MajmusSunda News, Kolom Artikel/Opini, Kamis (25/09/2025) – Artikel Serial Tropikanisasi dan Kooperatisasi berjudul “Geger Pangan Beracun di Sekolah-Sekolah!” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Pinisepuh Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.
Sabda Dalang Pembuka:
“…serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.’Begitulah bunyi Pembukaan UUD ’45, wahai para sinuhun. Negara ini didirikan untuk melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Lalu, bagaimana mungkin jiwa-jiwa bocah, tunas penerus bangsa, justru terancam di piring sekolah mereka sendiri? Di mana perlindungan itu? Mari kita saksikan lakonnya…”
(Setelah sabda dalang penutup, lampu di panggung pelan-pelan dihidupkan kembali. Gending “kinanti” mengalun lembut. Namun, terdengar gelisah. Para penonton masih terpukau, begitu pun para wayang di pangung seolah-olah hidup kembali)
Sabda Dalang (Membuka Adegan Baru):
“Lakon kita belum usai, para sinuhun. Meski Semar telah meninggalkan pesan dan amukan yang mengguncang, namun bumi masih belum sepenuhnya tentram. Para pembesar yang bersujud tadi, kini bangkit dengan wajah penuh kebingungan. Apakah mereka akan berubah? Ataukah hanya sandiwara di hadapan Sang Penguasa Kahyangan? Mari kita saksikan kelanjutannya…”
(Adegan berpindah ke istana kerajaan. Para menteri berkumpul kembali dengan wajah masih pucat. Raja—diwakili oleh tokoh wayang sejenis prabu bijaksana—sedang duduk di singgasana dengan wajah muram.)
PRABU BIJAKSANA: (Suara berat, penuh wibawa tetapi gemetar) “Wahai para menteriku, tadi kita semua telah mendapat pelajaran yang mahal dari Semar, sang penjaga kehidupan. Aku tidak mau reputasi kerajaan ini hancur karena kelalaian kita. Apa langkah nyata yang akan kalian ambil?”
MENTERI PENDIDIKAN: (Maju setengah langkah, masih grogi) “Paduka yang mulia, kami akan segera merevisi sistem pengadaan makanan sekolah. Kami akan perketat standar kebersihan dan gizi. Setiap vendor harus memiliki sertifikat halal dan keamanan pangan yang jelas.”
MENTERI KESEHATAN: (Menimpali) “Benar, Paduka. Kami juga akan mengerahkan tim inspeksi mendadak ke semua dapur sekolah. Dan kami akan menghukum tegas siapa pun yang lalai, termasuk oknum yang menerima suap dalam tender!”
CEPOT: (Tiba-tiba muncul dari balik tirai, dengan suara ceplas-ceplos) “Wah, wah, baru saja diomongin sudah janji muluk! Tapi, Cepot percaya saja lah. Asal jangan seperti dulu, janji di pagi hari, dilupakan di petang hari! Jangan jadi bohong, ya! Nanti Cepot usir pake sapu lidi!”
(Semar yang sedang memantau dari kayangan, mendengar percakapan ini. Dia menghela napas lega. Namun, matanya masih waspada.)
SEMAR: (Berkata pada Gareng dan Dawala) “Gareng, Dawala, lihatlah mereka. Mereka mulai sadar. Tapi, kita tidak boleh lengah. Kebaikan tanpa tindakan nyata hanya seperti hujan yang tidak membasahi akar. Kita harus pastikan mereka benar-benar bergerak.”
GARENG: (Dengan gaya khasnya, mata julingnya berkedip) “Lurah, bagaimana kalau kita turun lagi sebentar? Saya ingin lihat langsung ke sekolah-sekolah. Apa benar makanan sudah aman? Soale, perut Gareng ini kalau lihat makanan kadang suka ‘kedip-kedip’ sendiri, takut salah pilih.”
DAWALA: (Anggun tetapi tegas) “Saya setuju dengan Gareng, Lurah Semar. Kita perlu verifikasi. Jangan sampai ada siluman pathogen yang bersembunyi lagi.”
SEMAR: Mengangguk bijak. “Baiklah. Kita akan turun dengan menyamar. Kita akan menjadi orang tua dari anak-anak yang sekolah. Mari kita lihat sendiri.”
