigan Library, 2016) dengan judul “Rama or Brahma”. Adapun sebagian kutipannya dapat disajikan sebagaimana berikut:
“Rama or Brahma is the name that the idolaters of the Indian subcontinent give to the principle of the three gods of the first order, who are the object of their cult; the other two are Vishnu and Shiva”.
(Rama atau Brahma merupakan nama sesembahan yang berada di anak benua India yang diberikan kepada dewa pertama dari konsep tiga dewa, yang dijadikan objek pemujaan mereka; dua dewa lainnya adalah Vishnu dan Shiva.) (Bersambung …).
***
Judul: Hubungan Konseptual antara Tri Tantu di Buana dalam Naskah Siksa Kandang Karesian abad ke-16 dengan Konsep Tri Murti dalam Naskah Vishnu Purana Abad ke-11 (Bagian 4)
Penulis: Gelar Taufiq Kusumawardhana
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas info penulis
Gelar Taufiq Kusumawardhana adalah Anggota Dewan Pakar Sejarah dan Kebudayaan, Majelis Masyarakat Sunda (MMS), Ketua Yayasan Buana Varman Semesta, dan Kandidat Doktor pada Konsentrasi Agama dan Budaya, Program Studi Agama-Agama, Program Pascasarjana (S3), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung). Kini ia bermukim di Perumahan Pangauban Silih Asih, Blok R, No. 37, Desa Pangauban, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.
***