(Adegan berpindah ke sebuah sekolah dasar di pinggiran kota. Semar, Gareng, Dawala, dan Cepot menyamar sebagai orang tua siswa. Mereka mengenakan warna pakaian biasa, membawa tas seolah-olah akan menjemput anak.)
Di kantin sekolah, seorang penjual sedang menyajikan makanan. Cepot dengan cermat mengamati)
CEPOT: (Berbisik pada Semar) “Lurah, lihat nih! Penjualnya masih tidak pakai sarung tangan! Dan sayurnya layu, kelihatan tidak segar. Kayak baru dikejar setan!”
SEMAR: (Mendekati penjual) “Bapak, maaf nih. Makanan ini untuk anak-anak? Sudah ada sertifikat sehat dari puskesmas?”
PENJUAL: (Terkejut) “Lho? Sertifikat? Saya jualan di sini sudah puluhan tahun, tidak pernah ada yang minta sertifikat. Yang penting murah dan enak!”
DAWALA: (Dengan sopan tetapi tegas) “Bapak, zaman sudah berubah. Kesehatan anak-anak itu nomor satu. Kalau tidak ada jaminan, bisa berbahaya. Kudu inget, anak-anak adalah masa depan bangsa.”
Tiba-tiba, seorang guru mendekat. Dia adalah tokoh wayang perempuan yang bernama Dewi Siti Sukarelawan.
DEWI SITI: “Wah, para orang tua sedang mengawasi ya? Bagus sekali! Kami dari sekolah juga baru dapat edaran dari dinas pendidikan untuk memastikan makanan di kantin sehat. Mari, kita periksa bersama.”
(Semar dan kawan-kawan bergabung dengan dewi siti untuk memeriksa dapur kantin. Mereka menemukan beberapa masalah: bahan makanan yang disimpan tidak disanitasi dan ada jejak kecoa)
GARENG: (Jijik) “Ih, ini bahaya! Pathogen seperti E. coli dan Salmonella bisa berkembang di sini! Harus segera dibersihkan! Waduh, mata saya yang cuma satu ini aja sampai silau lihat kotorannya!”
SEMAR: (Kepada Dewi Siti) “Ibu Guru, ini darurat. Kantin ini harus ditutup sementara sampai memenuhi standar. Kami sebagai orang tua siap membantu mengawasi.”
DEWI SITI: “Saya setuju. Terima kasih atas kepeduliannya. Ini adalah bukti bahwa kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan pemerintah itu penting.”
(Adegan kembali ke istana. Prabu bijaksana menerima laporan dari dewi siti melalui pesan kurir)
PRABU BIJAKSANA: (Bersemangat) “Bagus! Ini adalah contoh yang baik. Kita perlu mereplikasi ini di semua sekolah. Saya akan keluarkan dekrit kerajaan bahwa setiap sekolah harus membentuk komite pengawas makanan yang melibatkan orang tua.”
Sabda dalang (menjembatani):
“Dan demikian,perubahan kecil mulai terjadi. Semar, yang menyamar sebagai orang tua, merasa lega melihat aksi nyata. Namun, dia tahu bahwa perjalanan masih panjang. Masih banyak sekolah di pelosok yang perlu dijangkau. Masih ada siluman korupsi yang bersembunyi di balik tender-tender proyek.”
SEMAR: (Berkata pada punakawan) “Kawan-kawan, kita telah memulai percikan api perubahan. Tapi, api ini harus kita jaga agar tidak padam. Kita akan terus mengawasi. Semoga semua pihak tetap konsisten. Tugas negara adalah melindungi, dan kita semua adalah negara.”
CEPOT: (Bersorak) “Siap, Lurah! Cepot siap patroli ke sekolah-sekolah lain! Sambil bawa senter dan mikroskop untuk cek pathogen! Sama sendal jepit buat gebuk kalau ketemu penjual nakal!”
(Gending “Bubuy Bulan” mulai dimainkan, menandakan akhir dari episode ini. Lampu pelan-pelan redup)
Sabda Dalang Penutup:
“Lakon hari ini mengajarkan bahwa kemarahan suci Semar tidak sia-sia.Namun, perubahan sejati membutuhkan kerjasama semua pihak. Dari pemerintah hingga orang tua, dari guru hingga penjual kantin. Mari jaga bersama santapan bocah-bocah kita, karena mereka adalah cahaya masa depan yang wajib dilindungi, sebagaimana amanat konstitusi. Nanti kita sambung lagi dalam edisi berikutnya. Sugeng tindak, wilujeng wengi!”
(Pagelaran usai. Penonton berpelukan dengan haru)
***
Noted:
Tropikanisasi adalah sebuah konsep transformatif yang merujuk pada proses mengangkat, memulihkan, dan memodernisasi kekayaan tropis—baik dalam pangan, budaya, ekonomi, maupun spiritualitas—sebagai fondasi kedaulatan dan keberlanjutan bangsa tropis seperti Indonesia.
Judul: Geger Pangan Beracun di Sekolah-Sekolah!
Penulis: Prof. Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas Info Penulis
Prof. Agus Pakpahan memimpin IKOPIN University sejak 29 Mei 2023 untuk periode 2023–2027. Ia dikenal sebagai ekonom pertanian yang menaruh perhatian pada penguatan ekosistem perkoperasian dan tata kelola kebijakan publik.

Di bawah kepemimpinan Agus Pakpahan, IKOPIN mendorong kemitraan strategis dan pembenahan tata kelola kampus, termasuk menyambut inisiatif pemerintah agar IKOPIN bertransformasi menuju skema Badan Layanan Umum (BLU) di lingkungan Kemenkop UKM—sebuah langkah untuk memperkuat daya saing kelembagaan dan mutu layanan pendidikan. “Pendidikan yang berpihak pada kemajuan adalah jembatan masa depan,” demikian ruh visi yang ia usung.
Lahir di Sumedang, 29 Januari 1956, Agus Pakpahan menempuh S-1 di Fakultas Kehutanan IPB (1978) dan meraih M.S. Ekonomi Pertanian di IPB (1981). Ia kemudian meraih Ph.D. Ekonomi Pertanian dengan spesialisasi Ekonomi Sumber Daya Alam dari Michigan State University (1988). Latar akademik ini mengokohkan reputasinya di bidang kebijakan sumber daya alam, pertanian, dan pembangunan pedesaan. “Ilmu adalah cahaya; manfaatnya adalah sinar yang menuntun,” menjadi prinsip kerja ilmiahnya.
Kariernya panjang di pemerintahan: bertugas di Bappenas pada 1990-an, lalu dipercaya sebagai Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (1998–2002). Di tengah restrukturisasi, ia memilih mundur pada 2002—sebuah sikap yang tercatat luas di media arus utama.
Sesudahnya, Agus Pakpahan menjabat Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan (2005–2010), memperlihatkan kapasitasnya menautkan riset, kebijakan, dan bisnis negara. “Integritas adalah kompas; kebijakan adalah peta,” ringkasnya tentang tata kelola.
Sebagai akademisi-pemimpin, Agus Pakpahan aktif membangun jejaring dan kurikulum. Kunjungan kerja ke FEB UNY menegaskan orientasi penguatan kompetensi usaha dan koperasi, sementara di tingkat lokal ia melepas ratusan mahasiswa KKN untuk mengabdi di puluhan desa di Sumedang—mendorong pembelajaran kontekstual dan solusi nyata bagi masyarakat. “Belajar adalah bekerja untuk sesama,” begitu pesan yang kerap ia gaungkan pada kegiatan kampus.
Di luar kampus, kiprah Agus Pakpahan terekam dalam wacana publik seputar hutan, pertanian, ekonomi sirkular, dan perkoperasian—menginspirasi komunitas petani serta pemangku kepentingan untuk berinovasi tanpa meninggalkan nilai-nilai gotong royong.
Esai dan pandangan Agus Pakpahan di berbagai media bereputasi menunjukkan konsistensinya pada pembangunan yang adil dan berkelanjutan. “Kemajuan tanpa keadilan hanyalah percepatan tanpa arah; keadilan memberi makna pada laju,” adalah mutiara yang merangkum jalan pikirannya.